Jumat, 10 Oktober 2014

DAMAR WULAN MINAK JINGGO

Minakjingga adalah Adipati Blambangan yang memiliki kesaktian tinggi. Suatu ketika, ia berencana untuk memberontak pada Kerajaan Majapahit yang dipimpin oleh seorang raja perempuan yang cantik jelita bernama Ratu Ayu Kencana Wungu. 

Sang Ratu kemudian mengadakan sayembara untuk menangkalancaman dari Minakjingga. Salah seorang dari peserta sayembara ini adalah seorang pemuda bernama Damarwulan. 

Berhasilkah Damarwulan mengalahkan
Minakjingga? Simak kisahnya dalam cerita Damarwulan dan Minakjingga berikut ini!
* * *
Tersebutlah seorang ratu bernama Dewi Suhita yang
bergelar Ratu Ayu Kencana Wungu. Ia adalah penguasa
Kerajaan Majapahit yang ke-6. Pada era
pemerintahannya, Majapahit berhasil menaklukkan
banyak daerah yang kemudian dijadikan sebagai bagian
dari wilayah kekuasaan kerajaan yang berpusat di
Trowulan, Jawa Timur, itu. Salah satu kerajaan kecil
yang menjadi taklukan Majapahit adalah Kerajaan
Blambangan yang terletak di Banyuwangi. Kerajaan itu
dipimpin oleh seorang bangsawan dari Klungkung, Bali,
bernama Adipati Kebo Marcuet. Adipati ini terkenal
sakti dan memiliki sepasang tanduk di kepalanya
seperti kerbau.
Keberadaan Adipati Kebo Marcuet ternyata
menghadirkan ancaman bagi Ratu Ayu Kencana Wungu.
Meskipun hanya seorang raja taklukan, namun sepak
terjang Adipati Kebo Marcuet yang terus-menerus
merongrong wilayah kekuasaan Majapahit membuat
Ratu Ayu Kencana Wungu cemas. Ratu Majapahit itu
pun berupaya menghentikan ulah Adipati Kebo
Marcuet dengan mengadakan sebuah sayembara.
“Barangsiapa yang mampu mengalahkan Adipati Kebo
Marcuet, maka dia akan kuangkat menjadi Adipati
Blambangan dan kujadikan sebagai suami,” demikian
maklumat Ratu Ayu Kencana Wungu yang dibacakan di
hadapan seluruh rakyat Majapahit.
Sayembara itu diikuti oleh puluhan orang, namun
semua gagal mengalahkan kesaktian Adipati Kebo
Marcuet. Hingga datanglah seorang pemuda tampan
dan gagah bernama Jaka Umbaran yang berasal dari
Pasuruan. Ia adalah cucu Ki Ajah Pamengger yang
merupakan guru sekaligus ayah angkat Adipati Kebo
Marcuet. Rupanya, Jaka Umbaran mengetahui
kelemahan Adipati Kebo Marcuet. Maka, dengan senjata
pusakanya gada wesi kuning (gada yang terbuat dari
kuningan), dan dibantu oleh seorang pemanjat kelapa
yang sakti bernama Dayun, Jaka Umbaran berhasil
mengalahkan Adipati Kebo Marcuet.
Ratu Ayu Kencana Wungu sangat gembira dengan
kekalahan Adipati Kebo Marcuet. Ia pun menobatkan
Jaka Umbaran menjadi Adipati Blambangan dengan
gelar Minakjingga. Akan tetapi, Ratu Ayu Kencana Ungu
menolak menikah dengan Jaka Umbaran karena
pemuda itu kini tidak lagi tampan. Akibat
pertarungannya dengan Adipati Kebo Marcuet, wajah
Jaka Umbaran yang semula rupawan menjadi rusak,
kakinya pincang, dan badannya menjadi bongkok.
Jaka Umbaran alias Minakjingga tetap bersikeras
menagih janji. Ia datang ke Majapahit untuk melamar
Ratu Ayu Kencana Wungu meskipun pada saat itu ia
telah memiliki dua selir bernama Dewi Wahita dan Dewi
Puyengan. Lamaran Minakjingga bertepuk sebelah
tangan karena sang Ratu tetap tidak sudi menikah
dengannya.
Penolakan itu membuat Minakjingga murka dan
memendam dendam kepada Ratu Ayu Kencana Wungu.
Untuk melampiaskan kemarahannya, Minakjingga
merebut beberapa wilayah kekuasaan Majapahit sampai
ke Probolinggo. Tidak hanya itu, Minakjingga pun
berniat untuk menyerang Majapahit. Ratu Ayu Kencana
Wungu sangat khawatir ketika mendengar bahwa
Minakjingga ingin menyerang kerajaannya. Maka, ia
pun kembali menggelar sayembara.
“Barangsiapa yang berhasil membinasakan Minakjingga
akan kujadikan suamiku!” ucap Ratu Ayu Kencana
Wungu di hadapan seluruh rakyat Majapahit.
Sekali lagi, puluhan pemuda turut serta dalam
sayembara tersebut, namun tidak ada satu pun yang
berhasil mengungguli kesaktian Minakjingga. Hal ini
membuat sang Ratu semakin cemas. Saat kekhawatiran
sang Ratu semakin besar, datanglah seorang pemuda
tampan bernama Damarwulan. Ia adalah putra Patih
Udara, patih Majapahit yang sedang pergi bertapa. Saat
itu Damarwulan sedang bekerja sebagai perawat kuda
milik Patih Logender, seorang patih Majapahit yang
ditunjuk untuk menggantikan kedudukan ayah
Damarwulan.
Di hadapan sang Ratu, Damarwulan menyampaikan
keinginannya mengikuti sayembara untuk mengalahkan
Minakjingga.
“Ampun, Gusti Ratu! Jika diperkenankan, izinkanlah
hamba mengikuti sayembara,” pinta Damarwulan.
“Tentu saja, Damarwulan. Bawalah kepala Minakjingga
ke hadapanku!” titah sang Ratu.
“Baik, Gusti,” kata pemuda itu seraya berpamitan.
Berangkatlah Damarwulan ke Blambangan untuk
menantang Minakjingga.
“Hai, Minakjingga! Jika berani, lawanlah aku!” seru
Damarwulan setiba di Blambangan.
“Siapa kamu?” tanya Minakjingga, “Berani-beraninya
menantang aku.”
“Ketahuilah, hai pemberontak! Aku Damarwulan yang
diutus oleh Ratu Ayu Kencana Wungu untuk
membinasakanmu,” jawab Damarwulan.
“Ha… Ha… Ha…!” Minakjingga tertawa terbahak-bahak,
“Sia-sia saja kamu ke sini, Damarwulan. Kamu tidak
akan mampu menghadapi kesaktian senjata pusakaku,
gada wesi kuning!”
Pertarungan sengit antara dua pendekar sakti itu pun
terjadi. Keduanya silih-berganti menyerang. Namun,
akhirnya Damarwulan kalah dalam pertarungan itu
hingga pingsan terkena pusaka gada wesi kuning milik
Minakjingga. Damarwulan pun dimasukkan ke dalam
penjara.
Rupanya, kedua selir Minakjingga, Dewi Wahita dan
Dewi Puyengan, terpikat melihat ketampanan
Damarwulan. Mereka pun secara diam-diam mengobati
luka pemuda itu. Bahkan, mereka juga membuka
rahasia kesaktian Minakjingga.
“Kekuatan Minakjingga terletak pada gada wesi kuning.
Dia tidak akan bisa berbuat apa-apa tanpa sejata itu,”
kata Dewi Wahita.
“Benar. Jika ingin mengalahkan Minakjingga, Anda
harus merampas pusakanya,” tambah Dewi Puyengan.
“Lalu, bagaimana aku bisa merebut senjata pusaka itu?”
tanya Damarwulan.
“Kami akan membantumu mendapatkan senjata itu,”
janji kedua selir Minakjingga itu.
Pada malam harinya, Dewi Sahita dan Dewi Puyengan
mencuri pusaka gada wesi kuning saat Minakjingga
terlelap. Pusaka itu kemudian mereka berikan kepada
Damarwulan. Setelah memiliki senjata itu, Damarwulan
pun kembali menantang Minakjingga untuk bertarung.
Alangkah terkejutnya Minakjingga saat melihat sejata
pusakanya ada di tangan Damarwulan.
“Hai, Damarwulan! Bagaimana kamu bisa mendapatkan
senjataku?” tanya Minakjingga heran.
Damarwulan tidak menjawab. Ia segera menyerang
Minakjingga dengan senjata gada wesi kuning yang ada
di tangannya. Minakjingga pun tidak bisa melakukan
perlawanan sehingga dapat dengan mudah dikalahkan.
Akhirnya, Adipati Blambangan itu tewas oleh senjata
pusakanya sendiri. Damarwulan memenggal kepada
Minakjingga untuk dipersembahkan kepada Ratu Ayu
Kencana Wungu.
Dalam perjalanan menuju Majapahit, Damarwulan
dihadang oleh Layang Seta dan Layang Kumitir. Kedua
orang yang bersaudara itu adalah putra Patih
Logender. Rupanya, mereka diam-diam mengikuti
Damarwulan ke Blambangan. Saat melihat Damarwulan
berhasil mengalahkan Minakjingga, mereka hendak
merebut kepala Minakjingga agar diakui sebagai
pemenang sayembara.
“Hai, Damarwulan! Serahkan kepala Minakjingga itu
kepada kami!” seru Layang Seta.
Damarwulan tentu saja menolak permintaan itu.
Pertarungan pun tak terelakkan. Layang Seta dan
Layang Kumitir mengeroyok Damarwulan dan berhasil
merebut kepala Minakjingga. Kepala itu kemudian
mereka bawa ke Majapahit. Pada saat mereka hendak
mempersembahkan kepala itu kepada sang Ratu, tiba-
tiba Damarwulan datang dan segera menyampaikan
kebenaran.
“Ampun, Gusti! Hamba telah berhasil menjalankan
tugas dengan baik. Namun, di tengah jalan, tiba-tiba
Layang Seta dan Layang Kumitir menghadang hamba
dan merebut kepala itu dari tangan hamba,” lapor
Damarwulan.
“Ampun, Gusti! Perkataan Damarwulan itu bohong
belaka. Kamilah yang telah memenggal kepala
Minakjingga,” sanggah Layang Seta.
Pertengkaran antara kedua pihak pun semakin
memanas. Mereka sama-sama mengaku yang telah
memenggal kepala Minakjingga. Ratu Ayu Kencana
Wungu pun menjadi bingung. Ia tidak dapat
menenentukan siapa di antara mereka yang benar.
Maka, sebagai jalan keluarnya, penguasa Majapahit itu
meminta kedua belah pihak untuk bertarung.
“Sudahlah, kalian tidak usah bertengkar lagi!” ujar Ratu
Ayu Kencana, “Sekarang aku ingin bukti yang jelas.
Bertarunglah kalian, siapa yang berhasil menjadi
pemenangnya pastilah ia yang telah membinasakan
Minakjingga.”
Akhirnya, mereka pun bertarung. Kali ini, Damarwulan
lebih berhati-hati menghadapi kedua putra Patih
Logender itu. Ia harus membuktikan kepada sang Ratu
bahwa dirinyalah yang benar. Demikian pula Layang
Seta dan Layang Kumitir, mereka tidak ingin
kebohongan mereka terbongkar di hadapan sang Ratu.
Dengan disaksikan oleh sang Ratu dan seluruh rakyat
Majapahit, pertarungan itu pun berlangsung sangat
seru. Kedua belah pihak mengeluarkan seluruh
kekuatan masing-masing demi memenangkan
pertandingan. Pertarungan itu akhirnya dimenangkan
oleh Damarwulan. Layang Seta dan Layang Kumitir pun
mengakui kesalahan mereka dan dimasukkan ke
penjara, sedangkan Damarwulan pun berhak menikah
dengan Ratu Ayu Kencana Wungu.
* * *
Demikian cerita Damarwulan dan Minakjingga dari
Banyuwangi, Jawa Timur. Kisah ini terus berkembang
menjadi cerita rakyat dengan berbagai versi. Terlepas
dari itu, cerita ini juga dikisahkan dalam bentuk sastra
seperti dalam Serat Kanda, Serat Damarwulan, Serat
Blambangan, dan sebagainya. Cerita tentang
Damarwulan dan Minakjingga juga menjadi tema
pertunjukan dalam pementasan teater rakyat Jawa
Timur. Bahkan, legenda Damarwulan dan Minakjingga
ini telah diangkat dalam film layar lebar.

JAKA SEGER DAN RORO ANTENG

Jaka Seger dan Rara Anteng adalah sebuah legenda
yang beredar di kalangan masyarakat Jawa Timur,
Indonesia. 


