Tampilkan postingan dengan label dongeng jaman dulu. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label dongeng jaman dulu. Tampilkan semua postingan

Jumat, 10 Oktober 2014

TIMUN EMAS

Timun Mas adalah seorang gadis cantik yang baik hati,
cerdas, dan pemberani. Itulah sebabnya, ia sangat
disayangi oleh ibunya yang bernama Mbok Srini. Suatu
ketika, sesosok raksasa jahat ingin menyantap Timun
Mas. Berkat keberaniannya, ia bersama ibunya berhasil
melumpuhkan raksasa jahat itu. Kenapa raksasa itu
hendak memangsa Timun Mas? Lalu, bagaimana Timun
Mas dan ibunya mengalahkan raksasa itu? Kisah
menarik ini dapat Anda ikuti dalam cerita Timun Mas
berikut ini.
* * *
Alkisah, di sebuah kampung di daerah Jawa Tengah,
hiduplah seorang janda paruh baya yang bernama
Mbok Srini. Sejak ditinggal mati oleh suaminya
beberapa tahun silam, ia hidup sebatang kara, karena
tidak mempunyai anak. Ia sangat mengharapkan
kehadiran seorang anak untuk mengisi kesepiannya.
Namun, harapan itu telah pupus, karena suaminya
telah meninggal dunia. Ia hanya menunggu keajaiban
untuk bisa mendapatkan seorang anak. Ia sangat
berharap keajaiban itu akan terjadi padanya. Untuk
meraih harapan itu, siang malam ia selalu berdoa
kepada Tuhan Yang Mahakuasa agar diberi anak.
Pada suatu malam, harapan itu datang melalui
mimpinya. Dalam mimpinya, ia didatangi oleh sesosok
makhluk raksasa yang menyuruhnya pergi ke hutan
tempat biasanya ia mencari kayu bakar untuk
mengambil sebuah bungkusan di bawah sebuah pohon
besar. Saat terbangun di pagi hari, Mbok Srini hampir
tidak percaya dengan mimpinya semalam.
“Mungkinkah keajaiban itu benar-benar akan terjadi
padaku?” tanyanya dalam hati dengan ragu.
Namun, perempuan paruh baya itu berusaha menepis
keraguan hatinya. Dengan penuh harapan, ia bergegas
menuju ke tempat yang ditunjuk oleh raksasa itu.
Setibanya di hutan, ia segera mencari bungkusan itu di
bawah pohon besar. Betapa terkejutnya ia ketika
menemukan bungkusan yang dikiranya berisi seorang
bayi, tapi ternyata hanyalah sebutir biji timun. Hatinya
pun kembali bertanya-tanya.
“Apa maksud raksasa itu memberiku sebutir biji
timun?” gumam janda itu dengan bingung.
Di tengah kebingungannya, tanpa ia sadari tiba-tiba
sesosok makhluk raksasa berdiri di belakangnya sambil
tertawa terbahak-bahak.
“Ha... ha... ha...!” demikian suara tawa raksasa itu.
Mbok Srini pun tersentak kaget seraya membalikkan
badannya. Betapa terkejutnya ia karena raksasa itulah
yang hadir dalam mimpinya. Ia pun menjadi ketakutan.
“Ampun, Tuan Raksasa! Jangan memakanku! Aku masih
ingin hidup,” pinta Mbok Srini dengan muka pucat.
“Jangan takut, hai perempuan tua! Aku tidak akan
memakanmu. Bukankah kamu menginginkan seorang
anak?” tanya raksasa itu.
“Be... benar, Tuan Raksasa!” jawab Mbok Srini dengan
gugup.
“Kalau begitu, segera tanam biji timun itu! Kelak kamu
akan mendapatkan seorang anak perempuan. Tapi,
ingat! Kamu harus menyerahkan anak itu kepadaku
saat ia sudah dewasa. Anak itu akan kujadikan
santapanku,” ujar raksasa itu.
Karena begitu besar keinginannya untuk memiliki anak,
tanpa sadar Mbok Srini menjawab, “Baiklah, Raksasa!
Aku bersedia menyerahkan anak itu kepadamu.”
Begitu Mbok Srini selesai menyatakan kesediaannya,
raksasa itu pun menghilang. Perempuan itu segera
menanam biji timun itu di ladangnya. Dengan penuh
harapan, setiap hari ia merawat tanaman itu dengan
baik. Dua bulan kemudian, tanaman itu pun mulai
berbuah. Namun anehnya, tanaman timun itu hanya
berbuah satu. Semakin hari buah timun semakin besar
melebihi buah timun pada umumnya. Warnanya pun
sangat berbeda, yaitu berwarna kuning keemasan.
Ketika buah timun masak, Mbok Srini memetiknya, lalu
membawanya pulang ke gubuknya dengan susah
payah, karena berat. Betapa terkejutnya ia setelah
membelah buah timun itu. Ia mendapati seorang bayi
perempuan yang sangat cantik. Saat akan
menggendongnya, bayi itu tiba-tiba menangis.
“Ngoa... ngoa... ngoa... !!!” demikian suara bayi itu.
Alangkah bahagianya hati Mbok Srini mendengar suara
tangisan bayi yang sudah lama dirindukannya itu. Ia
pun memberi nama bayi itu Timun Mas.
“Cup... cup... cup..!!! Jangan menangis anakku sayang...
Timun Mas!” hibur Mbok Srini.
Perempuan paruh baya itu tak mampu lagi
menyembuyikan kebahagiaannya. Tak terasa, air
matanya menetes membasahi kedua pipinya yang
sudah mulai keriput. Perasaan bahagia itu membuatnya
lupa kepada janjinya bahwa dia akan menyerahkan bayi
itu kepada raksasa itu suatu saat kelak. Ia merawat dan
mendidik Timun Mas dengan penuh kasih sayang
hingga tumbuh menjadi gadis yang cantik jelita. Janda
tua itu sangat bangga, karena selaing cantik, putrinya
juga memiliki kecerdasan yang luar biasa dan perangai
yang baik. Oleh karena itu, ia sangat sayang kepadanya.
Suatu malam, Mbok Srini kembali bermimpi didatangi
oleh raksasa itu dan berpesan kepadanya bahwa
seminggu lagi ia akan datang menjemput Timun Mas.
Sejak itu, ia selalu duduk termenung seorang diri.
Hatinya sedih, karena ia akan berpisah dengan anak
yang sangat disayanginya itu. Ia baru menyadari bahwa
raksasa itu ternyata jahat, karena Timun Mas akan
dijadikan santapannya.
Melihat ibunya sering duduk termenung, Timun Mas
pun bertanya-tanya dalam hati. Suatu sore, Timun
Emas memberanikan diri untuk menanyakan
kegundahan hati ibunya.
“Bu, mengapa akhir-akhir ini Ibu selalu tampak sedih?”
tanya Timun Mas.
Sebenarnya Mbok Srini tidak ingin menceritakan
penyebab kegundahan hatinya, karena dia tidak ingin
anak semata wayangnya itu ikut bersedih. Namun,
karena terus didesak, akhirnya ia pun menceritakan
perihal asal-usul Timun Mas yang selama ini ia
rahasiakan.
“Maafkan Ibu, Anakku! Selama ini Ibu merahasiakan
sesuatu kepadamu,” kata Mbok Srini dengan wajah
sedih.
“Rahasia apa, Bu?” tanya Timun Mas penasaran.
“Ketahuilah, Timun Mas! Sebenarnya, kamu bukanlah
anak kandung Ibu yang lahir dari rahim Ibu.”
Belum selesai ibunya bicara, Timun Mas tiba-tiba
menyela.
“Apa maksud, Ibu?” tanya Timun Mas.
Mbok Srini pun menceritakan semua rahasia tersebut
hingga mimpinya semalam bahwa sesosok raksasa akan
datang menjemput anaknya itu untuk dijadikan
santapan. Mendengar cerita itu, Timun Mas tersentak
kaget seolah-olah tidak percaya.
“Timun tidak mau ikut bersama raksasa itu. Timun
sangat sayang kepada Ibu yang telah mendidik dan
membesarkan Timun,” kata Timun Mas.
Mendengar perkataan Timun Mas, Mbok Srini kembali
termenung. Ia bingung mencari cara agar anaknya
selamat dari santapan raksasa itu. Sampai pada hari
yang telah dijanjikan oleh raksasa itu, Mbok Srini belum
juga menemukan jalan keluar. Hatinya pun mulai
cemas. Dalam kecemasannya, tiba-tiba ia menemukan
sebuah akal. Ia menyuruh Timun Mas berpura-pura
sakit. Dengan begitu, tentu raksasa itu tidak akan mau
menyantapnya. Saat matahari mulai senja, raksasa itu
pun mendatangi gubuk Mbok Srini.
“Hai, Perempuan Tua! Mana anak itu? Aku akan
membawanya sekarang,” pinta raksasa itu.
“Maaf, Tuan Raksasa! Anak itu sedang sakit keras. Jika
kamu menyantapnya sekarang, tentu dagingnya tidak
enak. Bagaimana kalau tiga hari lagi kamu datang
kemari? Saya akan menyembuhkan penyakitnya
terlebih dahulu,” bujuk Mbok Srini mengulur-ulur
waktu hingga ia menemukan cara agar Timur Mas bisa
selamat.
“Baiklah, kalau begitu! Tapi, kamu harus berjanji akan
menyerahkan anak itu kepadaku,” kata raksasa itu.
Setelah Mbok Srini menyatakan berjanji, raksasa itu
pun menghilang. Mbok Srini kembali bingung mencari
cara lain. Setelah berpikir keras, akhirnya ia
menemukan cara yang menurutnya dapat
menyelamatkan anaknya dari santapan raksasa itu. Ia
akan meminta bantuan kepada seorang pertapa yang
tinggal di sebuah gunung.