Legenda yang mengisahkan tentang
percintaan antara Jaka Seger dan Rara Anteng ini
menerangkan tentang asal-usul Gunung Brahma
(Bromo) dan Gunung Batok, serta asal-usul nama suku
Tengger, yaitu sebuah suku yang tinggal di sekitar
Gunung Bromo. Bagi suku Tengger, Gunung Bromo
merupakan gunung yang suci. Itulah sebabnya, setiap
setahun sekali, yaitu setiap bulan Purnama pada bulan
ke-10 tahun Saka, mereka melaksanakan upacara yang
dikenal dengan Yadnya Kasada. Konon, keberadaan
upacara tersebut juga diyakini berasal dari cerita Jaka
Seger dan Rara Anteng ini. Berikut kisahnya.
* * *
Alkisah, di sebuah rumah sederhana di lereng Gunung
Bromo, seorang laki-laki setengah baya sedang duduk
menunggu istrinya yang akan melahirkan anak kedua
mereka. Laki-laki itu adalah Raja Majapahit yang
meninggalkan negerinya dan membuat sebuah dusun
di lereng Gunung Bromo bersama beberapa orang
pengikutnya karena kalah berperang melawan putranya
sendiri. Wajah laki-laki itu tampak begitu pucat dan
hatinya diselimuti perasaan cemas melihat istrinya
terus merintih menahan rasa sakit.
Saat tengah malam, buah hati yang mereka nanti-
nantikan pun lahir ke dunia. Namun anehnya, bayi
yang berjenis kelamin perempuan itu tidak menangis
seperti halnya bayi-bayi pada umumnya.
“Dinda! Bayi kita seorang perempuan,” kata mantan
Raja Majapahit itu.
“Tapi Kanda, kenapa Dinda tidak mendengar suara
tangis putri kita?” tanya permaisurinya yang masih
terbaring lemas.
“Jangan khawatir, Dinda! Putri kita lahir dengan normal
dan sehat. Lihatlah, wajah putri kita tampak bersinar!
Dia bagaikan seorang titisan dewa,” ujar mantan Raja
Majapahit itu sambil menimang-nimang bayinya yang
mungil di depan istrinya.
Pasangan suami-istri itu tampak begitu bahagia
mendapat anak. Mereka pun memberi nama bayi itu
Rara Anteng, yang berarti seorang perempuan yang
diam atau tenang.
Pada saat yang hampir bersamaan, di tempat lain yang
tidak jauh dari rumah Anteng dilahirkan, juga lahir
seorang bayi laki-laki dari pasangan suami-istri
pendeta. Suara tangis bayi yang baru lahir itu sangat
keras sehingga memecah kesunyian malam di lereng
Gunung Bromo itu. Bayi itu tampak sehat dan montok.
Oleh kedua orang tuanya, bayi itu diberi nama Jaka
Seger, yang berarti seorang laki-laki yang berbadan
segar.
Waktu terus berlalu. Kedua bayi itu pun tumbuh
menjadi dewasa. Jaka Seger tumbuh menjadi pemuda
yang gagah dan tampan, sedangkan Rara Anteng
tumbuh menjadi gadis yang cantik nan rupawan. Berita
tentang kecantikan Rara Anteng pun tersebar hingga ke
mana-mana dan menjadi pujaan setiap pemuda. Sudah
banyak pemuda yang datang meminangnya, namun tak
satu pun yang diterimanya. Rupanya, putri mantan Raja
Majapahit itu telah menjalin hubungan kasih dengan
Jaka Seger dan cintanya tidak akan berpaling kepada
orang lain.
Pada suatu hari, kabar tentang kencantikan Rara
Anteng juga sampai ke telinga sesosok raksasa yang
tinggal di hutan di sekitar lereng Gunung Bromo.
Raksasa yang menyerupai badak itu bernama Kyai
Bima. Ia sangat sakti dan kejam. Begitu mendengar
kabar tersebut, Kyai Bima pun segera datang meminang
Rara Anteng. Jika keinginannya tidak dituruti, maka ia
akan membinasakan dusun itu dan seluruh isinya. Hal
itulah yang membuat Rara Anteng dan keluarganya
kebingungan untuk menolak pinangannya. Sementara
Jaka Seger pun tidak dapat berbuat apa-apa karena
tidak mampu menandingi kesaktian raksasa itu.
Setelah sejenak berpikir keras, akhirnya Rara Anteng
menemukan sebuah cara untuk menolak pinangan Kyai
Bima secara halus. Dia akan mengajukan satu
persyaratan yang kira-kira tidak sanggup dipenuhi oleh
raksasa itu.
“Baiklah, Kyai Bima! Aku akan menerima pinanganmu,
tapi kamu harus memenuhi satu syarat,” ujar Rara
Anteng.
“Apakah syarat itu! Cepat katakan!” seru Kyai Bima
dengan nada membentak.
Mendengar seruan itu, Rara Anteng menjadi gugup.
Namun, ia berusaha tetap bersikap tenang untuk
menghilangkan rasa gugupnya.
“Buatkan aku danau di atas Gunung Bromo itu! Jika
kamu sanggup menyelesaikannya dalam waktu
semalam, aku akan menerima pinanganmu,” ujar Rara
Anteng.
Dengan penuh percaya diri dan kesaktian yang
dimilikinya, Kyai Bima menyanggupi persyaratan itu
dan menganggap bahwa persyaratan itu sangatlah
mudah baginya.
“Hanya itukah permintaanmu, wahai Rara Anteng?”
tanya raksasa itu dengan nada angkuh.
“Iya, hanya itu. Tapi ingat, danau itu harus selesai
sebelum ayam berkokok!” seru Rara Anteng
mengingatkan raksasa itu.
Mendengar jawaban Rara Anteng, raksasa itu tertawa
terbahak-bahak, lalu bergegas pergi ke puncak Gunung
Bromo. Setibanya di sana, ia pun mulai mengeruk
tanah dengan menggunakan batok (tempurung) kelapa
yang sangat besar. Hanya beberapa kali kerukan, ia
telah berhasil membuat lubang besar. Ia terus
mengeruk tanah di atas gunung itu tanpa mengenal
lelah.
Rara Anteng pun mulai cemas. Ketika hari menjelang
pagi, pembuatan danau itu hampir selesai, tinggal
beberapa kali kerukan lagi.
“Aduh, mampuslah aku!” ucap Rara Anteng cemas,
“raksasa itu benar-benar sakti. Apa yang harus
kulakukan untuk menghentikan pekerjaannya?”
Rara Anteng kembali berpikir keras. Akhirnya ia
memutuskan untuk membangunkan seluruh keluarga
dan tetangganya. Kaum laki-laki diperintahkan untuk
membakar jerami, sedangkan kaum perempuan
diperintahkan untuk menumbuk padi. Tak berapa lama
kemudian, cahaya kemerah-merahan pun mulai
tampak dari arah timur. Suara lesung terdengar
bertalu-talu, dan kemudian disusul suara ayam jantan
berkokok bersahut-sahutan.
Mengetahui tanda-tanda datangnya waktu pagi
tersebut, Kyai Bima tersentak kaget dan segera
menghentikan pekerjaannya membuat danau yang
sudah hampir selesai itu.
“Sial!” seru raksasa itu dengan kesal, “rupanya sudah
pagi. Aku gagal mempersunting Rara Anteng.”
Sebelum Kyai Bima meninggalkan puncak Gunung
Bromo, tempurung kelapa yang masih dipegangnya
segera dilemparkan. Konon, tempurung kelapa itu jatuh
tertelungkup dan kemudian menjelma menjadi sebuah
gunung yang dinamakan Gunung Batok. Jalan yang
dilalui raksasa itu menjadi sebuah sungai dan hingga
kini masih terlihat di hutan pasir Gunung Batok.
Sementara danau yang belum selesai dibuatnya itu
menjelma menjadi sebuah kawah yang juga masih
dapat disaksikan di kawasan Gunung Bromo.
Betapa senangnya hati Rara Anteng dan keluarganya
melihat raksasa itu pergi. Tak berapa lama kemudian,
Rara Anteng pun menikah dengan Jaka Seger. Setelah
itu, Jaka Seger dan Rara Anteng membuka desa baru
yang diberi nama Tengger. Nama desa itu diambil dari
gabungan akhiran nama Anteng (Teng) dan Seger
(Ger). Mereka pun hidup berbahagia.
Setelah bertahun-tahun mereka hidup menikmati
manisnya perkawinan dan kehidupan berumah tangga,
tiba-tiba muncul keresahan di hati mereka.
“Dinda, sudah bertahun-tahun kita menikah, namun
belum juga dikaruniai anak. Padahal kita sudah
mencoba berbagai jenis obat,” keluh Jaka Seger kepada
istrinya.
“Sabarlah, Kanda! Sebaiknya jangan terlalu cepat
berputus asa. Kita serahkan saja semua kepada Tuhan
Yang Mahakuasa,” bujuk Rara Anteng.
Baru saja istrinya selesai berucap, tiba-tiba Jaka Seger
mengucapkan ikrar, “Jika Tuhan mengaruniai kita 25
anak, aku berjanji akan mempersembahkan seorang di
antara mereka untuk sesajen di kawah Gunung
Bromo.”
Begitu Jaka Seger selesai mengucapkan ikrar itu, tiba-
tiba api muncul dari dalam tanah di kawah Gunung
Bromo. Hal itu sebagai pertanda bahwa doa Jaka Seger
didengar oleh Tuhan Yang Mahakuasa. Tak berapa lama
kemudian, Rara Anteng pun diketahui sedang
mengandung. Alangkah bahagianya hati Jaka Seger
mendengar kabar baik itu. Sembilan bulan kemudian,
buah hati yang telah lama mereka nanti-nantikan pun
lahir ke dunia. Kebahagiannya pun semakin sempurna
ketika mengetahui bahwa istrinya melahirkan anak
kembar. Setahun kemudian, Rara Anteng melahirkan
lagi anak kembar. Begitulah seterusnya, setiap tahun
Rara Anteng melahirkan anak kembar, ada kembar dua
dan ada pula kembar tiga, hingga akhirnya anak
mereka berjumlah dua puluh lima orang.
“Terima kasih, Tuhan! Engkau telah mengabulkan doa
hamba!” ucap Jaka Seger.
Jaka Seger bersama istrinya merawat dan membesarkan
kedua puluh lima anak tersebut hingga tumbuh
menjadi dewasa. Jaka Seger sangat menyayangi semua
anaknya, terutama putra bungsunya yang bernama
Dewa Kusuma. Karena terlena dalam kebahagiaan, ia
lupa janjinya kepada Tuhan. Suatu malam, Tuhan pun
menegurnya melalui mimpi.
“Mana janjimu, wahai Jaka Seger! Serahkanlah salah
seorang putramu ke kawah Gunung Bromo!” seru suara
itu dalam mimpi Jaka Seger.
Jaka Seger langsung tersentak kaget saat tersadar dari
mimpinya.
“Ya, Tuhan! Aku telah lupa pada janjiku,” ucap Jaka
Seger, “Aduh, bagaimana ini? Siapa di antara putra-
putriku yang harus kupersembahkan, padahal aku
sangat menyayangi mereka semua?”
Akhirnya, Jaka Seger bersama istrinya mengumpulkan
seluruh putra-putrinya dalam sebuah pertemuan
keluarga. Jaka Seger kemudian menceritakan perihal
nazarnya itu kepada mereka. Wajah mereka pun
serempak berubah menjadi pucat pasi. Apalagi ketika
dimintai kesediaan salah seorang dari mereka untuk
dijadikan persembahan.
“Ampun, Ayah! Ananda tidak mau menjadi
persembahan di kawah itu. Ananda tidak mau mati
muda,” sahut anak sulungnya keberatan.
“Dengarlah, wahai putra-putriku! Jika Ayahanda tidak
menunaikan nazar ini, maka desa ini dan seluruh isinya
akan binasa,” jelas Jaka Seger.
Dengan sigap, Dewa Kusuma langsung menanggapi
penjelasan ayahandanya.
“Ampun, Ayah! Jika itu memang sudah menjadi nazar
Ayah, Ananda bersedia untuk dijadikan persembahan
di kawah Gunung Bromo,” kata Dewa Kusuma.
Jaka Seger tersentak kaget. Ia tidak pernah mengira
sebelumnya jika putra bungsunyalah yang mempunyai
keberanian dan kerelaan untuk dijadikan persembahan.
“Apakah kamu yakin dengan ucapanmu itu, hai Dewa
Kusuma?” tanya ayahnya.
“Iya, Ayah! Ananda rela berkorban demi
menyelamatkan dusun ini dan seluruh isinya,” jawab
Dewa Kusuma, “tapi, Ananda mempunyai satu
permintaan.”
“Apakah permintaanmu, Putraku?” tanya ayahnya.
Dewa Kusuma pun menyampaikan permintaannya
kepada Ayah, Ibu, dan saudara-saudaranya agar
dirinya diceburkan ke dalam kawah itu pada tanggal 14
bulan Kasada (penanggalan Jawa). Ia juga meminta agar
setiap tahun pada bulan dan tanggal tersebut diberi
sesajen berupa hasil bumi dan ternak yang dihasilkan
oleh ke-24 saudaranya. Permintaan Dewa Kusuma pun
diterima oleh seluruh anggota keluarganya.
Pada tanggal 14 bulan Kasada, Dewa Kusuma pun
diceburkan ke kawah Gunung Bromo dengan diiringi
isak tangis oleh seluruh keluarganya. Nazar Jaka Seger
pun terlaksana sehingga dusun itu atau kini dikenal
Desa Tengger terhindar dari bencana.
* * *
Demikian cerita Jaka Seger dan Rara Anteng dari
daerah Jawa Timur. Hingga kini, kawah yang memiliki
garis tengah lebih kurang 800 meter (utara-selatan)
dan 600 meter (timur-barat) ini telah menjadi obyek
wisata menarik di kawasan Gunung Bromo. Untuk
mengenang dan menghormati pesan Dewa Kusuma,
masyarakat suku Tengger melaksanakan upacara
persembahan sesaji ke kawah Gunung Bromo yang
dikenal dengan istilah upacara Yadnya Kasada. Upacara
yang juga merupakan daya tarik wisata ini dilaksanakan
pada tengah malam hingga dini hari setiap bulan
purnama, yaitu sekitar tanggal 14 – 15 di bulan Kasada
(kepuluh) menurut penanggalan Jawa.