“Anakku! Besok pagi-pagi sekali Ibu akan pergi ke
gunung untuk menemui seorang pertapa. Dia adalah
teman almarhum suami Ibu. Barangkali dia bisa
membantu kita untuk menghentikan niat jahat raksasa
itu,” ungkap Mbok Srini.
“Benar, Bu! Kita harus membinasakan raksasa itu.
Timun tidak mau menjadi santapannya,” imbuh Timun
Mas.
Keesokan harinya, pagi-pagi sekali, berangkatlah Mbok
Srini ke gunung itu. Sesampainya di sana, ia langsung
menemui pertapa itu dan menyampaikan maksud
kedatangannya.
“Maaf, Tuan Pertapa! Maksud kedatangan saya kemari
ingin meminta bantuan kepada Tuan,” kata Mbok Srini.
“Apa yang bisa kubantu, Mbok Srini?” tanya pertapa
itu.
Mbok Srini pun menceritakan masalah yang sedang
dihadapi anaknya. Mendengar cerita Mbok Srini,
pertapa itu pun bersedia membantu.
“Baiklah, kamu tunggu di sini sebentar!” seru pertapa
itu seraya berjalan masuk ke dalam ruang rahasianya.
Tak berapa lama, pertapa itu kembali sambil membawa
empat buah bungkusan kecil, lalu menyerahkannya
kepada Mbok Srini.
“Berikanlah bungkusan ini kepada anakmu. Keempat
bungkusan ini masing-masing berisi biji timun, jarum,
garam dan terasi. Jika raksasa itu mengejarnya, suruh
sebarkan isi bungkusan ini!” jelas pertapa itu.
Setelah mendapat penjelasan itu, Mbok Srini pulang
membawa keempat bungkusan tersebut. Setiba di
gubuknya, Mbok Srini menyerahkan keempat
bungkusan itu dan menjelaskan tujuannya kepada
Timun Mas. Kini, hati Mbok Srini mulai agak tenang,
karena anaknya sudah mempunyai senjata untuk
melawan raksasa itu.
Dua hari kemudian, Raksasa itu pun datang untuk
menagih janjinya kepada Mbok Srini. Ia sudah tidak
sabar lagi ingin membawa dan menyantap daging
Timun Mas.
“Hai, perempuan tua! Kali ini kamu harus menepati
janjimu. Jika tidak, kamu juga akan kujadikan
santapanku!” ancam raksasa itu.
Mbok Srini tidak gentar lagi menghadapi ancaman itu.
Dengan tenang, ia memanggil Timun Mas agar keluar
dari dalam gubuk. Tak berapa lama, Timun Emas pun
keluar lalu berdiri di samping ibunya.
“Jangan takut, Anakku! Jika raksasa itu akan
menangkapmu, segera lari dan ikuti petunjuk yang
telah kusamapaikan kepadamu,” Mbok Srini membisik
Timun Mas.
“Baik, Bu!” jawab Timun Mas.
Melihat Timun Mas yang benar-benar sudah dewasa,
rakasasa itu semakin tidak sabar ingin segera
menyantapnya. Ketika ia hendak menangkapnya, Timun
Mas segera berlari sekencang-kencangnya. Raksasa itu
pun mengejarnya. Tak ayal lagi, terjadilah kejar-
kerajaan antara makhluk raksasa itu dengan Timun
Mas. Setelah berlari jauh, Timun Mas mulai kecapaian,
sementara raksasa itu semakin mendekat. Akhirnya, ia
pun mengeluarkan bungkusan pemberian pertapa itu.
Pertama-tama Timun Mas menebar biji timun yang
diberikan oleh ibunya. Sungguh ajaib, hutan di
sekelilingnya tiba-tiba berubah menjadi ladang timun.
Dalam sekejap, batang timun tersebut menjalar dan
melilit seluruh tubuh raksasa itu. Namun, raksasa itu
mampu melepaskan diri dan kembali mengejar Timun
Mas.
Timun Emas pun segera melemparkan bungkusan yang
berisi jarum. Dalam sekejap, jarum-jarum tersebut
berubah menjadi rerumbunan pohon bambu yang
tinggi dan runcing. Namun, raksasa itu mampu
melewatinya dan terus mengejar Timun Mas, walaupun
kakinya berdarah-darah karena tertusuk bambu
tersebut.
Melihat usahanya belum berhasil, Timun Mas membuka
bungkusan ketiga yang berisi garam lalu
menebarkannya. Seketika itu pula, hutan yang telah
dilewatinya tiba-tiba berubah menjadi lautan luas dan
dalam, namun raksasa itu tetap berhasil melaluinya
dengan mudah. Timun Emas pun mulai cemas, karena
senjatanya hanya tersisa satu. Jika senjata tersebut tidak
berhasil melumpuhkan raksasa itu, maka tamatlah
riwayatnya. Dengan penuh keyakinan, ia pun
melemparkan bungkusan terakhir yang berisi terasi.
Seketika itu pula, tempat jatuhnya terasi itu tiba-tiba
menjelma menjadi lautan lumpur yang mendidih.
Alhasil, raksasa itu pun tercebur ke dalamnya dan
tewas seketika. Maka selamatlah Timun Emas dari
kejaran dan santapan raksasa itu.
Dengan sekuat tenaga, Timun Emas berjalan menuju ke
gubuknya untuk menemui ibunya. Melihat anaknya
selamat, Mbok Srini pun langsung berucap syukur
kepada Tuhan Yang Mahakuasa. Sejak itu, Mbok Srini
dan Timun Mas hidup berbahagia.
* * *
Demikian dongeng Timun Mas dari daerah Jawa
Tengah, Indonesia. Cerita di atas memberikan pelajaran
bahwa orang yang selalu berniat jahat terhadap orang
lain seperti raksasa itu, pada akhirnya akan celaka.
Selain itu, cerita di atas juga mengandung pelajaran
bahwa dengan usaha dan kerja keras segala rintangan
dan cobaan dalam hidup ini dapat diselesaikan dengan
baik. Hal ini ditunjukkan oleh Mbok Srini dan Timun
Mas. Berkat usaha dan kerja kerasnya, mereka dapat
membinasakan raksasa jahat yang hendak memangsa
Timun Mas. (Samsuni/sas/151/06-09)

JAKA KENDHIL

Jaka Kendhil adalah putra raja Asmawikana dari
Kerajaan Ngambar Arum, Jawa Tengah, Indonesia, yang
lahir dalam keadaan cacat, yaitu kepalanya berbentuk
kendhil. Kedhil dalam bahasa Jawa berarti panci atau
periuk. Menurut cerita, Jaka Kendhil mengalami cacat
akibat disihir oleh seorang dukun sejak ia masih dalam
rahim ibundanya. Meski keadaannya demikian, Jaka
Kendhil berhasil menikah dengan seorang putri raja
yang cantik nan rupawan. Mengapa dukun itu menyihir
Jaka Kendhil sehingga menjadi cacat? Lalu, bagaimana
Jaka Kendhil berhasil menikahi putri raja yang cantik?
Ikuti kisah selengkapnya dalam cerita Jaka Kendhil
berikut ini!
* * *
Alkisah, di daerah Jawa Tengah, Indonesia, hiduplah
seorang raja bernama Asmawikana yang bertahta di
Kerajaan Ngambar Arum. Raja Asmawikana mempunyai
seorang permaisuri bernama Prameswari dan seorang
selir bernama Dewi Dursilawati. Namun ia belum
mempunyai seorang putra mahkota yang kelak akan
meneruskan tahta kerajaan. Hal ini membuat hati sang
Raja menjadi sedih. Setiap hari ia selalu duduk
termenung di singgasananya.
Sebenarnya, Prameswari sudah dua kali mengandung,
tetapi dua kali juga keguguran. Penyebab Prameswari
keguguran karena ulah Dewi Dursilawati yang iri hati
kepadanya. Ia mencampuri racun ke dalam makanan
dan minuman Prameswari secara diam-diam. Dewi
Dursilawati melakukan hal itu karena ia menginginkan
putra yang lahir dari rahimnyalah yang akan
menggantikan kedudukan Raja Asmawikana kelak.
Pada suatu sore, ketika Raja Asmawikana sedang duduk
termenung di singgasananya, tiba-tiba muncul
perasaan curiga terhadap selirnya Dewi Dursilawati.
“Wah, jangan-jangan Dewi Dursilawati telah
mencampurkan racun ke dalam makanan Prameswari,”
pikirnya.
Sejak itu, Raja Asmawikana selalu memperhatikan
kesehatan Prameswari, khususnya dalam hal makanan.
Ketika Prameswari mengandung putranya yang ketiga,
ia pun memerintahkan kepada para dayang-dayang
istana agar memeriksa makanan dan minuman yang
akan dihidangkan kepada Prameswari dan mengawasi
sang permaisuri pada saat makan.
“Wahai, Dayang-dayang! Ingat, jangan biarkan
permaisuri Prameswari makan dan minum tanpa
sepengetahuan kalian! Kalian harus mengawasi semua
hidangan yang akan disantapnya!” titah Raja
Asmawikana.
“Baik, Baginda!” jawab dayang-dayang tersebut
serentak.
Sejak itu, segala kebutuhan makanan dan minuman
Prameswari senantiasa dalam pengawasan para
dayang-dayang istana. Dengan demikian, Dewi
Dursilawati tidak dapat lagi meracuni Prameswari.
Namun, selir raja yang licik itu tidak kehabisan akal. Ia
pergi ke seorang nenek dukun untuk meminta bantuan
agar menyihir bayi yang ada di dalam kandungan
Prameswari.
“Hai, Nenek Dukun! Aku ingin meminta bantuanmu!
Sihirlah bayi yang ada di dalam kandungan Prameswari
supaya menjadi cacat!” pinta Dewi Dursilawati.