DAMAR WULAN MINAK JINGGO

Minakjingga adalah Adipati Blambangan yang memiliki
kesaktian tinggi. Suatu ketika, ia berencana untuk
memberontak pada Kerajaan Majapahit yang dipimpin
oleh seorang raja perempuan yang cantik jelita
bernama Ratu Ayu Kencana Wungu. Sang Ratu
kemudian mengadakan sayembara untuk menangkal
ancaman dari Minakjingga. Salah seorang dari peserta
sayembara ini adalah seorang pemuda bernama
Damarwulan. Berhasilkah Damarwulan mengalahkan
Minakjingga? Simak kisahnya dalam cerita Damarwulan
dan Minakjingga berikut ini!
* * *
Tersebutlah seorang ratu bernama Dewi Suhita yang
bergelar Ratu Ayu Kencana Wungu. Ia adalah penguasa
Kerajaan Majapahit yang ke-6. Pada era
pemerintahannya, Majapahit berhasil menaklukkan
banyak daerah yang kemudian dijadikan sebagai bagian
dari wilayah kekuasaan kerajaan yang berpusat di
Trowulan, Jawa Timur, itu. Salah satu kerajaan kecil
yang menjadi taklukan Majapahit adalah Kerajaan
Blambangan yang terletak di Banyuwangi. Kerajaan itu
dipimpin oleh seorang bangsawan dari Klungkung, Bali,
bernama Adipati Kebo Marcuet. Adipati ini terkenal
sakti dan memiliki sepasang tanduk di kepalanya
seperti kerbau.
Keberadaan Adipati Kebo Marcuet ternyata
menghadirkan ancaman bagi Ratu Ayu Kencana Wungu.
Meskipun hanya seorang raja taklukan, namun sepak
terjang Adipati Kebo Marcuet yang terus-menerus
merongrong wilayah kekuasaan Majapahit membuat
Ratu Ayu Kencana Wungu cemas. Ratu Majapahit itu
pun berupaya menghentikan ulah Adipati Kebo
Marcuet dengan mengadakan sebuah sayembara.
“Barangsiapa yang mampu mengalahkan Adipati Kebo
Marcuet, maka dia akan kuangkat menjadi Adipati
Blambangan dan kujadikan sebagai suami,” demikian
maklumat Ratu Ayu Kencana Wungu yang dibacakan di
hadapan seluruh rakyat Majapahit.
Sayembara itu diikuti oleh puluhan orang, namun
semua gagal mengalahkan kesaktian Adipati Kebo
Marcuet. Hingga datanglah seorang pemuda tampan
dan gagah bernama Jaka Umbaran yang berasal dari
Pasuruan. Ia adalah cucu Ki Ajah Pamengger yang
merupakan guru sekaligus ayah angkat Adipati Kebo
Marcuet. Rupanya, Jaka Umbaran mengetahui
kelemahan Adipati Kebo Marcuet. Maka, dengan senjata
pusakanya gada wesi kuning (gada yang terbuat dari
kuningan), dan dibantu oleh seorang pemanjat kelapa
yang sakti bernama Dayun, Jaka Umbaran berhasil
mengalahkan Adipati Kebo Marcuet.
Ratu Ayu Kencana Wungu sangat gembira dengan
kekalahan Adipati Kebo Marcuet. Ia pun menobatkan
Jaka Umbaran menjadi Adipati Blambangan dengan
gelar Minakjingga. Akan tetapi, Ratu Ayu Kencana Ungu
menolak menikah dengan Jaka Umbaran karena
pemuda itu kini tidak lagi tampan. Akibat
pertarungannya dengan Adipati Kebo Marcuet, wajah
Jaka Umbaran yang semula rupawan menjadi rusak,
kakinya pincang, dan badannya menjadi bongkok.
Jaka Umbaran alias Minakjingga tetap bersikeras
menagih janji. Ia datang ke Majapahit untuk melamar
Ratu Ayu Kencana Wungu meskipun pada saat itu ia
telah memiliki dua selir bernama Dewi Wahita dan Dewi
Puyengan. Lamaran Minakjingga bertepuk sebelah
tangan karena sang Ratu tetap tidak sudi menikah
dengannya.
Penolakan itu membuat Minakjingga murka dan
memendam dendam kepada Ratu Ayu Kencana Wungu.
Untuk melampiaskan kemarahannya, Minakjingga
merebut beberapa wilayah kekuasaan Majapahit sampai
ke Probolinggo. Tidak hanya itu, Minakjingga pun
berniat untuk menyerang Majapahit. Ratu Ayu Kencana
Wungu sangat khawatir ketika mendengar bahwa
Minakjingga ingin menyerang kerajaannya. Maka, ia
pun kembali menggelar sayembara.
“Barangsiapa yang berhasil membinasakan Minakjingga
akan kujadikan suamiku!” ucap Ratu Ayu Kencana
Wungu di hadapan seluruh rakyat Majapahit.
Sekali lagi, puluhan pemuda turut serta dalam
sayembara tersebut, namun tidak ada satu pun yang
berhasil mengungguli kesaktian Minakjingga. Hal ini
membuat sang Ratu semakin cemas. Saat kekhawatiran
sang Ratu semakin besar, datanglah seorang pemuda
tampan bernama Damarwulan. Ia adalah putra Patih
Udara, patih Majapahit yang sedang pergi bertapa. Saat
itu Damarwulan sedang bekerja sebagai perawat kuda
milik Patih Logender, seorang patih Majapahit yang
ditunjuk untuk menggantikan kedudukan ayah
Damarwulan.
Di hadapan sang Ratu, Damarwulan menyampaikan
keinginannya mengikuti sayembara untuk mengalahkan
Minakjingga.
“Ampun, Gusti Ratu! Jika diperkenankan, izinkanlah
hamba mengikuti sayembara,” pinta Damarwulan.
“Tentu saja, Damarwulan. Bawalah kepala Minakjingga
ke hadapanku!” titah sang Ratu.
“Baik, Gusti,” kata pemuda itu seraya berpamitan.
Berangkatlah Damarwulan ke Blambangan untuk
menantang Minakjingga.
“Hai, Minakjingga! Jika berani, lawanlah aku!” seru
Damarwulan setiba di Blambangan.
“Siapa kamu?” tanya Minakjingga, “Berani-beraninya
menantang aku.”
“Ketahuilah, hai pemberontak! Aku Damarwulan yang
diutus oleh Ratu Ayu Kencana Wungu untuk
membinasakanmu,” jawab Damarwulan.
“Ha… Ha… Ha…!” Minakjingga tertawa terbahak-bahak,
“Sia-sia saja kamu ke sini, Damarwulan. Kamu tidak
akan mampu menghadapi kesaktian senjata pusakaku,
gada wesi kuning!”
Pertarungan sengit antara dua pendekar sakti itu pun
terjadi. Keduanya silih-berganti menyerang. Namun,
akhirnya Damarwulan kalah dalam pertarungan itu
hingga pingsan terkena pusaka gada wesi kuning milik
Minakjingga. Damarwulan pun dimasukkan ke dalam
penjara.
Rupanya, kedua selir Minakjingga, Dewi Wahita dan
Dewi Puyengan, terpikat melihat ketampanan
Damarwulan. Mereka pun secara diam-diam mengobati
luka pemuda itu. Bahkan, mereka juga membuka
rahasia kesaktian Minakjingga.
“Kekuatan Minakjingga terletak pada gada wesi kuning.
Dia tidak akan bisa berbuat apa-apa tanpa sejata itu,”
kata Dewi Wahita.
“Benar. Jika ingin mengalahkan Minakjingga, Anda
harus merampas pusakanya,” tambah Dewi Puyengan.
“Lalu, bagaimana aku bisa merebut senjata pusaka itu?”
tanya Damarwulan.
“Kami akan membantumu mendapatkan senjata itu,”
janji kedua selir Minakjingga itu.
Pada malam harinya, Dewi Sahita dan Dewi Puyengan
mencuri pusaka gada wesi kuning saat Minakjingga
terlelap. Pusaka itu kemudian mereka berikan kepada
Damarwulan. Setelah memiliki senjata itu, Damarwulan
pun kembali menantang Minakjingga untuk bertarung.
Alangkah terkejutnya Minakjingga saat melihat sejata
pusakanya ada di tangan Damarwulan.
“Hai, Damarwulan! Bagaimana kamu bisa mendapatkan
senjataku?” tanya Minakjingga heran.
Damarwulan tidak menjawab. Ia segera menyerang
Minakjingga dengan senjata gada wesi kuning yang ada
di tangannya. Minakjingga pun tidak bisa melakukan
perlawanan sehingga dapat dengan mudah dikalahkan.
Akhirnya, Adipati Blambangan itu tewas oleh senjata
pusakanya sendiri. Damarwulan memenggal kepada
Minakjingga untuk dipersembahkan kepada Ratu Ayu
Kencana Wungu.
Dalam perjalanan menuju Majapahit, Damarwulan
dihadang oleh Layang Seta dan Layang Kumitir. Kedua
orang yang bersaudara itu adalah putra Patih
Logender. Rupanya, mereka diam-diam mengikuti
Damarwulan ke Blambangan. Saat melihat Damarwulan
berhasil mengalahkan Minakjingga, mereka hendak
merebut kepala Minakjingga agar diakui sebagai
pemenang sayembara.
“Hai, Damarwulan! Serahkan kepala Minakjingga itu
kepada kami!” seru Layang Seta.
Damarwulan tentu saja menolak permintaan itu.
Pertarungan pun tak terelakkan. Layang Seta dan
Layang Kumitir mengeroyok Damarwulan dan berhasil
merebut kepala Minakjingga. Kepala itu kemudian
mereka bawa ke Majapahit. Pada saat mereka hendak
mempersembahkan kepala itu kepada sang Ratu, tiba-
tiba Damarwulan datang dan segera menyampaikan
kebenaran.
“Ampun, Gusti! Hamba telah berhasil menjalankan
tugas dengan baik. Namun, di tengah jalan, tiba-tiba
Layang Seta dan Layang Kumitir menghadang hamba
dan merebut kepala itu dari tangan hamba,” lapor
Damarwulan.
“Ampun, Gusti! Perkataan Damarwulan itu bohong
belaka. Kamilah yang telah memenggal kepala
Minakjingga,” sanggah Layang Seta.
Pertengkaran antara kedua pihak pun semakin
memanas. Mereka sama-sama mengaku yang telah
memenggal kepala Minakjingga. Ratu Ayu Kencana
Wungu pun menjadi bingung. Ia tidak dapat
menenentukan siapa di antara mereka yang benar.
Maka, sebagai jalan keluarnya, penguasa Majapahit itu
meminta kedua belah pihak untuk bertarung.
“Sudahlah, kalian tidak usah bertengkar lagi!” ujar Ratu
Ayu Kencana, “Sekarang aku ingin bukti yang jelas.
Bertarunglah kalian, siapa yang berhasil menjadi
pemenangnya pastilah ia yang telah membinasakan
Minakjingga.”
Akhirnya, mereka pun bertarung. Kali ini, Damarwulan
lebih berhati-hati menghadapi kedua putra Patih
Logender itu. Ia harus membuktikan kepada sang Ratu
bahwa dirinyalah yang benar. Demikian pula Layang
Seta dan Layang Kumitir, mereka tidak ingin
kebohongan mereka terbongkar di hadapan sang Ratu.
Dengan disaksikan oleh sang Ratu dan seluruh rakyat
Majapahit, pertarungan itu pun berlangsung sangat
seru. Kedua belah pihak mengeluarkan seluruh
kekuatan masing-masing demi memenangkan
pertandingan. Pertarungan itu akhirnya dimenangkan
oleh Damarwulan. Layang Seta dan Layang Kumitir pun
mengakui kesalahan mereka dan dimasukkan ke
penjara, sedangkan Damarwulan pun berhak menikah
dengan Ratu Ayu Kencana Wungu.
* * *
Demikian cerita Damarwulan dan Minakjingga dari
Banyuwangi, Jawa Timur. Kisah ini terus berkembang
menjadi cerita rakyat dengan berbagai versi. Terlepas
dari itu, cerita ini juga dikisahkan dalam bentuk sastra
seperti dalam Serat Kanda, Serat Damarwulan, Serat
Blambangan, dan sebagainya. Cerita tentang
Damarwulan dan Minakjingga juga menjadi tema
pertunjukan dalam pementasan teater rakyat Jawa
Timur. Bahkan, legenda Damarwulan dan Minakjingga
ini telah diangkat dalam film layar lebar.