Nenek sihir itu pun bersedia mengabulkan permintaan
Dewi Dursilawati. Begitu kandungan Prameswari
berusia sembilan bulan, dukun itu menyihir bayi yang
tak berdosa itu. Tak berapa lama kemudian,
Prameswari pun melahirkan seorang anak laki-laki.
Alangkah terkejutnya keluarga istana, terutama Raja
Asmawikana, ketika melihat putranya lahir dalam
keadaan cacat, yaitu kepalanya berbentuk kendhil
(panci). Ia dan permaisurinya sangat sedih melihat
keadaan putra mereka. Sang Permaisuri menangis siang
dan malam. Meski demikian, mereka tetap menerima
keadaan itu dengan lapang dada. Bayi yang diberi nama
Jaka Kendhil itu mereka rawat dengan penuh kasih
sayang.
Namun, Raja Amawikana tidak ingin putranya cacat
seumur hidup. Untuk itu, ia pun memerintahkan
pengawalnya untuk memanggil seorang pertapa yang
terkenal sakti mandraguna untuk melihat keadaan
putranya. Pada suatu hari, pertapa itu pun datang ke
istana menghadap kepada Raja Asmawikana.
“Ampun, Gusti! Apa yang bisa hamba bantu?” tanya
pertapa itu sambil memberi hormat.
Raja Asmawikana pun menceritakan perihal keadaan
putranya yang lahir dalam keadaan cacat itu.
“Wahai, Pertapa! Apakah kamu mengetahui penyebab
penyakit yang diderita putraku? Apakah penyakitnya
masih bisa disembuhkan?” tanya Raja Asmawikana
dengan perasaan haru.
“Ampun, Gusti! Menurut pengetahuan hamba, putra
paduka terkena sihir. Sebaiknya paduka menitipkan
putra paduka kepada seorang nenek yang bernama
Mbok Rondho. Ia tinggal di pinggir sungai di wilayah
perbatasan kerajaan paduka. Suatu hari kelak, putra
paduka akan menjadi kesatria setelah menikah dengan
seorang putri raja,” ramal pertapa itu.
“Terima kasih atas bantuanmu, Pertapa!” ucap Raja
Asmawikana.
Setelah mendapat saran dari sang pertapa, Raja
Asmawikana segera mengirim utusan untuk menitipkan
putranya kepada Mbok Rondho. Ia juga
memerintahkan beberapa pengawalnya yang lain untuk
menangkap dukun yang telah menyihir putranya untuk
dihukum pancung. Namun sayang, dukun itu telah
kabur dari rumahnya untuk menyelamatkan diri.
Rupanya, Dewi Dursilawati telah memberitahu perihal
penangkapan itu kepada si dukun.
Sementara itu di tempat lain, para utusan raja telah
tiba di rumah Mbok Rondho untuk menyerahkan Jaka
Kendhil.
“Mbok Rondho! Kami adalah utusan Raja Asmawikana.
Kanjeng Gusti memerintahkan kami untuk menitipkan
putranya kepada Mbok. Sebagai ucapan terima kasih,
Kanjeng Gusti juga menitipkan emas, intan, dan
permata untuk bekal hidup Mbok bersama Jaka
Kendhil,” pesan salah seorang utusan.
Mbok Rondho pun menerima Jaka Kendhil dengan
senang hati. Ia berjanji akan merawat dan
membesarkan Jaka Kendhil dengang penuh kasih
sayang. Sejak itu, Jaka Kendhil berada di bawah asuhan
Mbok Rondho. Ketika Jaka Kendhil berumur belasan
tahun, Mbok Rondho sering mengajaknya ke pasar dan
ke ladang. Jaka Kendhil adalah anak yang rajin, baik
hati, dan suka membantu orang-orang yang sedang
kesusahan. Tak heran, jika semua orang sayang
kepadanya.
Waktu berjalan begitu cepat. Jaka Kendhil pun tumbuh
menjadi pemuda dewasa. Ia pun semakin rajin
membantu ibu angkatnya bekerja di ladang. Ia juga
suka membantu masyarakat di sekitarnya yang
membutuhkan tenaganya.
Pada suatu hari, raja dari negeri seberang dengan
rombongannya sedang mengadakan rekreasi di sungai
di dekat Dusun Kasihan tempat tinggal Mbok Rondho
dan Jaka Kendhil. Dalam rombongan tersebut hadir
pula permaisuri dan putrinya yang jelita bernama Putri
Ngapunten. Masyarakat Dusun Kasihan pun
berbondong-bondong untuk melihat rombongan raja
yang sedang berekreasi tersebut. Tak terkecuali Jaka
Kendhil dan Mbok Rondho.
Saat pertama kali melihat Putri Ngapunten, Jaka
Kendhil pun langsung jatuh hati. Ia terus menatap
wajah putri raja yang cantik nan rupawan itu hingga
rombongan raja tersebut kembali ke negerinya.
Bahkan, di sepanjang perjalanan pulang ke rumahnya,
wajah cantik Putri Ngapunten selalu terbayang-bayang
di hadapannya. Jaka Kendhil benar-benar jatuh hati
kepada Putri Ngapunten dan berniat untuk
meminangnya. Setibanya di rumah, ia pun
menyampaikan niat tersebut kepada ibu angkatnya.
“Bu! Jaka jatuh hati kepada putri raja dari negeri
seberang itu. Bersediakah Ibu melamarnya untukku?”
pinta Jaka Kendhil.
Alangkah terkejutnya Mbok Rondho mendengar
permintaan putra angkatnya itu.
“Ah, kamu jangan meminta yang aneh-aneh, Putraku!
Mana mungkin Raja Negeri Seberang itu akan
menerima pinanganmu dengan keadaanmu seperti ini.
Apalagi dia itu putri raja satu-satunya. Sebaiknya, kamu
urungkan saja niatmu itu, Putraku!” kata Mbok Rondho
menasehati Jaka Kendhil.
“Tidak, Bu! Apa salahnya jika Ibu mencobanya dulu,”
desak Jaka Kendhil.
Mulanya, Mbok Rondho menolak untuk memenuhi
permintaan Jaka Kendhil. Namun, karena terus didesak,
akhirnya ia pun bersedia untuk memenuhi permintaan
putra kesayangannya itu. Ia pun segera ke istana untuk
menyampaikan niat Jaka Kendhil kepada Raja
Asmawikana. Penguasa Kerajaan Ngambar Arum yang
bijak itu pun menyetujuinya.
“Baiklah, Mbok Rondho! Aku merestui putraku menikah
dengan Raja Ngapunten. Tapi, aku mohon Mbok
Rondho yang datang ke Kerajaan Seberang untuk
meminang putri raja itu. Aku akan menyiapkan segala
keperluan pinangan ini dan mengutus beberapa
pengawalku untuk mendampingimu ke sana,” pinta Raja
Asmawikana.
Mbok Rondho pun tidak kuasa untuk menolak
permintaan Raja Asmawikana. Pada hari yang telah
ditentukan, Mbok Rondo bersama utusan raja pun
berangkat ke Kerajaan Seberang dengan membawa
perhiasan emas dan intan permata untuk
dipersembahkan kepada putri raja.
Pada malam sebelum Mbok Rondho berangkat ke
Kerajaan Seberang, Jaka Kendhil berdoa kepada Tuhan
Yang Mahakuasa agar pinangannya diterima. Berkat
doanya tersebut, Tuhan pun membuka hati Raja Negeri
Seberang melalui mimpi. Suatu malam, sang Raja
bermimpi kejatuhan sebuah kendhil. Ajaibnya, ketika
kendhil itu diberikan kepada putrinya, kendhil itu tiba-
tiba berubah menjadi seorang kesatria yang gagah dan
tampan. Raja Negeri Seberang pun berharap mimpi
tersebut menjadi kenyataan. Maka, ketika Mbok
Rondho bersama utusan Raja Asmawikana datang
meminang putrinya, ia pun langsung menerimanya.
“Pinangan Jaka Kendhil saya terima. Kembalilah ke
negeri kalian untuk menyampaikan berita gembira ini
kepada Raja Asmawikana! Sampaikan kepadanya bahwa
pesta pernikahan Jaka Kendhil dengan putriku akan
dilaksanakan pekan depan!” seru Raja Negeri Seberang.
“Baik, Gusti!” ucap Mbok Rondho dengan senang hati.
Mbok Rondho bersama utusan raja pun mohon diri
kembali ke istana untuk menemui Raja Asmawikana.
Mendengar berita gembira tersebut, Raja Asmawikana
segera memerintahkan seluruh pengawalnya untuk
menyiapkan segala keperluan pesta pernikahan
putranya. Pada hari yang telah ditentukan, pesta
pernikahan Jaka Kendhil dengan Raja Ngapunten pun
dilangsungkan dengan meriah di istana Negeri
Seberang. Pesta tersebut dimeriahkan oleh berbagai
pertunjukan seni dan tari. Undangan yang hadir pun
datang dari berbagai penjuru negeri.
Ketika Jaka Kendhil dan Raja Ngapunten sedang duduk
bersanding di atas pelaminan, para undangan tiba-tiba
menjadi gaduh. Banyak di antara mereka yang
menyesali atas pernikahan tersebut, karena kedua
mempelai bukanlah pasangan yang serasi. Raja
Ngapunten adalah seorang putri raja yang cantik nan
rupawan, sedangkan Jaka Kendhil putra raja yang
memiliki bentuk kepala yang sangat buruk, yakni
menyerupai kendhil.