DAMAR WULAN MINAK JINGGO

Minakjingga adalah Adipati Blambangan yang memiliki
kesaktian tinggi. Suatu ketika, ia berencana untuk
memberontak pada Kerajaan Majapahit yang dipimpin
oleh seorang raja perempuan yang cantik jelita
bernama Ratu Ayu Kencana Wungu. Sang Ratu
kemudian mengadakan sayembara untuk menangkal
ancaman dari Minakjingga. Salah seorang dari peserta
sayembara ini adalah seorang pemuda bernama
Damarwulan. Berhasilkah Damarwulan mengalahkan
Minakjingga? Simak kisahnya dalam cerita Damarwulan
dan Minakjingga berikut ini!
* * *
Tersebutlah seorang ratu bernama Dewi Suhita yang
bergelar Ratu Ayu Kencana Wungu. Ia adalah penguasa
Kerajaan Majapahit yang ke-6. Pada era
pemerintahannya, Majapahit berhasil menaklukkan
banyak daerah yang kemudian dijadikan sebagai bagian
dari wilayah kekuasaan kerajaan yang berpusat di
Trowulan, Jawa Timur, itu. Salah satu kerajaan kecil
yang menjadi taklukan Majapahit adalah Kerajaan
Blambangan yang terletak di Banyuwangi. Kerajaan itu
dipimpin oleh seorang bangsawan dari Klungkung, Bali,
bernama Adipati Kebo Marcuet. Adipati ini terkenal
sakti dan memiliki sepasang tanduk di kepalanya
seperti kerbau.
Keberadaan Adipati Kebo Marcuet ternyata
menghadirkan ancaman bagi Ratu Ayu Kencana Wungu.
Meskipun hanya seorang raja taklukan, namun sepak
terjang Adipati Kebo Marcuet yang terus-menerus
merongrong wilayah kekuasaan Majapahit membuat
Ratu Ayu Kencana Wungu cemas. Ratu Majapahit itu
pun berupaya menghentikan ulah Adipati Kebo
Marcuet dengan mengadakan sebuah sayembara.
“Barangsiapa yang mampu mengalahkan Adipati Kebo
Marcuet, maka dia akan kuangkat menjadi Adipati
Blambangan dan kujadikan sebagai suami,” demikian
maklumat Ratu Ayu Kencana Wungu yang dibacakan di
hadapan seluruh rakyat Majapahit.
Sayembara itu diikuti oleh puluhan orang, namun
semua gagal mengalahkan kesaktian Adipati Kebo
Marcuet. Hingga datanglah seorang pemuda tampan
dan gagah bernama Jaka Umbaran yang berasal dari
Pasuruan. Ia adalah cucu Ki Ajah Pamengger yang
merupakan guru sekaligus ayah angkat Adipati Kebo
Marcuet. Rupanya, Jaka Umbaran mengetahui
kelemahan Adipati Kebo Marcuet. Maka, dengan senjata
pusakanya gada wesi kuning (gada yang terbuat dari
kuningan), dan dibantu oleh seorang pemanjat kelapa
yang sakti bernama Dayun, Jaka Umbaran berhasil
mengalahkan Adipati Kebo Marcuet.
Ratu Ayu Kencana Wungu sangat gembira dengan
kekalahan Adipati Kebo Marcuet. Ia pun menobatkan
Jaka Umbaran menjadi Adipati Blambangan dengan
gelar Minakjingga. Akan tetapi, Ratu Ayu Kencana Ungu
menolak menikah dengan Jaka Umbaran karena
pemuda itu kini tidak lagi tampan. Akibat
pertarungannya dengan Adipati Kebo Marcuet, wajah
Jaka Umbaran yang semula rupawan menjadi rusak,
kakinya pincang, dan badannya menjadi bongkok.
Jaka Umbaran alias Minakjingga tetap bersikeras
menagih janji. Ia datang ke Majapahit untuk melamar
Ratu Ayu Kencana Wungu meskipun pada saat itu ia
telah memiliki dua selir bernama Dewi Wahita dan Dewi
Puyengan. Lamaran Minakjingga bertepuk sebelah
tangan karena sang Ratu tetap tidak sudi menikah
dengannya.
Penolakan itu membuat Minakjingga murka dan
memendam dendam kepada Ratu Ayu Kencana Wungu.
Untuk melampiaskan kemarahannya, Minakjingga
merebut beberapa wilayah kekuasaan Majapahit sampai
ke Probolinggo. Tidak hanya itu, Minakjingga pun
berniat untuk menyerang Majapahit. Ratu Ayu Kencana
Wungu sangat khawatir ketika mendengar bahwa
Minakjingga ingin menyerang kerajaannya. Maka, ia
pun kembali menggelar sayembara.
“Barangsiapa yang berhasil membinasakan Minakjingga
akan kujadikan suamiku!” ucap Ratu Ayu Kencana
Wungu di hadapan seluruh rakyat Majapahit.
Sekali lagi, puluhan pemuda turut serta dalam
sayembara tersebut, namun tidak ada satu pun yang
berhasil mengungguli kesaktian Minakjingga. Hal ini
membuat sang Ratu semakin cemas. Saat kekhawatiran
sang Ratu semakin besar, datanglah seorang pemuda
tampan bernama Damarwulan. Ia adalah putra Patih
Udara, patih Majapahit yang sedang pergi bertapa. Saat
itu Damarwulan sedang bekerja sebagai perawat kuda
milik Patih Logender, seorang patih Majapahit yang
ditunjuk untuk menggantikan kedudukan ayah
Damarwulan.
Di hadapan sang Ratu, Damarwulan menyampaikan
keinginannya mengikuti sayembara untuk mengalahkan
Minakjingga.
“Ampun, Gusti Ratu! Jika diperkenankan, izinkanlah
hamba mengikuti sayembara,” pinta Damarwulan.
“Tentu saja, Damarwulan. Bawalah kepala Minakjingga
ke hadapanku!” titah sang Ratu.
“Baik, Gusti,” kata pemuda itu seraya berpamitan.
Berangkatlah Damarwulan ke Blambangan untuk
menantang Minakjingga.
“Hai, Minakjingga! Jika berani, lawanlah aku!” seru
Damarwulan setiba di Blambangan.
“Siapa kamu?” tanya Minakjingga, “Berani-beraninya
menantang aku.”
“Ketahuilah, hai pemberontak! Aku Damarwulan yang
diutus oleh Ratu Ayu Kencana Wungu untuk
membinasakanmu,” jawab Damarwulan.
“Ha… Ha… Ha…!” Minakjingga tertawa terbahak-bahak,
“Sia-sia saja kamu ke sini, Damarwulan. Kamu tidak
akan mampu menghadapi kesaktian senjata pusakaku,
gada wesi kuning!”
Pertarungan sengit antara dua pendekar sakti itu pun
terjadi. Keduanya silih-berganti menyerang. Namun,
akhirnya Damarwulan kalah dalam pertarungan itu
hingga pingsan terkena pusaka gada wesi kuning milik
Minakjingga. Damarwulan pun dimasukkan ke dalam
penjara.
Rupanya, kedua selir Minakjingga, Dewi Wahita dan
Dewi Puyengan, terpikat melihat ketampanan
Damarwulan. Mereka pun secara diam-diam mengobati
luka pemuda itu. Bahkan, mereka juga membuka
rahasia kesaktian Minakjingga.
“Kekuatan Minakjingga terletak pada gada wesi kuning.
Dia tidak akan bisa berbuat apa-apa tanpa sejata itu,”
kata Dewi Wahita.
“Benar. Jika ingin mengalahkan Minakjingga, Anda
harus merampas pusakanya,” tambah Dewi Puyengan.
“Lalu, bagaimana aku bisa merebut senjata pusaka itu?”
tanya Damarwulan.
“Kami akan membantumu mendapatkan senjata itu,”
janji kedua selir Minakjingga itu.
Pada malam harinya, Dewi Sahita dan Dewi Puyengan
mencuri pusaka gada wesi kuning saat Minakjingga
terlelap. Pusaka itu kemudian mereka berikan kepada
Damarwulan. Setelah memiliki senjata itu, Damarwulan
pun kembali menantang Minakjingga untuk bertarung.
Alangkah terkejutnya Minakjingga saat melihat sejata
pusakanya ada di tangan Damarwulan.
“Hai, Damarwulan! Bagaimana kamu bisa mendapatkan
senjataku?” tanya Minakjingga heran.
Damarwulan tidak menjawab. Ia segera menyerang
Minakjingga dengan senjata gada wesi kuning yang ada
di tangannya. Minakjingga pun tidak bisa melakukan
perlawanan sehingga dapat dengan mudah dikalahkan.
Akhirnya, Adipati Blambangan itu tewas oleh senjata
pusakanya sendiri. Damarwulan memenggal kepada
Minakjingga untuk dipersembahkan kepada Ratu Ayu
Kencana Wungu.
Dalam perjalanan menuju Majapahit, Damarwulan
dihadang oleh Layang Seta dan Layang Kumitir. Kedua
orang yang bersaudara itu adalah putra Patih
Logender. Rupanya, mereka diam-diam mengikuti
Damarwulan ke Blambangan. Saat melihat Damarwulan
berhasil mengalahkan Minakjingga, mereka hendak
merebut kepala Minakjingga agar diakui sebagai
pemenang sayembara.
“Hai, Damarwulan! Serahkan kepala Minakjingga itu
kepada kami!” seru Layang Seta.
Damarwulan tentu saja menolak permintaan itu.
Pertarungan pun tak terelakkan. Layang Seta dan
Layang Kumitir mengeroyok Damarwulan dan berhasil
merebut kepala Minakjingga. Kepala itu kemudian
mereka bawa ke Majapahit. Pada saat mereka hendak
mempersembahkan kepala itu kepada sang Ratu, tiba-
tiba Damarwulan datang dan segera menyampaikan
kebenaran.
“Ampun, Gusti! Hamba telah berhasil menjalankan
tugas dengan baik. Namun, di tengah jalan, tiba-tiba
Layang Seta dan Layang Kumitir menghadang hamba
dan merebut kepala itu dari tangan hamba,” lapor
Damarwulan.
“Ampun, Gusti! Perkataan Damarwulan itu bohong
belaka. Kamilah yang telah memenggal kepala
Minakjingga,” sanggah Layang Seta.
Pertengkaran antara kedua pihak pun semakin
memanas. Mereka sama-sama mengaku yang telah
memenggal kepala Minakjingga. Ratu Ayu Kencana
Wungu pun menjadi bingung. Ia tidak dapat
menenentukan siapa di antara mereka yang benar.
Maka, sebagai jalan keluarnya, penguasa Majapahit itu
meminta kedua belah pihak untuk bertarung.
“Sudahlah, kalian tidak usah bertengkar lagi!” ujar Ratu
Ayu Kencana, “Sekarang aku ingin bukti yang jelas.
Bertarunglah kalian, siapa yang berhasil menjadi
pemenangnya pastilah ia yang telah membinasakan
Minakjingga.”
Akhirnya, mereka pun bertarung. Kali ini, Damarwulan
lebih berhati-hati menghadapi kedua putra Patih
Logender itu. Ia harus membuktikan kepada sang Ratu
bahwa dirinyalah yang benar. Demikian pula Layang
Seta dan Layang Kumitir, mereka tidak ingin
kebohongan mereka terbongkar di hadapan sang Ratu.
Dengan disaksikan oleh sang Ratu dan seluruh rakyat
Majapahit, pertarungan itu pun berlangsung sangat
seru. Kedua belah pihak mengeluarkan seluruh
kekuatan masing-masing demi memenangkan
pertandingan. Pertarungan itu akhirnya dimenangkan
oleh Damarwulan. Layang Seta dan Layang Kumitir pun
mengakui kesalahan mereka dan dimasukkan ke
penjara, sedangkan Damarwulan pun berhak menikah
dengan Ratu Ayu Kencana Wungu.
* * *
Demikian cerita Damarwulan dan Minakjingga dari
Banyuwangi, Jawa Timur. Kisah ini terus berkembang
menjadi cerita rakyat dengan berbagai versi. Terlepas
dari itu, cerita ini juga dikisahkan dalam bentuk sastra
seperti dalam Serat Kanda, Serat Damarwulan, Serat
Blambangan, dan sebagainya. Cerita tentang
Damarwulan dan Minakjingga juga menjadi tema
pertunjukan dalam pementasan teater rakyat Jawa
Timur. Bahkan, legenda Damarwulan dan Minakjingga
ini telah diangkat dalam film layar lebar.

DAMAR WULAN MINAK JINGGO

Minakjingga adalah Adipati Blambangan yang memiliki
kesaktian tinggi. Suatu ketika, ia berencana untuk
memberontak pada Kerajaan Majapahit yang dipimpin
oleh seorang raja perempuan yang cantik jelita
bernama Ratu Ayu Kencana Wungu. Sang Ratu
kemudian mengadakan sayembara untuk menangkal
ancaman dari Minakjingga. Salah seorang dari peserta
sayembara ini adalah seorang pemuda bernama
Damarwulan. Berhasilkah Damarwulan mengalahkan
Minakjingga? Simak kisahnya dalam cerita Damarwulan
dan Minakjingga berikut ini!
* * *
Tersebutlah seorang ratu bernama Dewi Suhita yang
bergelar Ratu Ayu Kencana Wungu. Ia adalah penguasa
Kerajaan Majapahit yang ke-6. Pada era
pemerintahannya, Majapahit berhasil menaklukkan
banyak daerah yang kemudian dijadikan sebagai bagian
dari wilayah kekuasaan kerajaan yang berpusat di
Trowulan, Jawa Timur, itu. Salah satu kerajaan kecil
yang menjadi taklukan Majapahit adalah Kerajaan
Blambangan yang terletak di Banyuwangi. Kerajaan itu
dipimpin oleh seorang bangsawan dari Klungkung, Bali,
bernama Adipati Kebo Marcuet. Adipati ini terkenal
sakti dan memiliki sepasang tanduk di kepalanya
seperti kerbau.
Keberadaan Adipati Kebo Marcuet ternyata
menghadirkan ancaman bagi Ratu Ayu Kencana Wungu.
Meskipun hanya seorang raja taklukan, namun sepak
terjang Adipati Kebo Marcuet yang terus-menerus
merongrong wilayah kekuasaan Majapahit membuat
Ratu Ayu Kencana Wungu cemas. Ratu Majapahit itu
pun berupaya menghentikan ulah Adipati Kebo
Marcuet dengan mengadakan sebuah sayembara.
“Barangsiapa yang mampu mengalahkan Adipati Kebo
Marcuet, maka dia akan kuangkat menjadi Adipati
Blambangan dan kujadikan sebagai suami,” demikian
maklumat Ratu Ayu Kencana Wungu yang dibacakan di
hadapan seluruh rakyat Majapahit.
Sayembara itu diikuti oleh puluhan orang, namun
semua gagal mengalahkan kesaktian Adipati Kebo
Marcuet. Hingga datanglah seorang pemuda tampan
dan gagah bernama Jaka Umbaran yang berasal dari
Pasuruan. Ia adalah cucu Ki Ajah Pamengger yang
merupakan guru sekaligus ayah angkat Adipati Kebo
Marcuet. Rupanya, Jaka Umbaran mengetahui
kelemahan Adipati Kebo Marcuet. Maka, dengan senjata
pusakanya gada wesi kuning (gada yang terbuat dari
kuningan), dan dibantu oleh seorang pemanjat kelapa
yang sakti bernama Dayun, Jaka Umbaran berhasil
mengalahkan Adipati Kebo Marcuet.
Ratu Ayu Kencana Wungu sangat gembira dengan
kekalahan Adipati Kebo Marcuet. Ia pun menobatkan
Jaka Umbaran menjadi Adipati Blambangan dengan
gelar Minakjingga. Akan tetapi, Ratu Ayu Kencana Ungu
menolak menikah dengan Jaka Umbaran karena
pemuda itu kini tidak lagi tampan. Akibat
pertarungannya dengan Adipati Kebo Marcuet, wajah
Jaka Umbaran yang semula rupawan menjadi rusak,
kakinya pincang, dan badannya menjadi bongkok.
Jaka Umbaran alias Minakjingga tetap bersikeras
menagih janji. Ia datang ke Majapahit untuk melamar
Ratu Ayu Kencana Wungu meskipun pada saat itu ia
telah memiliki dua selir bernama Dewi Wahita dan Dewi
Puyengan. Lamaran Minakjingga bertepuk sebelah
tangan karena sang Ratu tetap tidak sudi menikah
dengannya.
Penolakan itu membuat Minakjingga murka dan
memendam dendam kepada Ratu Ayu Kencana Wungu.
Untuk melampiaskan kemarahannya, Minakjingga
merebut beberapa wilayah kekuasaan Majapahit sampai
ke Probolinggo. Tidak hanya itu, Minakjingga pun
berniat untuk menyerang Majapahit. Ratu Ayu Kencana
Wungu sangat khawatir ketika mendengar bahwa
Minakjingga ingin menyerang kerajaannya. Maka, ia
pun kembali menggelar sayembara.
“Barangsiapa yang berhasil membinasakan Minakjingga
akan kujadikan suamiku!” ucap Ratu Ayu Kencana
Wungu di hadapan seluruh rakyat Majapahit.
Sekali lagi, puluhan pemuda turut serta dalam
sayembara tersebut, namun tidak ada satu pun yang
berhasil mengungguli kesaktian Minakjingga. Hal ini
membuat sang Ratu semakin cemas. Saat kekhawatiran
sang Ratu semakin besar, datanglah seorang pemuda
tampan bernama Damarwulan. Ia adalah putra Patih
Udara, patih Majapahit yang sedang pergi bertapa. Saat
itu Damarwulan sedang bekerja sebagai perawat kuda
milik Patih Logender, seorang patih Majapahit yang
ditunjuk untuk menggantikan kedudukan ayah
Damarwulan.
Di hadapan sang Ratu, Damarwulan menyampaikan
keinginannya mengikuti sayembara untuk mengalahkan
Minakjingga.
“Ampun, Gusti Ratu! Jika diperkenankan, izinkanlah
hamba mengikuti sayembara,” pinta Damarwulan.
“Tentu saja, Damarwulan. Bawalah kepala Minakjingga
ke hadapanku!” titah sang Ratu.
“Baik, Gusti,” kata pemuda itu seraya berpamitan.
Berangkatlah Damarwulan ke Blambangan untuk
menantang Minakjingga.
“Hai, Minakjingga! Jika berani, lawanlah aku!” seru
Damarwulan setiba di Blambangan.
“Siapa kamu?” tanya Minakjingga, “Berani-beraninya
menantang aku.”
“Ketahuilah, hai pemberontak! Aku Damarwulan yang
diutus oleh Ratu Ayu Kencana Wungu untuk
membinasakanmu,” jawab Damarwulan.
“Ha… Ha… Ha…!” Minakjingga tertawa terbahak-bahak,
“Sia-sia saja kamu ke sini, Damarwulan. Kamu tidak
akan mampu menghadapi kesaktian senjata pusakaku,
gada wesi kuning!”
Pertarungan sengit antara dua pendekar sakti itu pun
terjadi. Keduanya silih-berganti menyerang. Namun,
akhirnya Damarwulan kalah dalam pertarungan itu
hingga pingsan terkena pusaka gada wesi kuning milik
Minakjingga. Damarwulan pun dimasukkan ke dalam
penjara.
Rupanya, kedua selir Minakjingga, Dewi Wahita dan
Dewi Puyengan, terpikat melihat ketampanan
Damarwulan. Mereka pun secara diam-diam mengobati
luka pemuda itu. Bahkan, mereka juga membuka
rahasia kesaktian Minakjingga.
“Kekuatan Minakjingga terletak pada gada wesi kuning.
Dia tidak akan bisa berbuat apa-apa tanpa sejata itu,”
kata Dewi Wahita.
“Benar. Jika ingin mengalahkan Minakjingga, Anda
harus merampas pusakanya,” tambah Dewi Puyengan.
“Lalu, bagaimana aku bisa merebut senjata pusaka itu?”
tanya Damarwulan.
“Kami akan membantumu mendapatkan senjata itu,”
janji kedua selir Minakjingga itu.
Pada malam harinya, Dewi Sahita dan Dewi Puyengan
mencuri pusaka gada wesi kuning saat Minakjingga
terlelap. Pusaka itu kemudian mereka berikan kepada
Damarwulan. Setelah memiliki senjata itu, Damarwulan
pun kembali menantang Minakjingga untuk bertarung.
Alangkah terkejutnya Minakjingga saat melihat sejata
pusakanya ada di tangan Damarwulan.
“Hai, Damarwulan! Bagaimana kamu bisa mendapatkan
senjataku?” tanya Minakjingga heran.
Damarwulan tidak menjawab. Ia segera menyerang
Minakjingga dengan senjata gada wesi kuning yang ada
di tangannya. Minakjingga pun tidak bisa melakukan
perlawanan sehingga dapat dengan mudah dikalahkan.
Akhirnya, Adipati Blambangan itu tewas oleh senjata
pusakanya sendiri. Damarwulan memenggal kepada
Minakjingga untuk dipersembahkan kepada Ratu Ayu
Kencana Wungu.
Dalam perjalanan menuju Majapahit, Damarwulan
dihadang oleh Layang Seta dan Layang Kumitir. Kedua
orang yang bersaudara itu adalah putra Patih
Logender. Rupanya, mereka diam-diam mengikuti
Damarwulan ke Blambangan. Saat melihat Damarwulan
berhasil mengalahkan Minakjingga, mereka hendak
merebut kepala Minakjingga agar diakui sebagai
pemenang sayembara.
“Hai, Damarwulan! Serahkan kepala Minakjingga itu
kepada kami!” seru Layang Seta.
Damarwulan tentu saja menolak permintaan itu.
Pertarungan pun tak terelakkan. Layang Seta dan
Layang Kumitir mengeroyok Damarwulan dan berhasil
merebut kepala Minakjingga. Kepala itu kemudian
mereka bawa ke Majapahit. Pada saat mereka hendak
mempersembahkan kepala itu kepada sang Ratu, tiba-
tiba Damarwulan datang dan segera menyampaikan
kebenaran.
“Ampun, Gusti! Hamba telah berhasil menjalankan
tugas dengan baik. Namun, di tengah jalan, tiba-tiba
Layang Seta dan Layang Kumitir menghadang hamba
dan merebut kepala itu dari tangan hamba,” lapor
Damarwulan.
“Ampun, Gusti! Perkataan Damarwulan itu bohong
belaka. Kamilah yang telah memenggal kepala
Minakjingga,” sanggah Layang Seta.
Pertengkaran antara kedua pihak pun semakin
memanas. Mereka sama-sama mengaku yang telah
memenggal kepala Minakjingga. Ratu Ayu Kencana
Wungu pun menjadi bingung. Ia tidak dapat
menenentukan siapa di antara mereka yang benar.
Maka, sebagai jalan keluarnya, penguasa Majapahit itu
meminta kedua belah pihak untuk bertarung.
“Sudahlah, kalian tidak usah bertengkar lagi!” ujar Ratu
Ayu Kencana, “Sekarang aku ingin bukti yang jelas.
Bertarunglah kalian, siapa yang berhasil menjadi
pemenangnya pastilah ia yang telah membinasakan
Minakjingga.”
Akhirnya, mereka pun bertarung. Kali ini, Damarwulan
lebih berhati-hati menghadapi kedua putra Patih
Logender itu. Ia harus membuktikan kepada sang Ratu
bahwa dirinyalah yang benar. Demikian pula Layang
Seta dan Layang Kumitir, mereka tidak ingin
kebohongan mereka terbongkar di hadapan sang Ratu.
Dengan disaksikan oleh sang Ratu dan seluruh rakyat
Majapahit, pertarungan itu pun berlangsung sangat
seru. Kedua belah pihak mengeluarkan seluruh
kekuatan masing-masing demi memenangkan
pertandingan. Pertarungan itu akhirnya dimenangkan
oleh Damarwulan. Layang Seta dan Layang Kumitir pun
mengakui kesalahan mereka dan dimasukkan ke
penjara, sedangkan Damarwulan pun berhak menikah
dengan Ratu Ayu Kencana Wungu.
* * *
Demikian cerita Damarwulan dan Minakjingga dari
Banyuwangi, Jawa Timur. Kisah ini terus berkembang
menjadi cerita rakyat dengan berbagai versi. Terlepas
dari itu, cerita ini juga dikisahkan dalam bentuk sastra
seperti dalam Serat Kanda, Serat Damarwulan, Serat
Blambangan, dan sebagainya. Cerita tentang
Damarwulan dan Minakjingga juga menjadi tema
pertunjukan dalam pementasan teater rakyat Jawa
Timur. Bahkan, legenda Damarwulan dan Minakjingga
ini telah diangkat dalam film layar lebar.