Di tengah kegaduhan tersebut, tiba-tiba terjadi
peristiwa ajaib. Jaka Kendhil tiba-tiba menghilang entah
ke mana, sehingga Raja Ngapunten tampak duduk
seorang diri di atas pelaminan. Beberapa saat
kemudian, tiba-tiba seorang pemuda tampan dan
gagah muncul di antara kerumunan undangan, lalu
berjalan menuju ke pelaminan dan duduk di samping
Raja Ngapunten. Para undangan tersentak kaget
bercampur rasa senang ketika menyaksikan peristiwa
ajaib itu. Mereka baru menyadari bahwa ternyata Jaka
Kendhil adalah seorang putra raja yang tampan dan
gagah. Akhirnya, pesta pernikahan berlanjut dengan
suasana meriah. Para undangan pun merasa senang
dan gembira menyaksikan kedua mempelai pengantin
yang duduk di pelaminan. Kini, kedua mempelai
tersebut telah menjadi pasangan yang sangat serasi.
Mereka hidup bahagia dan harmonis dalam menjalani
bahtera rumah tangga.
Tidak lama setelah menikah, Jaka Kendhil dinobatkan
menjadi raja untuk menggantikan ayahandanya yang
usianya sudah mulai udzur. Seluruh keluarga istana
merasa sangat bahagia atas penobatan Jaka Kendhil
sebagai raja, kecuali Dewi Dursilawati. Ia merasa dengki
dan iri hati, karena belum mendapat seorang putra
yang diharapkannya untuk menjadi raja. Karena
perasaan dengki itu, ia berniat untuk mencelekai istri
Jaka Kendhil. Namun, niat busuk itu terlebih diketahui
oleh Raja Asmawikana melalui petunjuk dari sang
pertapa, sehingga ia gagal melaksanakannya. Ia
melarikan diri masuk ke dalam hutan, karena takut
mendapat hukuman dari Raja Asmawikana. Pada saat
itulah, ia terperosok masuk ke dalam jurang dan tewas
seketika.
* * *
Demikian cerita Jaka Kendhil dari daerah Jawa Tengah,
Indonesia. Cerita di atas termasuk kategori dongeng
yang di dalam terkandung nilai-nilai moral yang dapat
dijadikan pedoman dalam kehidupan sehari-hari. Nilai
moral yang terkandung di dalam cerita di atas adalah
sifat dengki, yaitu suatu sifat yang tidak senang atas
keberhasilan atau kenikmatan yang diperoleh orang
lain dan berusaha untuk mecelakainya. Sifat dengki ini
harus kita jauhi, karena ia bagaikan racun yang dapat
mengubah rasa kasih sayang menjadi kebencian,
bahkan hingga ke pembunuhan sekalipun. Hal ini
ditunjukkan oleh sifat Dewi Dursilawati yang merasa iri
dan dengki terhadap Prameswari, sehingga ia selalu
berusaha untuk mencelakai Prameswari dan bayinya.

ARYA PENANGSANG

Arya Penangsang adalah seorang adiati di Jipang
Panolan yang sakti dan memiliki sifat pendendam.
Dengan sifatnya itu, ia memerintahkan anak buahnya
untuk menghabisi nyawa Raja Kerajaan Demak, Sunan
Prawata. Tidak puas dengan itu, Arya Penangsang pun
berniat untuk membinasakan Sultan Hadiwijaya yang
berkedudukan di Pajang. Mengapa Arya Penangsang
mendendam kepada Sunan Prawata? Lalu, berhasilkah
ia membinasakan Sultan Hadiwijaya? Jawabannya dapat
Anda temukan dalam cerita Arya Penangsang berikut
ini.
* * *
Pada masa pemerintahaan Kesultanan Demak,
tersebutlah seorang adipati yang bernama Arya
Penangsang. Ia berkedudukan di Kadipaten Jipang
Panolan, Jawa Tengah. Arya Penangsang adalah putra
Raden Kikin atau yang biasa dikenal dengan sebutan
Pangeran Sekar Seda ing Lepen (bunga yang tewas di
tepi sungai Bengawan Solo).
Menurut cerita, Raden Kikin tewas di tangan Raden
Mukmin atau Sunan Prawata dalam sebuah
peperangan karena memperebutkan tahta Kerajaan
Demak untuk menggantikan Sultan Trenggana yang
telah wafat (1546 M). Setelah itu, Sunan Prawata pun
dinobatkan sebagai Sultan Demak.
Adipati Arya Penangsang yang mendapatkan dukungan
gurunya, Sunan Kudus, berniat untuk merebut tahta
Kesultanan Demak dari tangan Sunan Prawata.
Keinginan tersebut muncul bukan saja karena ia ingin
menguasai Kerajaan Demak, tetapi juga untuk
membalas dendam atas kematian ayahnya.
Pada suatu malam di tahun 1549 M, Arya Penangsang
memerintahkan pasukan khusus Jipang Panolan yang
dikenal dengan nama Pasukan Sureng[1] untuk
membinasakan Sunan Prawata. Pasukan itu dipimpin
oleh Rangkud. Setibanya di kediaman Sunan Prawata,
Rangkut berhasil menyelinap masuk ke dalam kamar
tidur Sunan Prawata sementara para anak buahnya
berjaga-jaga di luar.
Ketika itu, Sunan Prawata sedang menderita sakit
sehingga tidak dapat berbuat banyak selain pasrah. Ia
pun mengakui kesalahannya dan rela untuk diakhiri
hidupnya oleh orang yang tidak dikenalnya itu.
“Hai, Kisanak, habisilah nyawaku! Aku akan
bertanggung jawab atas kematian Raden Kikin. Tapi,
tolong kamu jangan melukai istriku!” iba Sunan
Prawata.
Rangkud mengabulkan permintaan itu. Namun, ketika
ia menghujamkan kerisnya ke tubuh Sunan Prawata,
ternyata keris itu tembus hingga mengenai tubuh istri
Sunan Prawata yang berlindung di balik punggung
suaminya. Tak ayal lagi, istri Sunan Prawata pun tewas.
Melihat istrinya meninggal, Sunan Prawata menjadi
marah. Dalam keadaan terluka parah, ia segera
mencabut keris yang menancap di tubuhnya lalu
dilemparkannya ke arah Rangkud. Sunan Prawata pun
berhasil membinasakan Rangkud sebelum dirinya
menghembuskan nafas terakhir.
Sementara itu, Arya Penangsang yang telah menguasai
Demak semakin bengis. Ia pun berniat membinasakan
menantu Sultan Trenggana yang bernama Sultan
Hadiwijaya atau Jaka Tingkir di Pajang. Untuk itu, ia
mengutus empat orang anak buahnya ke Pajang.
Setibanya di sana, keempat utusan tersebut justru
tertangkap oleh Sultan Hadiwijaya. Namun, mereka
tidak dihukum melainkan diberi hadiah dan disuruh
kembali ke Jipang.
Kepulangan keempat utusan yang membawa hadiah
tersebut tentu saja membuat Arya Penangsang
tersinggung dan sangat marah. Ia pun memutuskan
untuk menghabisi nyawa Hadiwijaya dengan tangannya
sendiri.
Sultan Hadiwijaya yang mengetahui kabar tersebut
menganggap Arya Penangsang telah memberontak
terhadap Pajang. Namun, ia tidak ingin memerangi
Arya Penangsang secara langsung karena mereka sama-
sama anggota keluarga Demak dan saudara
seperguruan, yaitu sama-sama murid Sunan Kudus.
Untuk menghadapi pemberontak itu, Sultan Hadiwijaya
mengadakan sayembara. Barang siapa mampu
membinasakan Arya Penangsang, maka ia akan diberi
hadiah tanah di daerah Pati dan hutan Mataram.
Atas desakan Ki Juru Martani, Ki Ageng Pamanahan
dan adik angkatnya, Ki Penjawi, yang merupakan abdi
dalem Sultan Hadiwijaya, pun ikut dalam sayembara
tersebut. Ki Ageng Pamanahan dan Ki Juru Martani
segera menyusun rencana dan taktik peperangan
melawan Arya Penangsang. Ki Juru Martani
menyarankan kepada Ki Ageng Pamanahan untuk
mengusahakan agar mereka dapat membawa tombak
pusaka Kyai Plered milik Sultan Hadiwijaya ke medan
perang karena hanya tombak itulah yang mampu
melukai Arya Penangsang.
Atas saran Ki Juru Martani, Ki Ageng Pamanahan
memohon kepada Sultan Hadiwijaya untuk membawa
serta anak angkat sang Sultan yang bernama Danang
Sutawijaya ke medan perang. Dengan begitu, Sultan
Hadiwijaya akan meminjamkan keris pusakanya kepada
putra angkatnya itu. Sultan Hadiwijaya pun
menyetujuinya.
Pada hari yang telah ditentukan, Ki Ageng Pamanahan
bersama rombongannya berangkat menuju daerah
Jipang. Penyerangan itu dipimpin oleh Ki Juru Martani.
Setibanya di tepi sungai Bengawan Solo yang
merupakan tapal batas wilayah Sela dan Jipang, Ki Juru
Martani segera mengatur siasat. Danang Sutawijaya
tampak berdiri di samping seekor kuda putih yang akan
ditungganginya untuk menghadapi Arya Penangsang. Di
tangannya tergenggam tombak pusaka Kyai Plered yang
ujungnya ditutupi kain putih dan diberi rangkaian
bunga melati.
Tak jauh dari tempat pasukan Pajang bersembunyi,
tampak seorang pekatik (pemelihara kuda) yang sedang
mencari rumput untuk kuda milik Arya Penangsang. Ki
Juru Martani pun segera menangkap pekatik itu lalu
melukai telinganya dan mengalunginya surat
tantangan. Setelah itu, si pekatik disuruh segera
kembali ke Jipang untuk menghadap Arya Penangsang.
Setibanya di Jipang, pekatik itu segera menyerahkan
surat itu kepada Patih Matahun untuk dibaca di
hadapan Arya Penangsang. Isi surat itu berbunyi
seperti berikut:
“Hei, Penangsang! Yen sira nyata lanang sejati, payo
tandhing lawan ingsun. Dak anti sapinggiring
bengawan tapel wates. Yen ora wani nekani, nyata sira
wandu kang memba rupa! Budhala tanpa rowang!
Ingsun wong Sela wus tan bisa suwe nahan sedyaning
tyas kapeing nigas janggamu!”
Artinya: “Hai, Penangsang! Jika kamu nyata lelaki sejati,
mari bertanding denganku! Aku tunggu di pinggir
sungai tapal batas. Jika tidak berani datang, jelaslah
kamu seorang banci yang menyamar sebagai lelaki!
Berangkatlah tanpa prajurit! Aku orang Sela sudah
gatal ingin memenggal kepalamu!”
Mengetahui isi surat itu, Arya Penangsang langsung
menggebrak meja di sampingnya. Ia lalau segera
mengenakan pakaian perang dan keris pusakanya yang
bernama Kyai Setan Kober.
“Prajurit! Siapkan Kyai Gagak Rimang!” seru Arya
Penangsang.
Kyai Gagak Rimang adalah kuda andalan Arya
Penangsang yang biasa dipakai untuk mengalahkan
musuh-musuhnya dalam peperangan. Gagak Rimang
perawakannya gagah dan tegap, badannya tinggi dan
besar serta sangat lincah. Warna bulunya yang hitam
mengkilap membuatnya tampak berwibawa.
Dengan mata merah penuh amarah, Arya Penangsang
segera menunggangi Kyai Gagak Rimang menuju sungai
tapal batas wilayah Jipang. Setibanya di tepi sungai,
Arya Penangsang melihat seorang anak kecil yang
sedang menunggang kuda putih di seberang sungai.
Anak kecil itu tak lain adalah Sutawijaya yang sudah
siap dengan tombak pusakanya. Melihat kedatangan
Arya Penangsang, Danang Sutawijaya berteriak dengan
suara nyaring.
“Hai, Penangsang! Lawanlah aku kalau kamu berani!”
Dada Arya Panangsang bagai dibakar api mendengar
suara anak kecil yang menantangnya itu. Ia tidak
sanggup lagi menahan emosinya. Dengan segera ia
menarik tali kekang Kyai Gagak Rimang sehingga kuda
itu meringkik dan berlari menapaki dasar Sungai
Bengawan yang hanya setinggi lutut. Betapa senangnya
hati Danang Sutawijaya melihat Arya Penangsang
mendahuluinya mencebur ke sungai. Konon, jika terjadi
peperangan atau pertarungan di Sungai Bengawan,
pihak yang lebih dahulu turun ke sungai pasti akan
kalah.
Tanpa ragu lagi, Sutawijaya segera menghela kuda
putihnya turun ke sungai. Begitu ia berhadap-hadapan
dengan Arya Penangsang, putra Ki Ageng Pamanahan
itu segera memutar arah kudanya sehingga
membelakangi kuda Arya Penangsang. Kuda hitam
kesayangan Arya penangsang pun tiba-tiba bertingkah
aneh dan menjadi liar karena kuda yang ditunggangi
Sutawijaya ternyata kuda betina. Kemaluan kuda putih
terlihat dengan jelas karena ekornya sengaja diikat ke
atas.
Semakin lama Kyai Gagak Rimang semakin liar dan
berontak hingga Arya Penangsang kerepotan
mengendalikannya. Melihat Arya Penangsang sibuk
mengendalikan kudanya, Sutawijaya tidak menyia-
nyiakan kesempatan itu. Ia segera menusukkan tombak
pusaka Kyai Plered ke perut Arya Penangsang hingga
robek hingga sebagian ususnya terburai.
Meski demikian, Arya Penangsang yang sakti itu masih
hidup. Ia berusaha meraih ususnya yang terburai itu
lalu dikalungkannya pada warangka keris pusaknya.
Setelah itu, ia segera menarik tali kekang kudanya
untuk mengejar Sutawijaya. Begitu mendekat, Arya
Penangsang meraih tubuh Sutawijaya yang kecil itu dan
membantingnya ke tanah hingga tak berdaya. Arya
Penangsang segera turun dari kudanya lalu menginjak
dada Sutawijaya.
Melihat putranya dalam keadaan bahaya, Ki Ageng
Pamanahan segera keluar dari tempat
persembunyiannya. Ia segera menggunakan siasatnya
dengan berpura-pura memihak kepada Arya
Penangsang.
“Hai, Arya Penangsang! Habisi saja nyawa putra Sultan
Hadiwijaya itu!” teriak Ki Ageng Pamanahan.
Arya Penangsang pun baru sadar bahwa ternyata anak
kecil yang diinjak dadanya itu adalah putra musuhnya.
Dengan geram, ia segera mencabut keris Kyai Brongot
Setan Kober dari pinggangnya. Namun, ia lupa jika
sebagian ususnya tersampir di warangka keris pusaka
itu. Begitu ia mengangkat keris itu, seketika itu pula
ususnya terputus. Tak ayal lagi, tubuh Adipati Jipang
itu tersungkur ke tanah dan tewas seketika.
Setelah Arya Penangsang tewas, Ki Ageng Pemanahan
beserta rombongannya kembali ke Pajang untuk
melapor kepada Sultan Hadiwijaya bahwa Arya
Penangsang telah tewas. Sultan Hadiwijaya sangat
gembira mendengar kabar gembira itu. Sesuai dengan
janjinya, maka ia pun menghadiahi Ki Ageng
Pamanahan dan Ki Penjawi tanah di Pati dan tanah di
hutan Mataram.
Setelah melalui perundingan, Ki Ageng Pamanahan
mendapatkan bagian tanah di hutan Mataram
sedangkan Ki Penjawi mendapatkan bagian tanah di
Pati. Atas restu Sultan Hadiwijaya, keduanya menuju ke
bagian masing-masing. Ki Ageng Pamanahan pun
mengajak putranya, Danang Sutawijaya, untuk ikut
serta pindah dan menetap di daerah yang menjadi
bagiannya. Di sana, mereka mengubah hutan belantara
itu menjadi pusat kerajaan besar yang bernama
Kerajaan Mataram.
* * *
Demikian cerita sejarah Arya Penangsang dari daerah
Jawa Tengah, Indonesia. Pelajaran yang dapat dipetik
dari cerita di atas adalah bahwa orang yang memiliki
sifat bengis dan pendendam seperti Arya Penangsang
pada akhirnya akan mendapatkan musibah. Arya
Penangsang tewas dalam pertarungan karena selalu
kurang perhitungan dalam bertindak. Hal ini terjadi
karena hati dan pikirannya telah digerogoti oleh sifat
dendam sehingga ia menjadi kalap. (Samsuni/
sas/194/05-10)

RARA MENDHUT

Rara Mendut atau Roro Mendut (dalam bahasa Jawa)
adalah seorang gadis cantik yang berpendirian teguh.
Karunia kecantikan yang luar biasa membuat Rara
Mendut menjadi rebutan para pria, mulai dari
kalangan rakyat biasa, bangsawan, hingga panglima
perang. Suatu ketika, Rara Mendut diculik oleh Adipati
Pragolo II, penguasa Kadipaten Pati untuk dijadikan
selir. Namun, sebelum menjadi selir Adipati Pragolo II,
Rara Mendut direbut oleh panglima perang Kerajaan
Mataram, Tumenggung Wiraguna untuk dijadikan selir
pula. Bagaimana nasib Rara Mendut selanjutnya?
Berikut kisahnya dalam cerita Kisah Rara Mendut.
* * *
Dahulu, di pesisir pantai utara Pulau Jawa, tepatnya di
daerah Pati, Jawa Tengah, tersebutlah sebuah desa
nelayan bernama Teluk Cikal. Desa itu termasuk ke
dalam wilayah Kadipaten Pati yang diperintah oleh
Adipati Pragolo II. Kadipaten Pati sendiri merupakan
salah satu wilayah taklukan dari Kesultanan Mataram
yang dipimpin oleh Sultan Agung.
Di Teluk Cikal, hidup seorang gadis anak nelayan
bernama Rara Mendut. Ia seorang gadis yang cantik
dan rupawan. Rara Mendut juga dikenal sebagai
seorang gadis yang teguh pendirian. Ia tidak sungkan-
sungkan menolak para lelaki yang datang melamarnya
sebab ia sudah memiliki calon suami, yakni seorang
pemuda desa yang tampan bernama Pranacitra, putra
Nyai Singabarong, seorang saudagar kaya-raya.
Suatu hari, berita tentang kecantikan dan kemolekan
Rara Mendut terdengar oleh Adipati Pragolo II.
Penguasa Kadipaten Pati itu pun bermaksud
menjadikannya sebagai selir. Sudah berkali-kali ia
membujuknya, namun Rara Mendut tetap menolak.
Merasa dikecewakan, Adipati Pragolo II mengutus
beberapa pengawalnya untuk menculik Rara Mendut.
Hari itu, ketika Rara Mendut sedang asyik menjemur
ikan di pantai seorang diri, datanglah utusan Adipati
Progolo.
“Ayo gadis cantik, ikut kami ke keraton!” seru para
pengawal itu sambil menarik kedua tangan Rara
Mendut dengan kasar.
“Lepaskan, aku!” teriak Rara Mendut sambil meronta-
ronta, “Aku tidak mau menjadi selir Adipati Pragolo.
Aku sudah punya kekasih!”
Para pengawal itu tidak peduli dengan rengekan Rara
Mendut. Mereka terus menyeret gadis itu naik ke kuda
lalu membawanya ke keraton. Sebagai calon selir, Rara
Mendut dipingit di dalam Puri Kadipaten Pati di bawah
asuhan seorang dayang bernama Ni Semangka dengan
dibantu oleh seorang dayang yang lebih muda
bernama Genduk Duku.