JAKA SEGER DAN RORO ANTENG

Jaka Seger dan Rara Anteng adalah sebuah legenda
yang beredar di kalangan masyarakat Jawa Timur,
Indonesia. Legenda yang mengisahkan tentang
percintaan antara Jaka Seger dan Rara Anteng ini
menerangkan tentang asal-usul Gunung Brahma
(Bromo) dan Gunung Batok, serta asal-usul nama suku
Tengger, yaitu sebuah suku yang tinggal di sekitar
Gunung Bromo. Bagi suku Tengger, Gunung Bromo
merupakan gunung yang suci. Itulah sebabnya, setiap
setahun sekali, yaitu setiap bulan Purnama pada bulan
ke-10 tahun Saka, mereka melaksanakan upacara yang
dikenal dengan Yadnya Kasada. Konon, keberadaan
upacara tersebut juga diyakini berasal dari cerita Jaka
Seger dan Rara Anteng ini. Berikut kisahnya.
* * *
Alkisah, di sebuah rumah sederhana di lereng Gunung
Bromo, seorang laki-laki setengah baya sedang duduk
menunggu istrinya yang akan melahirkan anak kedua
mereka. Laki-laki itu adalah Raja Majapahit yang
meninggalkan negerinya dan membuat sebuah dusun
di lereng Gunung Bromo bersama beberapa orang
pengikutnya karena kalah berperang melawan putranya
sendiri. Wajah laki-laki itu tampak begitu pucat dan
hatinya diselimuti perasaan cemas melihat istrinya
terus merintih menahan rasa sakit.
Saat tengah malam, buah hati yang mereka nanti-
nantikan pun lahir ke dunia. Namun anehnya, bayi
yang berjenis kelamin perempuan itu tidak menangis
seperti halnya bayi-bayi pada umumnya.
“Dinda! Bayi kita seorang perempuan,” kata mantan
Raja Majapahit itu.
“Tapi Kanda, kenapa Dinda tidak mendengar suara
tangis putri kita?” tanya permaisurinya yang masih
terbaring lemas.
“Jangan khawatir, Dinda! Putri kita lahir dengan normal
dan sehat. Lihatlah, wajah putri kita tampak bersinar!
Dia bagaikan seorang titisan dewa,” ujar mantan Raja
Majapahit itu sambil menimang-nimang bayinya yang
mungil di depan istrinya.
Pasangan suami-istri itu tampak begitu bahagia
mendapat anak. Mereka pun memberi nama bayi itu
Rara Anteng, yang berarti seorang perempuan yang
diam atau tenang.
Pada saat yang hampir bersamaan, di tempat lain yang
tidak jauh dari rumah Anteng dilahirkan, juga lahir
seorang bayi laki-laki dari pasangan suami-istri
pendeta. Suara tangis bayi yang baru lahir itu sangat
keras sehingga memecah kesunyian malam di lereng
Gunung Bromo itu. Bayi itu tampak sehat dan montok.
Oleh kedua orang tuanya, bayi itu diberi nama Jaka
Seger, yang berarti seorang laki-laki yang berbadan
segar.
Waktu terus berlalu. Kedua bayi itu pun tumbuh
menjadi dewasa. Jaka Seger tumbuh menjadi pemuda
yang gagah dan tampan, sedangkan Rara Anteng
tumbuh menjadi gadis yang cantik nan rupawan. Berita
tentang kecantikan Rara Anteng pun tersebar hingga ke
mana-mana dan menjadi pujaan setiap pemuda. Sudah
banyak pemuda yang datang meminangnya, namun tak
satu pun yang diterimanya. Rupanya, putri mantan Raja
Majapahit itu telah menjalin hubungan kasih dengan
Jaka Seger dan cintanya tidak akan berpaling kepada
orang lain.
Pada suatu hari, kabar tentang kencantikan Rara
Anteng juga sampai ke telinga sesosok raksasa yang
tinggal di hutan di sekitar lereng Gunung Bromo.
Raksasa yang menyerupai badak itu bernama Kyai
Bima. Ia sangat sakti dan kejam. Begitu mendengar
kabar tersebut, Kyai Bima pun segera datang meminang
Rara Anteng. Jika keinginannya tidak dituruti, maka ia
akan membinasakan dusun itu dan seluruh isinya. Hal
itulah yang membuat Rara Anteng dan keluarganya
kebingungan untuk menolak pinangannya. Sementara
Jaka Seger pun tidak dapat berbuat apa-apa karena
tidak mampu menandingi kesaktian raksasa itu.
Setelah sejenak berpikir keras, akhirnya Rara Anteng
menemukan sebuah cara untuk menolak pinangan Kyai
Bima secara halus. Dia akan mengajukan satu
persyaratan yang kira-kira tidak sanggup dipenuhi oleh
raksasa itu.
“Baiklah, Kyai Bima! Aku akan menerima pinanganmu,
tapi kamu harus memenuhi satu syarat,” ujar Rara
Anteng.
“Apakah syarat itu! Cepat katakan!” seru Kyai Bima
dengan nada membentak.
Mendengar seruan itu, Rara Anteng menjadi gugup.
Namun, ia berusaha tetap bersikap tenang untuk
menghilangkan rasa gugupnya.
“Buatkan aku danau di atas Gunung Bromo itu! Jika
kamu sanggup menyelesaikannya dalam waktu
semalam, aku akan menerima pinanganmu,” ujar Rara
Anteng.
Dengan penuh percaya diri dan kesaktian yang
dimilikinya, Kyai Bima menyanggupi persyaratan itu
dan menganggap bahwa persyaratan itu sangatlah
mudah baginya.
“Hanya itukah permintaanmu, wahai Rara Anteng?”
tanya raksasa itu dengan nada angkuh.
“Iya, hanya itu. Tapi ingat, danau itu harus selesai
sebelum ayam berkokok!” seru Rara Anteng
mengingatkan raksasa itu.
Mendengar jawaban Rara Anteng, raksasa itu tertawa
terbahak-bahak, lalu bergegas pergi ke puncak Gunung
Bromo. Setibanya di sana, ia pun mulai mengeruk
tanah dengan menggunakan batok (tempurung) kelapa
yang sangat besar. Hanya beberapa kali kerukan, ia
telah berhasil membuat lubang besar. Ia terus
mengeruk tanah di atas gunung itu tanpa mengenal
lelah.
Rara Anteng pun mulai cemas. Ketika hari menjelang
pagi, pembuatan danau itu hampir selesai, tinggal
beberapa kali kerukan lagi.
“Aduh, mampuslah aku!” ucap Rara Anteng cemas,
“raksasa itu benar-benar sakti. Apa yang harus
kulakukan untuk menghentikan pekerjaannya?”
Rara Anteng kembali berpikir keras. Akhirnya ia
memutuskan untuk membangunkan seluruh keluarga
dan tetangganya. Kaum laki-laki diperintahkan untuk
membakar jerami, sedangkan kaum perempuan
diperintahkan untuk menumbuk padi. Tak berapa lama
kemudian, cahaya kemerah-merahan pun mulai
tampak dari arah timur. Suara lesung terdengar
bertalu-talu, dan kemudian disusul suara ayam jantan
berkokok bersahut-sahutan.
Mengetahui tanda-tanda datangnya waktu pagi
tersebut, Kyai Bima tersentak kaget dan segera
menghentikan pekerjaannya membuat danau yang
sudah hampir selesai itu.
“Sial!” seru raksasa itu dengan kesal, “rupanya sudah
pagi. Aku gagal mempersunting Rara Anteng.”
Sebelum Kyai Bima meninggalkan puncak Gunung
Bromo, tempurung kelapa yang masih dipegangnya
segera dilemparkan. Konon, tempurung kelapa itu jatuh
tertelungkup dan kemudian menjelma menjadi sebuah
gunung yang dinamakan Gunung Batok. Jalan yang
dilalui raksasa itu menjadi sebuah sungai dan hingga
kini masih terlihat di hutan pasir Gunung Batok.
Sementara danau yang belum selesai dibuatnya itu
menjelma menjadi sebuah kawah yang juga masih
dapat disaksikan di kawasan Gunung Bromo.
Betapa senangnya hati Rara Anteng dan keluarganya
melihat raksasa itu pergi. Tak berapa lama kemudian,
Rara Anteng pun menikah dengan Jaka Seger. Setelah
itu, Jaka Seger dan Rara Anteng membuka desa baru
yang diberi nama Tengger. Nama desa itu diambil dari
gabungan akhiran nama Anteng (Teng) dan Seger
(Ger). Mereka pun hidup berbahagia.
Setelah bertahun-tahun mereka hidup menikmati
manisnya perkawinan dan kehidupan berumah tangga,
tiba-tiba muncul keresahan di hati mereka.
“Dinda, sudah bertahun-tahun kita menikah, namun
belum juga dikaruniai anak. Padahal kita sudah
mencoba berbagai jenis obat,” keluh Jaka Seger kepada
istrinya.
“Sabarlah, Kanda! Sebaiknya jangan terlalu cepat
berputus asa. Kita serahkan saja semua kepada Tuhan
Yang Mahakuasa,” bujuk Rara Anteng.
Baru saja istrinya selesai berucap, tiba-tiba Jaka Seger
mengucapkan ikrar, “Jika Tuhan mengaruniai kita 25
anak, aku berjanji akan mempersembahkan seorang di
antara mereka untuk sesajen di kawah Gunung
Bromo.”
Begitu Jaka Seger selesai mengucapkan ikrar itu, tiba-
tiba api muncul dari dalam tanah di kawah Gunung
Bromo. Hal itu sebagai pertanda bahwa doa Jaka Seger
didengar oleh Tuhan Yang Mahakuasa. Tak berapa lama
kemudian, Rara Anteng pun diketahui sedang
mengandung. Alangkah bahagianya hati Jaka Seger
mendengar kabar baik itu. Sembilan bulan kemudian,
buah hati yang telah lama mereka nanti-nantikan pun
lahir ke dunia. Kebahagiannya pun semakin sempurna
ketika mengetahui bahwa istrinya melahirkan anak
kembar. Setahun kemudian, Rara Anteng melahirkan
lagi anak kembar. Begitulah seterusnya, setiap tahun
Rara Anteng melahirkan anak kembar, ada kembar dua
dan ada pula kembar tiga, hingga akhirnya anak
mereka berjumlah dua puluh lima orang.
“Terima kasih, Tuhan! Engkau telah mengabulkan doa
hamba!” ucap Jaka Seger.
Jaka Seger bersama istrinya merawat dan membesarkan
kedua puluh lima anak tersebut hingga tumbuh
menjadi dewasa. Jaka Seger sangat menyayangi semua
anaknya, terutama putra bungsunya yang bernama
Dewa Kusuma. Karena terlena dalam kebahagiaan, ia
lupa janjinya kepada Tuhan. Suatu malam, Tuhan pun
menegurnya melalui mimpi.
“Mana janjimu, wahai Jaka Seger! Serahkanlah salah
seorang putramu ke kawah Gunung Bromo!” seru suara
itu dalam mimpi Jaka Seger.
Jaka Seger langsung tersentak kaget saat tersadar dari
mimpinya.
“Ya, Tuhan! Aku telah lupa pada janjiku,” ucap Jaka
Seger, “Aduh, bagaimana ini? Siapa di antara putra-
putriku yang harus kupersembahkan, padahal aku
sangat menyayangi mereka semua?”
Akhirnya, Jaka Seger bersama istrinya mengumpulkan
seluruh putra-putrinya dalam sebuah pertemuan
keluarga. Jaka Seger kemudian menceritakan perihal
nazarnya itu kepada mereka. Wajah mereka pun
serempak berubah menjadi pucat pasi. Apalagi ketika
dimintai kesediaan salah seorang dari mereka untuk
dijadikan persembahan.
“Ampun, Ayah! Ananda tidak mau menjadi
persembahan di kawah itu. Ananda tidak mau mati
muda,” sahut anak sulungnya keberatan.
“Dengarlah, wahai putra-putriku! Jika Ayahanda tidak
menunaikan nazar ini, maka desa ini dan seluruh isinya
akan binasa,” jelas Jaka Seger.
Dengan sigap, Dewa Kusuma langsung menanggapi
penjelasan ayahandanya.
“Ampun, Ayah! Jika itu memang sudah menjadi nazar
Ayah, Ananda bersedia untuk dijadikan persembahan
di kawah Gunung Bromo,” kata Dewa Kusuma.
Jaka Seger tersentak kaget. Ia tidak pernah mengira
sebelumnya jika putra bungsunyalah yang mempunyai
keberanian dan kerelaan untuk dijadikan persembahan.
“Apakah kamu yakin dengan ucapanmu itu, hai Dewa
Kusuma?” tanya ayahnya.
“Iya, Ayah! Ananda rela berkorban demi
menyelamatkan dusun ini dan seluruh isinya,” jawab
Dewa Kusuma, “tapi, Ananda mempunyai satu
permintaan.”
“Apakah permintaanmu, Putraku?” tanya ayahnya.
Dewa Kusuma pun menyampaikan permintaannya
kepada Ayah, Ibu, dan saudara-saudaranya agar
dirinya diceburkan ke dalam kawah itu pada tanggal 14
bulan Kasada (penanggalan Jawa). Ia juga meminta agar
setiap tahun pada bulan dan tanggal tersebut diberi
sesajen berupa hasil bumi dan ternak yang dihasilkan
oleh ke-24 saudaranya. Permintaan Dewa Kusuma pun
diterima oleh seluruh anggota keluarganya.
Pada tanggal 14 bulan Kasada, Dewa Kusuma pun
diceburkan ke kawah Gunung Bromo dengan diiringi
isak tangis oleh seluruh keluarganya. Nazar Jaka Seger
pun terlaksana sehingga dusun itu atau kini dikenal
Desa Tengger terhindar dari bencana.
* * *
Demikian cerita Jaka Seger dan Rara Anteng dari
daerah Jawa Timur. Hingga kini, kawah yang memiliki
garis tengah lebih kurang 800 meter (utara-selatan)
dan 600 meter (timur-barat) ini telah menjadi obyek
wisata menarik di kawasan Gunung Bromo. Untuk
mengenang dan menghormati pesan Dewa Kusuma,
masyarakat suku Tengger melaksanakan upacara
persembahan sesaji ke kawah Gunung Bromo yang
dikenal dengan istilah upacara Yadnya Kasada. Upacara
yang juga merupakan daya tarik wisata ini dilaksanakan
pada tengah malam hingga dini hari setiap bulan
purnama, yaitu sekitar tanggal 14 – 15 di bulan Kasada
(kepuluh) menurut penanggalan Jawa.