Sementara Rara Mendut dalam masa pingitan, di
Kadipaten Pati sedang terjadi gejolak. Sultan Agung
menuding Adipati Pragolo II sebagai pemberontak
karena tidak mau membayar upeti kepada Kesultanan
Mataram. Sultan Agung pun memimpin langsung
penyerangan ke Kadipaten Pati.
Menurut cerita, Sultan Agung tidak mampu melukai
Adipati Pragolo II karena penguasa Pati itu memakai
kere waja (baju zirah) yang tidak mempan senjata
apapun. Melihat hal itu, abdi pemegang payung sang
Sultan yang bernama Ki Nayadarma pun berkata,
“Ampun, Gusti Prabu. Perkenankanlah hamba yang
menghadapi Adipati Pragolo!” pinta Ki Nayadarma
seraya memberi sembah.
“Baiklah, Abdiku. Gunakanlah tombak Baru Klinting ini!”
ujar sang Sultan.
Berbekal tombak pusaka Baru Klinting, Ki Nayadarma
langsung menyerang Adipati Pragolo II. Namun,
serangannya masih mampu ditepis oleh Adipati Pragolo
II. Saat Adipati itu lengah, Ki Nayadarma dengan cepat
menikamkan pusaka Baru Klinting ke bagian tubuh sang
Adipati yang tidak terlindungi oleh baju zirah. Adipati
Pragolo II pun tewas seketika.
Sementara itu, para prajurit yang dikomandani
panglima perang Mataram, Tumenggung Wiraguna,
segera merampas harta kekayaan Kadipaten Pati,
termasuk Rara Mendut. Tumenggung Wiraguna
langsung terpesona saat melihat kecantikan Rara
Mendut. Ia pun memboyong Rara Mendut ke Mataram
untuk dijadikan selirnya.
Tumenggung Wiraguna berkali-kali membujuk Rara
Mendut untuk dijadikan selir, namun selalu ditolak.
Bahkan, di hadapan panglima itu, ia berani terang-
terangan menyatakan bahwa dirinya telah memiliki
kekasih bernama Pranacitra. Sikap Rara Mendut yang
keras kepala itu membuat Tumenggung Wiraguna
murka.
“Baiklah, Rara Mendut. Jika kamu tidak ingin menjadi
selirku, maka sebagai gantinya kamu harus membayar
pajak kepada Mataram!” ancam Tumenggung Wiraguna.
Rara Mendut tidak gentar mendengar ancaman itu. Ia
lebih memilih membayar pajak daripada harus menjadi
selir Tumenggung Wiraguna. Oleh karena masih dalam
pengawasan prajurit Mataram, Rara Mendut kemudian
meminta izin untuk berdagang rokok di pasar.
Tumenggung Wiraguna pun menyetujuinya. Ternyata,
dagangan rokoknya laku keras, bahkan, orang juga
beramai-ramai membeli puntung rokok bekas isapan
Rara Mendut.
Suatu hari, ketika sedang berjualan di pasar, Rara
Mendut bertemu dengan Pranacitra yang sengaja
datang mencari kekasihnya itu. Pranacitra berusaha
mencari jalan untuk bisa melarikan Rara Mendut dari
Mataram.
Setiba di istana, Rara Mendut menceritakan perihal
pertemuannya dengan Pranacitra kepada Putri
Arumardi, salah seorang selir Wiraguna, dengan
harapan dapat membantunya keluar dari istana. Rara
Mendut tahu persis bahwa Putri Arumardi tidak setuju
jika Wiraguna menambah selir lagi.
Putri Arumardi dan selir Wiraguna lainnya yang
bernama Nyai Ajeng menyusun siasat untuk
mengeluarkan Rara Mendut ke luar dari istana.
Bersama dengan Pranacitra, Rara Mendut berusaha
untuk kembali ke kampung halamannya di Kadipaten
Pati.
Namun sungguh disayangkan, pelarian Rara Mendut
dan Pranacitra diketahui oleh Wiraguna. Pasangan ini
akhirnya berhasil ditemukan oleh para prajurit
Wiraguna. Rara Mendut pun dibawa kembali ke
Mataram, sedangkan secara diam-diam, Wiraguna
memerintahkan abdi kepercayaannya untuk
menghabisi nyawa Pranacitra. Alhasil, kekasih Rara
Mendut itu tewas dan dikuburkan di sebuah hutan
terpencil di Ceporan, Desa Gandhu, terletak kurang
lebih 9 kilometer sebelah timur Kota Yogyakarta.
Sepeninggal Pranacitra, Tumenggung Wiraguna kembali
membujuk Rara Mendut agar mau menjadi selirnya.
Namun, usahanya tetap sia-sia, gadis cantik itu tetap
menolak. Sang Panglima pun tidak kehabisan akal. Ia
kemudian menceritakan perihal kematian Pranacitra
kepada Rara Mendut.
“Sudahlah, Rara Mendut. Percuma saja kamu menikah
dengan Pranacitra,” ujar Tumenggung Wiraguna.
“Apa maksud, Tuan?” tanya Rara Mendut mulai cemas.
“Pemuda yang kamu kasihi itu sudah tidak ada lagi,”
jawab Tumenggung Wiraguna.
“Kanda Pranacitra sudah tidak ada? Ah, itu tidak
mungkin terjadi. Aku baru saja bertemu dengannya
kemarin,” kata Rara Mendut tidak percaya.
“Jika kamu tidak percaya, ikutlah bersamaku, akan
kutunjukkan kuburnya,” ujar Tumenggung Wiraguna.
Rara Mendut pun menurut untuk membuktikan
perkataan Tumenggung Wiraguna. Betapa terkejutnya
Rara Mendut begitu sampai di tempat Pranacitra
dikuburkan. Ia berteriak histeris di hadapan makam
kekasihnya.
“Kanda, jangan tinggalkan Dinda!” tangis Rara Mendut.
“Sudahlah, Mendut! Tak ada lagi gunanya meratapi
orang yang sudah mati,” ujar Wiraguna, “Ayo, kita
tinggalkan tempat ini!”
Rara Mendut pun bangkit lalu mengikuti Tumenggung
Wiraguna sambil terus menangis. Belum jauh mereka
meninggalkan tempat pemakaman itu, Rara Mendut
pun murka dan mengancam akan melaporkan
perbuatan Wiraguna kepada Raja Mataram, Sultan
Agung.
“Tuan jahat sekali. Perbuatan Tuan akan kulaporkan
kepada Raja Mataram agar mendapat hukuman yang
setimpal!” ancam Rara Mendut.
Seketika, Tumenggung Wiraguna menjadi sangat marah.
Ia kemudian menarik tangan Rara Mendut untuk
dibawa pulang ke rumahnya. Namun, gadis itu menolak
dan meronta-ronta untuk melepaskan diri. Begitu
tangannya terlepas, ia menarik keris milik Tumenggung
Wiraguna yang terselip di pinggangnya. Rara Mendut
kemudian berlari menuju makam kekasihnya. Panglima
itu pun berusaha mengejarnya.
“Berhenti, Mendut!” teriaknya.
Setiba di makam Pranacitra, Rara Mendut bermaksud
untuk bunuh diri.
“Jangan, Mendut! Jangan lakukan itu!” teriak
Tumenggung Wiraguna yang baru saja sampai.
Namun, semuanya sudah terlambat. Rara Mendut telah
menikam perutnya dengan keris yang dibawanya.
Tubuhnya pun langsung roboh dan tewas di samping
makam kekasihnya. Melihat peristiwa itu, Tumenggung
Wiraguna merasa amat menyesal atas perbuatannya.
“Oh, Tuhan. Sekiranya aku tidak memaksanya menjadi
selirku, tentu Rara Mendut tidak akan nekad bunuh
diri,” sesal Tumenggung Wiraguna.
Penyesalan itu tak ada gunanya karena semuanya
sudah terjadi. Untuk menebus kesalahannya,
Tumenggung Wiraguna menguburkan Rara Mendut satu
liang dengan Pranacitra. Begitulah kisah perjuangan
Rara Mendut dalam mempertahankan harga diri dan
kesetiaannya.
* * *
Demikian cerita Kisah Rara Mendut dari Kabupaten
Pati, Jawa Tengah. Hingga kini, kisah ini masih dikenang
dan menjadi simbol cinta yang abadi dalam masyarakat
Jawa. Oleh YB. Mangunwijaya, cerita ini telah ditulis
dalam trilogi karya sastra klasik berjudul Rara Mendut,
Genduk Duku, dan Lusi Lindri yang dimuat di harian
Kompas secara bersambung. Sekitar tahun 1983, novel
ini kemudian diadaptasi menjadi sebuah film yang
berjudul “Roro Mendut” yang disutradarai oleh Ami
Prijono. Tahun 2008, novel trilogi ini kembali
diterbitkan ke dalam gabungan sebuah novel yang
berjudul Rara Mendut: Sebuah Trilogi.

RARA MENDHUT

Rara Mendut atau Roro Mendut (dalam bahasa Jawa)
adalah seorang gadis cantik yang berpendirian teguh.
Karunia kecantikan yang luar biasa membuat Rara
Mendut menjadi rebutan para pria, mulai dari
kalangan rakyat biasa, bangsawan, hingga panglima
perang. Suatu ketika, Rara Mendut diculik oleh Adipati
Pragolo II, penguasa Kadipaten Pati untuk dijadikan
selir. Namun, sebelum menjadi selir Adipati Pragolo II,
Rara Mendut direbut oleh panglima perang Kerajaan
Mataram, Tumenggung Wiraguna untuk dijadikan selir
pula. Bagaimana nasib Rara Mendut selanjutnya?
Berikut kisahnya dalam cerita Kisah Rara Mendut.
* * *
Dahulu, di pesisir pantai utara Pulau Jawa, tepatnya di
daerah Pati, Jawa Tengah, tersebutlah sebuah desa
nelayan bernama Teluk Cikal. Desa itu termasuk ke
dalam wilayah Kadipaten Pati yang diperintah oleh
Adipati Pragolo II. Kadipaten Pati sendiri merupakan
salah satu wilayah taklukan dari Kesultanan Mataram
yang dipimpin oleh Sultan Agung.
Di Teluk Cikal, hidup seorang gadis anak nelayan
bernama Rara Mendut. Ia seorang gadis yang cantik
dan rupawan. Rara Mendut juga dikenal sebagai
seorang gadis yang teguh pendirian. Ia tidak sungkan-
sungkan menolak para lelaki yang datang melamarnya
sebab ia sudah memiliki calon suami, yakni seorang
pemuda desa yang tampan bernama Pranacitra, putra
Nyai Singabarong, seorang saudagar kaya-raya.
Suatu hari, berita tentang kecantikan dan kemolekan
Rara Mendut terdengar oleh Adipati Pragolo II.
Penguasa Kadipaten Pati itu pun bermaksud
menjadikannya sebagai selir. Sudah berkali-kali ia
membujuknya, namun Rara Mendut tetap menolak.
Merasa dikecewakan, Adipati Pragolo II mengutus
beberapa pengawalnya untuk menculik Rara Mendut.
Hari itu, ketika Rara Mendut sedang asyik menjemur
ikan di pantai seorang diri, datanglah utusan Adipati
Progolo.
“Ayo gadis cantik, ikut kami ke keraton!” seru para
pengawal itu sambil menarik kedua tangan Rara
Mendut dengan kasar.
“Lepaskan, aku!” teriak Rara Mendut sambil meronta-
ronta, “Aku tidak mau menjadi selir Adipati Pragolo.
Aku sudah punya kekasih!”
Para pengawal itu tidak peduli dengan rengekan Rara
Mendut. Mereka terus menyeret gadis itu naik ke kuda
lalu membawanya ke keraton. Sebagai calon selir, Rara
Mendut dipingit di dalam Puri Kadipaten Pati di bawah
asuhan seorang dayang bernama Ni Semangka dengan
dibantu oleh seorang dayang yang lebih muda
bernama Genduk Duku.
Sementara Rara Mendut dalam masa pingitan, di
Kadipaten Pati sedang terjadi gejolak. Sultan Agung
menuding Adipati Pragolo II sebagai pemberontak
karena tidak mau membayar upeti kepada Kesultanan
Mataram. Sultan Agung pun memimpin langsung
penyerangan ke Kadipaten Pati.
Menurut cerita, Sultan Agung tidak mampu melukai
Adipati Pragolo II karena penguasa Pati itu memakai
kere waja (baju zirah) yang tidak mempan senjata
apapun. Melihat hal itu, abdi pemegang payung sang
Sultan yang bernama Ki Nayadarma pun berkata,
“Ampun, Gusti Prabu. Perkenankanlah hamba yang
menghadapi Adipati Pragolo!” pinta Ki Nayadarma
seraya memberi sembah.
“Baiklah, Abdiku. Gunakanlah tombak Baru Klinting ini!”
ujar sang Sultan.
Berbekal tombak pusaka Baru Klinting, Ki Nayadarma
langsung menyerang Adipati Pragolo II. Namun,
serangannya masih mampu ditepis oleh Adipati Pragolo
II. Saat Adipati itu lengah, Ki Nayadarma dengan cepat
menikamkan pusaka Baru Klinting ke bagian tubuh sang
Adipati yang tidak terlindungi oleh baju zirah. Adipati
Pragolo II pun tewas seketika.
Sementara itu, para prajurit yang dikomandani
panglima perang Mataram, Tumenggung Wiraguna,
segera merampas harta kekayaan Kadipaten Pati,
termasuk Rara Mendut. Tumenggung Wiraguna
langsung terpesona saat melihat kecantikan Rara
Mendut. Ia pun memboyong Rara Mendut ke Mataram
untuk dijadikan selirnya.
Tumenggung Wiraguna berkali-kali membujuk Rara
Mendut untuk dijadikan selir, namun selalu ditolak.
Bahkan, di hadapan panglima itu, ia berani terang-
terangan menyatakan bahwa dirinya telah memiliki
kekasih bernama Pranacitra. Sikap Rara Mendut yang
keras kepala itu membuat Tumenggung Wiraguna
murka.
“Baiklah, Rara Mendut. Jika kamu tidak ingin menjadi
selirku, maka sebagai gantinya kamu harus membayar
pajak kepada Mataram!” ancam Tumenggung Wiraguna.
Rara Mendut tidak gentar mendengar ancaman itu. Ia
lebih memilih membayar pajak daripada harus menjadi
selir Tumenggung Wiraguna. Oleh karena masih dalam
pengawasan prajurit Mataram, Rara Mendut kemudian
meminta izin untuk berdagang rokok di pasar.
Tumenggung Wiraguna pun menyetujuinya. Ternyata,
dagangan rokoknya laku keras, bahkan, orang juga
beramai-ramai membeli puntung rokok bekas isapan
Rara Mendut.
Suatu hari, ketika sedang berjualan di pasar, Rara
Mendut bertemu dengan Pranacitra yang sengaja
datang mencari kekasihnya itu. Pranacitra berusaha
mencari jalan untuk bisa melarikan Rara Mendut dari
Mataram.
Setiba di istana, Rara Mendut menceritakan perihal
pertemuannya dengan Pranacitra kepada Putri
Arumardi, salah seorang selir Wiraguna, dengan
harapan dapat membantunya keluar dari istana. Rara
Mendut tahu persis bahwa Putri Arumardi tidak setuju
jika Wiraguna menambah selir lagi.
Putri Arumardi dan selir Wiraguna lainnya yang
bernama Nyai Ajeng menyusun siasat untuk
mengeluarkan Rara Mendut ke luar dari istana.
Bersama dengan Pranacitra, Rara Mendut berusaha
untuk kembali ke kampung halamannya di Kadipaten
Pati.
Namun sungguh disayangkan, pelarian Rara Mendut
dan Pranacitra diketahui oleh Wiraguna. Pasangan ini
akhirnya berhasil ditemukan oleh para prajurit
Wiraguna. Rara Mendut pun dibawa kembali ke
Mataram, sedangkan secara diam-diam, Wiraguna
memerintahkan abdi kepercayaannya untuk
menghabisi nyawa Pranacitra. Alhasil, kekasih Rara
Mendut itu tewas dan dikuburkan di sebuah hutan
terpencil di Ceporan, Desa Gandhu, terletak kurang
lebih 9 kilometer sebelah timur Kota Yogyakarta.
Sepeninggal Pranacitra, Tumenggung Wiraguna kembali
membujuk Rara Mendut agar mau menjadi selirnya.
Namun, usahanya tetap sia-sia, gadis cantik itu tetap
menolak. Sang Panglima pun tidak kehabisan akal. Ia
kemudian menceritakan perihal kematian Pranacitra
kepada Rara Mendut.
“Sudahlah, Rara Mendut. Percuma saja kamu menikah
dengan Pranacitra,” ujar Tumenggung Wiraguna.
“Apa maksud, Tuan?” tanya Rara Mendut mulai cemas.
“Pemuda yang kamu kasihi itu sudah tidak ada lagi,”
jawab Tumenggung Wiraguna.
“Kanda Pranacitra sudah tidak ada? Ah, itu tidak
mungkin terjadi. Aku baru saja bertemu dengannya
kemarin,” kata Rara Mendut tidak percaya.
“Jika kamu tidak percaya, ikutlah bersamaku, akan
kutunjukkan kuburnya,” ujar Tumenggung Wiraguna.
Rara Mendut pun menurut untuk membuktikan
perkataan Tumenggung Wiraguna. Betapa terkejutnya
Rara Mendut begitu sampai di tempat Pranacitra
dikuburkan. Ia berteriak histeris di hadapan makam
kekasihnya.
“Kanda, jangan tinggalkan Dinda!” tangis Rara Mendut.
“Sudahlah, Mendut! Tak ada lagi gunanya meratapi
orang yang sudah mati,” ujar Wiraguna, “Ayo, kita
tinggalkan tempat ini!”
Rara Mendut pun bangkit lalu mengikuti Tumenggung
Wiraguna sambil terus menangis. Belum jauh mereka
meninggalkan tempat pemakaman itu, Rara Mendut
pun murka dan mengancam akan melaporkan
perbuatan Wiraguna kepada Raja Mataram, Sultan
Agung.
“Tuan jahat sekali. Perbuatan Tuan akan kulaporkan
kepada Raja Mataram agar mendapat hukuman yang
setimpal!” ancam Rara Mendut.
Seketika, Tumenggung Wiraguna menjadi sangat marah.
Ia kemudian menarik tangan Rara Mendut untuk
dibawa pulang ke rumahnya. Namun, gadis itu menolak
dan meronta-ronta untuk melepaskan diri. Begitu
tangannya terlepas, ia menarik keris milik Tumenggung
Wiraguna yang terselip di pinggangnya. Rara Mendut
kemudian berlari menuju makam kekasihnya. Panglima
itu pun berusaha mengejarnya.
“Berhenti, Mendut!” teriaknya.
Setiba di makam Pranacitra, Rara Mendut bermaksud
untuk bunuh diri.
“Jangan, Mendut! Jangan lakukan itu!” teriak
Tumenggung Wiraguna yang baru saja sampai.
Namun, semuanya sudah terlambat. Rara Mendut telah
menikam perutnya dengan keris yang dibawanya.