DAMAR WULAN MINAK JINGGO

Minakjingga adalah Adipati Blambangan yang memiliki
kesaktian tinggi. Suatu ketika, ia berencana untuk
memberontak pada Kerajaan Majapahit yang dipimpin
oleh seorang raja perempuan yang cantik jelita
bernama Ratu Ayu Kencana Wungu. Sang Ratu
kemudian mengadakan sayembara untuk menangkal
ancaman dari Minakjingga. Salah seorang dari peserta
sayembara ini adalah seorang pemuda bernama
Damarwulan. Berhasilkah Damarwulan mengalahkan
Minakjingga? Simak kisahnya dalam cerita Damarwulan
dan Minakjingga berikut ini!
* * *
Tersebutlah seorang ratu bernama Dewi Suhita yang
bergelar Ratu Ayu Kencana Wungu. Ia adalah penguasa
Kerajaan Majapahit yang ke-6. Pada era
pemerintahannya, Majapahit berhasil menaklukkan
banyak daerah yang kemudian dijadikan sebagai bagian
dari wilayah kekuasaan kerajaan yang berpusat di
Trowulan, Jawa Timur, itu. Salah satu kerajaan kecil
yang menjadi taklukan Majapahit adalah Kerajaan
Blambangan yang terletak di Banyuwangi. Kerajaan itu
dipimpin oleh seorang bangsawan dari Klungkung, Bali,
bernama Adipati Kebo Marcuet. Adipati ini terkenal
sakti dan memiliki sepasang tanduk di kepalanya
seperti kerbau.
Keberadaan Adipati Kebo Marcuet ternyata
menghadirkan ancaman bagi Ratu Ayu Kencana Wungu.
Meskipun hanya seorang raja taklukan, namun sepak
terjang Adipati Kebo Marcuet yang terus-menerus
merongrong wilayah kekuasaan Majapahit membuat
Ratu Ayu Kencana Wungu cemas. Ratu Majapahit itu
pun berupaya menghentikan ulah Adipati Kebo
Marcuet dengan mengadakan sebuah sayembara.
“Barangsiapa yang mampu mengalahkan Adipati Kebo
Marcuet, maka dia akan kuangkat menjadi Adipati
Blambangan dan kujadikan sebagai suami,” demikian
maklumat Ratu Ayu Kencana Wungu yang dibacakan di
hadapan seluruh rakyat Majapahit.
Sayembara itu diikuti oleh puluhan orang, namun
semua gagal mengalahkan kesaktian Adipati Kebo
Marcuet. Hingga datanglah seorang pemuda tampan
dan gagah bernama Jaka Umbaran yang berasal dari
Pasuruan. Ia adalah cucu Ki Ajah Pamengger yang
merupakan guru sekaligus ayah angkat Adipati Kebo
Marcuet. Rupanya, Jaka Umbaran mengetahui
kelemahan Adipati Kebo Marcuet. Maka, dengan senjata
pusakanya gada wesi kuning (gada yang terbuat dari
kuningan), dan dibantu oleh seorang pemanjat kelapa
yang sakti bernama Dayun, Jaka Umbaran berhasil
mengalahkan Adipati Kebo Marcuet.
Ratu Ayu Kencana Wungu sangat gembira dengan
kekalahan Adipati Kebo Marcuet. Ia pun menobatkan
Jaka Umbaran menjadi Adipati Blambangan dengan
gelar Minakjingga. Akan tetapi, Ratu Ayu Kencana Ungu
menolak menikah dengan Jaka Umbaran karena
pemuda itu kini tidak lagi tampan. Akibat
pertarungannya dengan Adipati Kebo Marcuet, wajah
Jaka Umbaran yang semula rupawan menjadi rusak,
kakinya pincang, dan badannya menjadi bongkok.
Jaka Umbaran alias Minakjingga tetap bersikeras
menagih janji. Ia datang ke Majapahit untuk melamar
Ratu Ayu Kencana Wungu meskipun pada saat itu ia
telah memiliki dua selir bernama Dewi Wahita dan Dewi
Puyengan. Lamaran Minakjingga bertepuk sebelah
tangan karena sang Ratu tetap tidak sudi menikah
dengannya.
Penolakan itu membuat Minakjingga murka dan
memendam dendam kepada Ratu Ayu Kencana Wungu.
Untuk melampiaskan kemarahannya, Minakjingga
merebut beberapa wilayah kekuasaan Majapahit sampai
ke Probolinggo. Tidak hanya itu, Minakjingga pun
berniat untuk menyerang Majapahit. Ratu Ayu Kencana
Wungu sangat khawatir ketika mendengar bahwa
Minakjingga ingin menyerang kerajaannya. Maka, ia
pun kembali menggelar sayembara.
“Barangsiapa yang berhasil membinasakan Minakjingga
akan kujadikan suamiku!” ucap Ratu Ayu Kencana
Wungu di hadapan seluruh rakyat Majapahit.
Sekali lagi, puluhan pemuda turut serta dalam
sayembara tersebut, namun tidak ada satu pun yang
berhasil mengungguli kesaktian Minakjingga. Hal ini
membuat sang Ratu semakin cemas. Saat kekhawatiran
sang Ratu semakin besar, datanglah seorang pemuda
tampan bernama Damarwulan. Ia adalah putra Patih
Udara, patih Majapahit yang sedang pergi bertapa. Saat
itu Damarwulan sedang bekerja sebagai perawat kuda
milik Patih Logender, seorang patih Majapahit yang
ditunjuk untuk menggantikan kedudukan ayah
Damarwulan.
Di hadapan sang Ratu, Damarwulan menyampaikan
keinginannya mengikuti sayembara untuk mengalahkan
Minakjingga.
“Ampun, Gusti Ratu! Jika diperkenankan, izinkanlah
hamba mengikuti sayembara,” pinta Damarwulan.
“Tentu saja, Damarwulan. Bawalah kepala Minakjingga
ke hadapanku!” titah sang Ratu.
“Baik, Gusti,” kata pemuda itu seraya berpamitan.
Berangkatlah Damarwulan ke Blambangan untuk
menantang Minakjingga.
“Hai, Minakjingga! Jika berani, lawanlah aku!” seru
Damarwulan setiba di Blambangan.
“Siapa kamu?” tanya Minakjingga, “Berani-beraninya
menantang aku.”
“Ketahuilah, hai pemberontak! Aku Damarwulan yang
diutus oleh Ratu Ayu Kencana Wungu untuk
membinasakanmu,” jawab Damarwulan.
“Ha… Ha… Ha…!” Minakjingga tertawa terbahak-bahak,
“Sia-sia saja kamu ke sini, Damarwulan. Kamu tidak
akan mampu menghadapi kesaktian senjata pusakaku,
gada wesi kuning!”
Pertarungan sengit antara dua pendekar sakti itu pun
terjadi. Keduanya silih-berganti menyerang. Namun,
akhirnya Damarwulan kalah dalam pertarungan itu
hingga pingsan terkena pusaka gada wesi kuning milik
Minakjingga. Damarwulan pun dimasukkan ke dalam
penjara.
Rupanya, kedua selir Minakjingga, Dewi Wahita dan
Dewi Puyengan, terpikat melihat ketampanan
Damarwulan. Mereka pun secara diam-diam mengobati
luka pemuda itu. Bahkan, mereka juga membuka
rahasia kesaktian Minakjingga.
“Kekuatan Minakjingga terletak pada gada wesi kuning.
Dia tidak akan bisa berbuat apa-apa tanpa sejata itu,”
kata Dewi Wahita.
“Benar. Jika ingin mengalahkan Minakjingga, Anda
harus merampas pusakanya,” tambah Dewi Puyengan.
“Lalu, bagaimana aku bisa merebut senjata pusaka itu?”
tanya Damarwulan.
“Kami akan membantumu mendapatkan senjata itu,”
janji kedua selir Minakjingga itu.
Pada malam harinya, Dewi Sahita dan Dewi Puyengan
mencuri pusaka gada wesi kuning saat Minakjingga
terlelap. Pusaka itu kemudian mereka berikan kepada
Damarwulan. Setelah memiliki senjata itu, Damarwulan
pun kembali menantang Minakjingga untuk bertarung.
Alangkah terkejutnya Minakjingga saat melihat sejata
pusakanya ada di tangan Damarwulan.
“Hai, Damarwulan! Bagaimana kamu bisa mendapatkan
senjataku?” tanya Minakjingga heran.
Damarwulan tidak menjawab. Ia segera menyerang
Minakjingga dengan senjata gada wesi kuning yang ada
di tangannya. Minakjingga pun tidak bisa melakukan
perlawanan sehingga dapat dengan mudah dikalahkan.
Akhirnya, Adipati Blambangan itu tewas oleh senjata
pusakanya sendiri. Damarwulan memenggal kepada
Minakjingga untuk dipersembahkan kepada Ratu Ayu
Kencana Wungu.
Dalam perjalanan menuju Majapahit, Damarwulan
dihadang oleh Layang Seta dan Layang Kumitir. Kedua
orang yang bersaudara itu adalah putra Patih
Logender. Rupanya, mereka diam-diam mengikuti
Damarwulan ke Blambangan. Saat melihat Damarwulan
berhasil mengalahkan Minakjingga, mereka hendak
merebut kepala Minakjingga agar diakui sebagai
pemenang sayembara.
“Hai, Damarwulan! Serahkan kepala Minakjingga itu
kepada kami!” seru Layang Seta.
Damarwulan tentu saja menolak permintaan itu.
Pertarungan pun tak terelakkan. Layang Seta dan
Layang Kumitir mengeroyok Damarwulan dan berhasil
merebut kepala Minakjingga. Kepala itu kemudian
mereka bawa ke Majapahit. Pada saat mereka hendak
mempersembahkan kepala itu kepada sang Ratu, tiba-
tiba Damarwulan datang dan segera menyampaikan
kebenaran.
“Ampun, Gusti! Hamba telah berhasil menjalankan
tugas dengan baik. Namun, di tengah jalan, tiba-tiba
Layang Seta dan Layang Kumitir menghadang hamba
dan merebut kepala itu dari tangan hamba,” lapor
Damarwulan.
“Ampun, Gusti! Perkataan Damarwulan itu bohong
belaka. Kamilah yang telah memenggal kepala
Minakjingga,” sanggah Layang Seta.
Pertengkaran antara kedua pihak pun semakin
memanas. Mereka sama-sama mengaku yang telah
memenggal kepala Minakjingga. Ratu Ayu Kencana
Wungu pun menjadi bingung. Ia tidak dapat
menenentukan siapa di antara mereka yang benar.
Maka, sebagai jalan keluarnya, penguasa Majapahit itu
meminta kedua belah pihak untuk bertarung.
“Sudahlah, kalian tidak usah bertengkar lagi!” ujar Ratu
Ayu Kencana, “Sekarang aku ingin bukti yang jelas.
Bertarunglah kalian, siapa yang berhasil menjadi
pemenangnya pastilah ia yang telah membinasakan
Minakjingga.”
Akhirnya, mereka pun bertarung. Kali ini, Damarwulan
lebih berhati-hati menghadapi kedua putra Patih
Logender itu. Ia harus membuktikan kepada sang Ratu
bahwa dirinyalah yang benar. Demikian pula Layang
Seta dan Layang Kumitir, mereka tidak ingin
kebohongan mereka terbongkar di hadapan sang Ratu.
Dengan disaksikan oleh sang Ratu dan seluruh rakyat
Majapahit, pertarungan itu pun berlangsung sangat
seru. Kedua belah pihak mengeluarkan seluruh
kekuatan masing-masing demi memenangkan
pertandingan. Pertarungan itu akhirnya dimenangkan
oleh Damarwulan. Layang Seta dan Layang Kumitir pun
mengakui kesalahan mereka dan dimasukkan ke
penjara, sedangkan Damarwulan pun berhak menikah
dengan Ratu Ayu Kencana Wungu.
* * *
Demikian cerita Damarwulan dan Minakjingga dari
Banyuwangi, Jawa Timur. Kisah ini terus berkembang
menjadi cerita rakyat dengan berbagai versi. Terlepas
dari itu, cerita ini juga dikisahkan dalam bentuk sastra
seperti dalam Serat Kanda, Serat Damarwulan, Serat
Blambangan, dan sebagainya. Cerita tentang
Damarwulan dan Minakjingga juga menjadi tema
pertunjukan dalam pementasan teater rakyat Jawa
Timur. Bahkan, legenda Damarwulan dan Minakjingga
ini telah diangkat dalam film layar lebar.

ARYA PENANGSANG

Arya Penangsang adalah seorang adiati di Jipang
Panolan yang sakti dan memiliki sifat pendendam.
Dengan sifatnya itu, ia memerintahkan anak buahnya
untuk menghabisi nyawa Raja Kerajaan Demak, Sunan
Prawata. Tidak puas dengan itu, Arya Penangsang pun
berniat untuk membinasakan Sultan Hadiwijaya yang
berkedudukan di Pajang. Mengapa Arya Penangsang
mendendam kepada Sunan Prawata? Lalu, berhasilkah
ia membinasakan Sultan Hadiwijaya? Jawabannya dapat
Anda temukan dalam cerita Arya Penangsang berikut
ini.
* * *
Pada masa pemerintahaan Kesultanan Demak,
tersebutlah seorang adipati yang bernama Arya
Penangsang. Ia berkedudukan di Kadipaten Jipang
Panolan, Jawa Tengah. Arya Penangsang adalah putra
Raden Kikin atau yang biasa dikenal dengan sebutan
Pangeran Sekar Seda ing Lepen (bunga yang tewas di
tepi sungai Bengawan Solo).
Menurut cerita, Raden Kikin tewas di tangan Raden
Mukmin atau Sunan Prawata dalam sebuah
peperangan karena memperebutkan tahta Kerajaan
Demak untuk menggantikan Sultan Trenggana yang
telah wafat (1546 M). Setelah itu, Sunan Prawata pun
dinobatkan sebagai Sultan Demak.
Adipati Arya Penangsang yang mendapatkan dukungan
gurunya, Sunan Kudus, berniat untuk merebut tahta
Kesultanan Demak dari tangan Sunan Prawata.
Keinginan tersebut muncul bukan saja karena ia ingin
menguasai Kerajaan Demak, tetapi juga untuk
membalas dendam atas kematian ayahnya.
Pada suatu malam di tahun 1549 M, Arya Penangsang
memerintahkan pasukan khusus Jipang Panolan yang
dikenal dengan nama Pasukan Sureng[1] untuk
membinasakan Sunan Prawata. Pasukan itu dipimpin
oleh Rangkud. Setibanya di kediaman Sunan Prawata,
Rangkut berhasil menyelinap masuk ke dalam kamar
tidur Sunan Prawata sementara para anak buahnya
berjaga-jaga di luar.
Ketika itu, Sunan Prawata sedang menderita sakit
sehingga tidak dapat berbuat banyak selain pasrah. Ia
pun mengakui kesalahannya dan rela untuk diakhiri
hidupnya oleh orang yang tidak dikenalnya itu.
“Hai, Kisanak, habisilah nyawaku! Aku akan
bertanggung jawab atas kematian Raden Kikin. Tapi,
tolong kamu jangan melukai istriku!” iba Sunan
Prawata.
Rangkud mengabulkan permintaan itu. Namun, ketika
ia menghujamkan kerisnya ke tubuh Sunan Prawata,
ternyata keris itu tembus hingga mengenai tubuh istri
Sunan Prawata yang berlindung di balik punggung
suaminya. Tak ayal lagi, istri Sunan Prawata pun tewas.
Melihat istrinya meninggal, Sunan Prawata menjadi
marah. Dalam keadaan terluka parah, ia segera
mencabut keris yang menancap di tubuhnya lalu
dilemparkannya ke arah Rangkud. Sunan Prawata pun
berhasil membinasakan Rangkud sebelum dirinya
menghembuskan nafas terakhir.
Sementara itu, Arya Penangsang yang telah menguasai
Demak semakin bengis. Ia pun berniat membinasakan
menantu Sultan Trenggana yang bernama Sultan
Hadiwijaya atau Jaka Tingkir di Pajang. Untuk itu, ia
mengutus empat orang anak buahnya ke Pajang.
Setibanya di sana, keempat utusan tersebut justru
tertangkap oleh Sultan Hadiwijaya. Namun, mereka
tidak dihukum melainkan diberi hadiah dan disuruh
kembali ke Jipang.
Kepulangan keempat utusan yang membawa hadiah
tersebut tentu saja membuat Arya Penangsang
tersinggung dan sangat marah. Ia pun memutuskan
untuk menghabisi nyawa Hadiwijaya dengan tangannya
sendiri.
Sultan Hadiwijaya yang mengetahui kabar tersebut
menganggap Arya Penangsang telah memberontak
terhadap Pajang. Namun, ia tidak ingin memerangi
Arya Penangsang secara langsung karena mereka sama-
sama anggota keluarga Demak dan saudara
seperguruan, yaitu sama-sama murid Sunan Kudus.
Untuk menghadapi pemberontak itu, Sultan Hadiwijaya
mengadakan sayembara. Barang siapa mampu
membinasakan Arya Penangsang, maka ia akan diberi
hadiah tanah di daerah Pati dan hutan Mataram.
Atas desakan Ki Juru Martani, Ki Ageng Pamanahan
dan adik angkatnya, Ki Penjawi, yang merupakan abdi
dalem Sultan Hadiwijaya, pun ikut dalam sayembara
tersebut. Ki Ageng Pamanahan dan Ki Juru Martani
segera menyusun rencana dan taktik peperangan
melawan Arya Penangsang. Ki Juru Martani
menyarankan kepada Ki Ageng Pamanahan untuk
mengusahakan agar mereka dapat membawa tombak
pusaka Kyai Plered milik Sultan Hadiwijaya ke medan
perang karena hanya tombak itulah yang mampu
melukai Arya Penangsang.
Atas saran Ki Juru Martani, Ki Ageng Pamanahan
memohon kepada Sultan Hadiwijaya untuk membawa
serta anak angkat sang Sultan yang bernama Danang
Sutawijaya ke medan perang. Dengan begitu, Sultan
Hadiwijaya akan meminjamkan keris pusakanya kepada
putra angkatnya itu. Sultan Hadiwijaya pun
menyetujuinya.
Pada hari yang telah ditentukan, Ki Ageng Pamanahan
bersama rombongannya berangkat menuju daerah
Jipang. Penyerangan itu dipimpin oleh Ki Juru Martani.
Setibanya di tepi sungai Bengawan Solo yang
merupakan tapal batas wilayah Sela dan Jipang, Ki Juru
Martani segera mengatur siasat. Danang Sutawijaya
tampak berdiri di samping seekor kuda putih yang akan
ditungganginya untuk menghadapi Arya Penangsang. Di
tangannya tergenggam tombak pusaka Kyai Plered yang
ujungnya ditutupi kain putih dan diberi rangkaian
bunga melati.
Tak jauh dari tempat pasukan Pajang bersembunyi,
tampak seorang pekatik (pemelihara kuda) yang sedang
mencari rumput untuk kuda milik Arya Penangsang. Ki
Juru Martani pun segera menangkap pekatik itu lalu
melukai telinganya dan mengalunginya surat
tantangan. Setelah itu, si pekatik disuruh segera
kembali ke Jipang untuk menghadap Arya Penangsang.
Setibanya di Jipang, pekatik itu segera menyerahkan
surat itu kepada Patih Matahun untuk dibaca di
hadapan Arya Penangsang. Isi surat itu berbunyi
seperti berikut:
“Hei, Penangsang! Yen sira nyata lanang sejati, payo
tandhing lawan ingsun. Dak anti sapinggiring
bengawan tapel wates. Yen ora wani nekani, nyata sira
wandu kang memba rupa! Budhala tanpa rowang!
Ingsun wong Sela wus tan bisa suwe nahan sedyaning
tyas kapeing nigas janggamu!”
Artinya: “Hai, Penangsang! Jika kamu nyata lelaki sejati,
mari bertanding denganku! Aku tunggu di pinggir
sungai tapal batas. Jika tidak berani datang, jelaslah
kamu seorang banci yang menyamar sebagai lelaki!
Berangkatlah tanpa prajurit! Aku orang Sela sudah
gatal ingin memenggal kepalamu!”
Mengetahui isi surat itu, Arya Penangsang langsung
menggebrak meja di sampingnya. Ia lalau segera
mengenakan pakaian perang dan keris pusakanya yang
bernama Kyai Setan Kober.
“Prajurit! Siapkan Kyai Gagak Rimang!” seru Arya
Penangsang.
Kyai Gagak Rimang adalah kuda andalan Arya
Penangsang yang biasa dipakai untuk mengalahkan
musuh-musuhnya dalam peperangan. Gagak Rimang
perawakannya gagah dan tegap, badannya tinggi dan
besar serta sangat lincah. Warna bulunya yang hitam
mengkilap membuatnya tampak berwibawa.
Dengan mata merah penuh amarah, Arya Penangsang
segera menunggangi Kyai Gagak Rimang menuju sungai
tapal batas wilayah Jipang. Setibanya di tepi sungai,
Arya Penangsang melihat seorang anak kecil yang
sedang menunggang kuda putih di seberang sungai.
Anak kecil itu tak lain adalah Sutawijaya yang sudah
siap dengan tombak pusakanya. Melihat kedatangan
Arya Penangsang, Danang Sutawijaya berteriak dengan
suara nyaring.
< < “Hai, Penangsang! Lawanlah aku kalau kamu berani!”
Dada Arya Panangsang bagai dibakar api mendengar
suara anak kecil yang menantangnya itu. Ia tidak
sanggup lagi menahan emosinya. Dengan segera ia
menarik tali kekang Kyai Gagak Rimang sehingga kuda
itu meringkik dan berlari menapaki dasar Sungai
Bengawan yang hanya setinggi lutut. Betapa senangnya
hati Danang Sutawijaya melihat Arya Penangsang
mendahuluinya mencebur ke sungai. Konon, jika terjadi
peperangan atau pertarungan di Sungai Bengawan,
pihak yang lebih dahulu turun ke sungai pasti akan
kalah.
Tanpa ragu lagi, Sutawijaya segera menghela kuda
putihnya turun ke sungai. Begitu ia berhadap-hadapan
dengan Arya Penangsang, putra Ki Ageng Pamanahan
itu segera memutar arah kudanya sehingga
membelakangi kuda Arya Penangsang. Kuda hitam
kesayangan Arya penangsang pun tiba-tiba bertingkah
aneh dan menjadi liar karena kuda yang ditunggangi
Sutawijaya ternyata kuda betina. Kemaluan kuda putih
terlihat dengan jelas karena ekornya sengaja diikat ke
atas.
Semakin lama Kyai Gagak Rimang semakin liar dan
berontak hingga Arya Penangsang kerepotan
mengendalikannya. Melihat Arya Penangsang sibuk
mengendalikan kudanya, Sutawijaya tidak menyia-
nyiakan kesempatan itu. Ia segera menusukkan tombak
pusaka Kyai Plered ke perut Arya Penangsang hingga
robek hingga sebagian ususnya terburai.
Meski demikian, Arya Penangsang yang sakti itu masih
hidup. Ia berusaha meraih ususnya yang terburai itu
lalu dikalungkannya pada warangka keris pusaknya.
Setelah itu, ia segera menarik tali kekang kudanya
untuk mengejar Sutawijaya. Begitu mendekat, Arya
Penangsang meraih tubuh Sutawijaya yang kecil itu dan
membantingnya ke tanah hingga tak berdaya. Arya
Penangsang segera turun dari kudanya lalu menginjak
dada Sutawijaya.
Melihat putranya dalam keadaan bahaya, Ki Ageng
Pamanahan segera keluar dari tempat
persembunyiannya. Ia segera menggunakan siasatnya
dengan berpura-pura memihak kepada Arya
Penangsang.
“Hai, Arya Penangsang! Habisi saja nyawa putra Sultan
Hadiwijaya itu!” teriak Ki Ageng Pamanahan.
Arya Penangsang pun baru sadar bahwa ternyata anak
kecil yang diinjak dadanya itu adalah putra musuhnya.
Dengan geram, ia segera mencabut keris Kyai Brongot
Setan Kober dari pinggangnya. Namun, ia lupa jika
sebagian ususnya tersampir di warangka keris pusaka
itu. Begitu ia mengangkat keris itu, seketika itu pula
ususnya terputus. Tak ayal lagi, tubuh Adipati Jipang
itu tersungkur ke tanah dan tewas seketika.
Setelah Arya Penangsang tewas, Ki Ageng Pemanahan
beserta rombongannya kembali ke Pajang untuk
melapor kepada Sultan Hadiwijaya bahwa Arya
Penangsang telah tewas. Sultan Hadiwijaya sangat
gembira mendengar kabar gembira itu. Sesuai dengan
janjinya, maka ia pun menghadiahi Ki Ageng
Pamanahan dan Ki Penjawi tanah di Pati dan tanah di
hutan Mataram.
Setelah melalui perundingan, Ki Ageng Pamanahan
mendapatkan bagian tanah di hutan Mataram
sedangkan Ki Penjawi mendapatkan bagian tanah di
Pati. Atas restu Sultan Hadiwijaya, keduanya menuju ke
bagian masing-masing. Ki Ageng Pamanahan pun
mengajak putranya, Danang Sutawijaya, untuk ikut
serta pindah dan menetap di daerah yang menjadi
bagiannya. Di sana, mereka mengubah hutan belantara
itu menjadi pusat kerajaan besar yang bernama
Kerajaan Mataram.
* * *
Demikian cerita sejarah Arya Penangsang dari daerah
Jawa Tengah, Indonesia. Pelajaran yang dapat dipetik
dari cerita di atas adalah bahwa orang yang memiliki
sifat bengis dan pendendam seperti Arya Penangsang
pada akhirnya akan mendapatkan musibah. Arya
Penangsang tewas dalam pertarungan karena selalu
kurang perhitungan dalam bertindak. Hal ini terjadi
karena hati dan pikirannya telah digerogoti oleh sifat
dendam sehingga ia menjadi kalap. (Samsuni/
sas/194/05-10)

ARYA PENANGSANG

Arya Penangsang adalah seorang adiati di Jipang
Panolan yang sakti dan memiliki sifat pendendam.
Dengan sifatnya itu, ia memerintahkan anak buahnya
untuk menghabisi nyawa Raja Kerajaan Demak, Sunan
Prawata. Tidak puas dengan itu, Arya Penangsang pun
berniat untuk membinasakan Sultan Hadiwijaya yang
berkedudukan di Pajang. Mengapa Arya Penangsang
mendendam kepada Sunan Prawata? Lalu, berhasilkah
ia membinasakan Sultan Hadiwijaya? Jawabannya dapat
Anda temukan dalam cerita Arya Penangsang berikut
ini.
* * *
Pada masa pemerintahaan Kesultanan Demak,
tersebutlah seorang adipati yang bernama Arya
Penangsang. Ia berkedudukan di Kadipaten Jipang
Panolan, Jawa Tengah. Arya Penangsang adalah putra
Raden Kikin atau yang biasa dikenal dengan sebutan
Pangeran Sekar Seda ing Lepen (bunga yang tewas di
tepi sungai Bengawan Solo).
Menurut cerita, Raden Kikin tewas di tangan Raden
Mukmin atau Sunan Prawata dalam sebuah
peperangan karena memperebutkan tahta Kerajaan
Demak untuk menggantikan Sultan Trenggana yang
telah wafat (1546 M). Setelah itu, Sunan Prawata pun
dinobatkan sebagai Sultan Demak.
Adipati Arya Penangsang yang mendapatkan dukungan
gurunya, Sunan Kudus, berniat untuk merebut tahta
Kesultanan Demak dari tangan Sunan Prawata.
Keinginan tersebut muncul bukan saja karena ia ingin
menguasai Kerajaan Demak, tetapi juga untuk
membalas dendam atas kematian ayahnya.
Pada suatu malam di tahun 1549 M, Arya Penangsang
memerintahkan pasukan khusus Jipang Panolan yang
dikenal dengan nama Pasukan Sureng[1] untuk
membinasakan Sunan Prawata. Pasukan itu dipimpin
oleh Rangkud. Setibanya di kediaman Sunan Prawata,
Rangkut berhasil menyelinap masuk ke dalam kamar
tidur Sunan Prawata sementara para anak buahnya
berjaga-jaga di luar.
Ketika itu, Sunan Prawata sedang menderita sakit
sehingga tidak dapat berbuat banyak selain pasrah. Ia
pun mengakui kesalahannya dan rela untuk diakhiri
hidupnya oleh orang yang tidak dikenalnya itu.
“Hai, Kisanak, habisilah nyawaku! Aku akan
bertanggung jawab atas kematian Raden Kikin. Tapi,
tolong kamu jangan melukai istriku!” iba Sunan
Prawata.
Rangkud mengabulkan permintaan itu. Namun, ketika
ia menghujamkan kerisnya ke tubuh Sunan Prawata,
ternyata keris itu tembus hingga mengenai tubuh istri
Sunan Prawata yang berlindung di balik punggung
suaminya. Tak ayal lagi, istri Sunan Prawata pun tewas.
Melihat istrinya meninggal, Sunan Prawata menjadi
marah. Dalam keadaan terluka parah, ia segera
mencabut keris yang menancap di tubuhnya lalu
dilemparkannya ke arah Rangkud. Sunan Prawata pun
berhasil membinasakan Rangkud sebelum dirinya
menghembuskan nafas terakhir.
Sementara itu, Arya Penangsang yang telah menguasai
Demak semakin bengis. Ia pun berniat membinasakan
menantu Sultan Trenggana yang bernama Sultan
Hadiwijaya atau Jaka Tingkir di Pajang. Untuk itu, ia
mengutus empat orang anak buahnya ke Pajang.
Setibanya di sana, keempat utusan tersebut justru
tertangkap oleh Sultan Hadiwijaya. Namun, mereka
tidak dihukum melainkan diberi hadiah dan disuruh
kembali ke Jipang.
Kepulangan keempat utusan yang membawa hadiah
tersebut tentu saja membuat Arya Penangsang
tersinggung dan sangat marah. Ia pun memutuskan
untuk menghabisi nyawa Hadiwijaya dengan tangannya
sendiri.
Sultan Hadiwijaya yang mengetahui kabar tersebut
menganggap Arya Penangsang telah memberontak
terhadap Pajang. Namun, ia tidak ingin memerangi
Arya Penangsang secara langsung karena mereka sama-
sama anggota keluarga Demak dan saudara
seperguruan, yaitu sama-sama murid Sunan Kudus.
Untuk menghadapi pemberontak itu, Sultan Hadiwijaya
mengadakan sayembara. Barang siapa mampu
membinasakan Arya Penangsang, maka ia akan diberi
hadiah tanah di daerah Pati dan hutan Mataram.
Atas desakan Ki Juru Martani, Ki Ageng Pamanahan
dan adik angkatnya, Ki Penjawi, yang merupakan abdi
dalem Sultan Hadiwijaya, pun ikut dalam sayembara
tersebut. Ki Ageng Pamanahan dan Ki Juru Martani
segera menyusun rencana dan taktik peperangan
melawan Arya Penangsang. Ki Juru Martani
menyarankan kepada Ki Ageng Pamanahan untuk
mengusahakan agar mereka dapat membawa tombak
pusaka Kyai Plered milik Sultan Hadiwijaya ke medan
perang karena hanya tombak itulah yang mampu
melukai Arya Penangsang.
Atas saran Ki Juru Martani, Ki Ageng Pamanahan
memohon kepada Sultan Hadiwijaya untuk membawa
serta anak angkat sang Sultan yang bernama Danang
Sutawijaya ke medan perang. Dengan begitu, Sultan
Hadiwijaya akan meminjamkan keris pusakanya kepada
putra angkatnya itu. Sultan Hadiwijaya pun
menyetujuinya.
Pada hari yang telah ditentukan, Ki Ageng Pamanahan
bersama rombongannya berangkat menuju daerah
Jipang. Penyerangan itu dipimpin oleh Ki Juru Martani.
Setibanya di tepi sungai Bengawan Solo yang
merupakan tapal batas wilayah Sela dan Jipang, Ki Juru
Martani segera mengatur siasat. Danang Sutawijaya
tampak berdiri di samping seekor kuda putih yang akan
ditungganginya untuk menghadapi Arya Penangsang. Di
tangannya tergenggam tombak pusaka Kyai Plered yang
ujungnya ditutupi kain putih dan diberi rangkaian
bunga melati.
Tak jauh dari tempat pasukan Pajang bersembunyi,
tampak seorang pekatik (pemelihara kuda) yang sedang
mencari rumput untuk kuda milik Arya Penangsang. Ki
Juru Martani pun segera menangkap pekatik itu lalu
melukai telinganya dan mengalunginya surat
tantangan. Setelah itu, si pekatik disuruh segera
kembali ke Jipang untuk menghadap Arya Penangsang.
Setibanya di Jipang, pekatik itu segera menyerahkan
surat itu kepada Patih Matahun untuk dibaca di
hadapan Arya Penangsang. Isi surat itu berbunyi
seperti berikut:
“Hei, Penangsang! Yen sira nyata lanang sejati, payo
tandhing lawan ingsun. Dak anti sapinggiring
bengawan tapel wates. Yen ora wani nekani, nyata sira
wandu kang memba rupa! Budhala tanpa rowang!
Ingsun wong Sela wus tan bisa suwe nahan sedyaning
tyas kapeing nigas janggamu!”
Artinya: “Hai, Penangsang! Jika kamu nyata lelaki sejati,
mari bertanding denganku! Aku tunggu di pinggir
sungai tapal batas. Jika tidak berani datang, jelaslah
kamu seorang banci yang menyamar sebagai lelaki!
Berangkatlah tanpa prajurit! Aku orang Sela sudah
gatal ingin memenggal kepalamu!”
Mengetahui isi surat itu, Arya Penangsang langsung
menggebrak meja di sampingnya. Ia lalau segera
mengenakan pakaian perang dan keris pusakanya yang
bernama Kyai Setan Kober.
“Prajurit! Siapkan Kyai Gagak Rimang!” seru Arya
Penangsang.
Kyai Gagak Rimang adalah kuda andalan Arya
Penangsang yang biasa dipakai untuk mengalahkan
musuh-musuhnya dalam peperangan. Gagak Rimang
perawakannya gagah dan tegap, badannya tinggi dan
besar serta sangat lincah. Warna bulunya yang hitam
mengkilap membuatnya tampak berwibawa.
Dengan mata merah penuh amarah, Arya Penangsang
segera menunggangi Kyai Gagak Rimang menuju sungai
tapal batas wilayah Jipang. Setibanya di tepi sungai,
Arya Penangsang melihat seorang anak kecil yang
sedang menunggang kuda putih di seberang sungai.
Anak kecil itu tak lain adalah Sutawijaya yang sudah
siap dengan tombak pusakanya. Melihat kedatangan
Arya Penangsang, Danang Sutawijaya berteriak dengan
suara nyaring.
“Hai, Penangsang! Lawanlah aku kalau kamu berani!”
Dada Arya Panangsang bagai dibakar api mendengar
suara anak kecil yang menantangnya itu. Ia tidak
sanggup lagi menahan emosinya. Dengan segera ia
menarik tali kekang Kyai Gagak Rimang sehingga kuda
itu meringkik dan berlari menapaki dasar Sungai
Bengawan yang hanya setinggi lutut. Betapa senangnya
hati Danang Sutawijaya melihat Arya Penangsang
mendahuluinya mencebur ke sungai. Konon, jika terjadi
peperangan atau pertarungan di Sungai Bengawan,
pihak yang lebih dahulu turun ke sungai pasti akan
kalah.
Tanpa ragu lagi, Sutawijaya segera menghela kuda
putihnya turun ke sungai. Begitu ia berhadap-hadapan
dengan Arya Penangsang, putra Ki Ageng Pamanahan
itu segera memutar arah kudanya sehingga
membelakangi kuda Arya Penangsang. Kuda hitam
kesayangan Arya penangsang pun tiba-tiba bertingkah
aneh dan menjadi liar karena kuda yang ditunggangi
Sutawijaya ternyata kuda betina. Kemaluan kuda putih
terlihat dengan jelas karena ekornya sengaja diikat ke
atas.
Semakin lama Kyai Gagak Rimang semakin liar dan
berontak hingga Arya Penangsang kerepotan
mengendalikannya. Melihat Arya Penangsang sibuk
mengendalikan kudanya, Sutawijaya tidak menyia-
nyiakan kesempatan itu. Ia segera menusukkan tombak
pusaka Kyai Plered ke perut Arya Penangsang hingga
robek hingga sebagian ususnya terburai.
Meski demikian, Arya Penangsang yang sakti itu masih
hidup. Ia berusaha meraih ususnya yang terburai itu
lalu dikalungkannya pada warangka keris pusaknya.
Setelah itu, ia segera menarik tali kekang kudanya
untuk mengejar Sutawijaya. Begitu mendekat, Arya
Penangsang meraih tubuh Sutawijaya yang kecil itu dan
membantingnya ke tanah hingga tak berdaya. Arya
Penangsang segera turun dari kudanya lalu menginjak
dada Sutawijaya.
Melihat putranya dalam keadaan bahaya, Ki Ageng
Pamanahan segera keluar dari tempat
persembunyiannya. Ia segera menggunakan siasatnya
dengan berpura-pura memihak kepada Arya
Penangsang.
“Hai, Arya Penangsang! Habisi saja nyawa putra Sultan
Hadiwijaya itu!” teriak Ki Ageng Pamanahan.
Arya Penangsang pun baru sadar bahwa ternyata anak
kecil yang diinjak dadanya itu adalah putra musuhnya.
Dengan geram, ia segera mencabut keris Kyai Brongot
Setan Kober dari pinggangnya. Namun, ia lupa jika
sebagian ususnya tersampir di warangka keris pusaka
itu. Begitu ia mengangkat keris itu, seketika itu pula
ususnya terputus. Tak ayal lagi, tubuh Adipati Jipang
itu tersungkur ke tanah dan tewas seketika.
Setelah Arya Penangsang tewas, Ki Ageng Pemanahan
beserta rombongannya kembali ke Pajang untuk
melapor kepada Sultan Hadiwijaya bahwa Arya
Penangsang telah tewas. Sultan Hadiwijaya sangat
gembira mendengar kabar gembira itu. Sesuai dengan
janjinya, maka ia pun menghadiahi Ki Ageng
Pamanahan dan Ki Penjawi tanah di Pati dan tanah di
hutan Mataram.
Setelah melalui perundingan, Ki Ageng Pamanahan
mendapatkan bagian tanah di hutan Mataram
sedangkan Ki Penjawi mendapatkan bagian tanah di
Pati. Atas restu Sultan Hadiwijaya, keduanya menuju ke
bagian masing-masing. Ki Ageng Pamanahan pun
mengajak putranya, Danang Sutawijaya, untuk ikut
serta pindah dan menetap di daerah yang menjadi
bagiannya. Di sana, mereka mengubah hutan belantara
itu menjadi pusat kerajaan besar yang bernama
Kerajaan Mataram.
* * *
Demikian cerita sejarah Arya Penangsang dari daerah
Jawa Tengah, Indonesia. Pelajaran yang dapat dipetik
dari cerita di atas adalah bahwa orang yang memiliki
sifat bengis dan pendendam seperti Arya Penangsang
pada akhirnya akan mendapatkan musibah. Arya
Penangsang tewas dalam pertarungan karena selalu
kurang perhitungan dalam bertindak. Hal ini terjadi
karena hati dan pikirannya telah digerogoti oleh sifat
dendam sehingga ia menjadi kalap. (Samsuni/
sas/194/05-10)

Remons domino

Salam sloters Tambakselo 🙏🙏🙏🙏🙏, Remons RP full 2.22 --->>> DOWNLOAD Remons 2.22 buluk -----> DOWNLOAD Remons RP versi 2.21 ...