Tubuhnya pun langsung roboh dan tewas di samping
makam kekasihnya. Melihat peristiwa itu, Tumenggung
Wiraguna merasa amat menyesal atas perbuatannya.
“Oh, Tuhan. Sekiranya aku tidak memaksanya menjadi
selirku, tentu Rara Mendut tidak akan nekad bunuh
diri,” sesal Tumenggung Wiraguna.
Penyesalan itu tak ada gunanya karena semuanya
sudah terjadi. Untuk menebus kesalahannya,
Tumenggung Wiraguna menguburkan Rara Mendut satu
liang dengan Pranacitra. Begitulah kisah perjuangan
Rara Mendut dalam mempertahankan harga diri dan
kesetiaannya.
* * *
Demikian cerita Kisah Rara Mendut dari Kabupaten
Pati, Jawa Tengah. Hingga kini, kisah ini masih dikenang
dan menjadi simbol cinta yang abadi dalam masyarakat
Jawa. Oleh YB. Mangunwijaya, cerita ini telah ditulis
dalam trilogi karya sastra klasik berjudul Rara Mendut,
Genduk Duku, dan Lusi Lindri yang dimuat di harian
Kompas secara bersambung. Sekitar tahun 1983, novel
ini kemudian diadaptasi menjadi sebuah film yang
berjudul “Roro Mendut” yang disutradarai oleh Ami
Prijono. Tahun 2008, novel trilogi ini kembali
diterbitkan ke dalam gabungan sebuah novel yang
berjudul Rara Mendut: Sebuah Trilogi.

SANGKURIANG

Sangkuriang merupakan sebuah legenda yang sangat
terkenal di kalangan masyarakat Sunda di Jawa Barat,
Indonesia. Legenda ini mengisahkan perjuangan
seorang pemuda bernama Sangkuriang untuk
mendapatkan cinta dari seorang wanita cantik, yang
tak lain adalah ibu kandungnya sendiri yang bernama
Dayang Sumbi. Alhasil, keduanya pun bersepakat untuk
menikah. Namun, setelah mengetahui bahwa
Sangkuriang adalah putranya sendiri, Dayang Sumbi
berusaha untuk menggagalkan pernikahan mereka
dengan berbagai upaya. Upaya apa saja yang dilakukan
Dayang Sumbi untuk menggagalkan pernikahannya
dengan Sangkuriang? Lalu, mengapa Dayang Sumbi
bersikeras untuk menggagalkan pernikahan tersebut?
Ikuti kisahnya dalam cerita Sangkuriang berikut ini!
* * *
Alkisah, di daerah Jawa Barat, ada sebuah kerajaan
yang dipimpin oleh Prabu Sungging Perbangkara. Ia
sangat gemar berburu binatang di hutan. Suatu hari,
seusai berburu, Prabu Sungging membuang air kecil
(pipis) pada daun caring (keladi hutan). Saat ia
meninggalkan tempatnya buang air kecil, tiba-tiba
seekor babi yang bernama Wayungyang datang
meminum air seninya yang tergenang di daun keladi
itu. Rupanya air seni Prabu Sungging mengandung
sperma sehingga menyebabkan Wayungyang hamil.
Beberapa bulan kemudian, Wayungyang pun
melahirkan seorang bayi perempuan yang cantik jelita.
Setelah membersihkan tubuh bayi itu dengan
menjilatnya, Wayungyang meletakkannya di atas batu
besar di balik semak-semak, dengan harapan ayahnya
(Prabu Sungging) akan menemukannya.
Ternyata harapan Wayungyang tercapai. Tak berapa
lama setelah ia meninggalkan bayi itu, Prabu Sungging
lewat di tempat itu dan mendengar ada suara tangisan
bayi dari arah semak-semak. Dengan hati-hati, Prabu
Sungging berjalan perlahan-lahan mendekati sumber
suara itu dan mendapati seorang bayi perempuan
mungil dan berparas cantik tergeletak di atas sebuah
batu besar. Tanpa berpikir panjang, ia pun membawa
pulang bayi itu ke istana. Sang Prabu memberinya
nama Dayang Sumbi. Ia merawat dan membesarkan
Dayang Sumbi dengan penuh kasih sayang.
Waktu terus berjalan. Dayang Sumbi tumbuh menjadi
gadis yang cantik jelita. Selain cantik, ia juga sangat
mahir menenun dan pandai memasak. Tak heran jika
para raja dan pangeran silih berganti datang
melamarnya. Namun, tak satu pun lamaran yang
diterimanya. Ia tidak ingin terjadi pertumpahan darah
di antara para raja dan pangeran tersebut dengan
hanya menerima salah satu pinangan dari mereka.
Akhirnya, dengan restu sang Prabu, Dayang Sumbi
mengasingkan diri ke sebuah hutan lebat yang terletak
jauh dari istana. Sang Prabu membuatkannya sebuah
pondok di pinggir hutan dan menyiapkan alat-alat
tenun kesukaannnya. Di pondok itulah, Dayang Sumbi
menghabiskan waktunya sambil menenun kain.
Pada suatu malam, ketika Dayang Sumbi sedang
menenun kain, tiba-tiba segulungan benangnya
terjatuh dan berguling ke luar pondoknya. Karena
malam sudah larut, ia merasa takut untuk mengambil
gulungan kain itu. Tanpa disadarinya tiba-tiba terlontar
ucapan dari mulutnya.
“Siapapun yang mau mengambilkan benang itu
untukku, jika dia perempuan akan kujadikan saudara,
dan jika dia laki-laki akan kujadikan suamiku,” ucapnya.
Tanpa diduga sebelumnya, tiba-tiba seekor anjing
jantan berwarna hitam datang menghampirinya sambil
membawa gulungan benang miliknya. Namun, apa
hendak dikata, ia sudah terlanjur berucap. Ia harus
menepati janjinya.
“Baiklah, Anjing. Aku akan mempertanggung jawabkan
ucapanku. Meskipun kamu seekor anjing, aku tetap
bersedia menjadi istrimu,” kata Dayang Sumbi.
Mendengar perkataan Dayang Sumbi, anjing hitam itu
tiba-tiba menjelma menjadi seorang pemuda yang
sangat tampan. Dayang Sumbi sangat terkejut dan
heran menyaksikan kejadian itu.
“Hei, kamu siapa dan dari mana asal-asulmu?” tanya
Dayang Sumbi penasaran.
“Maaf, Tuan Putri! Saya adalah titisan Dewa,” jawab
pemuda itu.
Akhirnya, Dayang Sumbi dan pemuda tampan itu saling
jatuh dan menikah. Keduanya bersepakat untuk
merahasiakan hubungan mereka kepada siapa pun,
termasuk kepada Prabu Sungging Perbangkara. Sejak
saat itu, ke mana pun Dayang Sumbi pergi, ia selalu
ditemani oleh suaminya. Dayang Sumbi memanggilnya
dengan si Tumang.
Setelah setahun menikah, mereka pun dikaruniai
seorang anak laki-laki yang tampan. Mereka
memberinya nama Sangkuriang. Beberapa tahun
kemudian, Sangkuriang tumbuh menjadi anak yang
rajin dan pandai. Setiap hari, ia ditemani si Tumang
pergi ke hutan untuk berburu rusa dan mencari ikan di
sungai. Namun, ia tidak menyadari bahwa anjing yang
selalu menenaminya itu adalah ayah kandungnya
sendiri.
Pada suatu hari, Sangkuriang pergi berburu rusa ke
tengah hutan. Hari itu, ia sangat berharap bisa
mendapatkan hati seekor rusa untuk dipersembahkan
kepada ibunya. Sudah hampir seharian ia berburu,
namun tak seekor binatang buruan pun yang
menampakkan diri. Sangkuriang pun mulai kesal dan
memutuskan untuk berhenti berburu. Ketika akan
pulang ke pondoknya, tiba-tiba seekor rusa berlari
melintas di depannya. Ia pun segera memerintahkan si
Tumang untuk mengejarnya.
“Tumang! Ayo kejar rusa itu!” seru Sangkuriang.
Beberapa kali Sangkuriang berteriak menyuruhnya,
namun si Tumang tetap tidak beranjak dari tempatnya.
Ia pun semakin kesal melihat kelakuan si Tumang.
“Hei, Tumang! Apa yang terjadi denganmu? Kenapa
kamu tidak mau menuruti perintahku?” bentak
Sangkuriang sambil mengancam si Tumang dengan
panahnya.
Tanpa disadarinya, tiba-tiba anak panahnya terlepas
dari busurnya dan tepat mengenai kepala si Tumang.
Anjing itu pun tewas seketika. Sangkuriang kemudian
mengambil hati si Tumang untuk dipersembahkan
kepada ibunya. Sesampainya di pondok, ia
menyerahkan hati itu kepada ibunya untuk dimasak.
Setelah menyantap hati itu, tiba-tiba Dayang Sumbi
teringat pada si Tumang. Ia pun menanyakan
keberadaan si Tumang.
“Mana si Tumang? Bukankah tadi dia pergi
bersamamu?” tanya Dayang Sumbi dengan cemas.
“Maaf, Bu! Saya telah membunuhnya. Hati yang ibu
makan itu adalah hati si Tumang,” jawab Sangkuriang
dengan tenang, tanpa merasa bersalah sedikit pun.
Seketika itu pula Dayang Sumbi menjadi murka. Ia
sangat marah karena Sangkuriang telah membunuh
ayah kandungnya sendiri.
“Apa katamu? Kamu telah membunuhnya? Dasar anak
tidak tahu diri!” seru Dayang Sumbi seraya memukul
kepala Sangkuriang dengan sendok nasi hingga
berdarah dan meninggalkan bekas.
Sambil menangis tersedu-sedu, Sangkuriang berusaha
untuk membela diri. Ia merasa bahwa dirinya tidak
bersalah. Ia melakukan semua itu tidak lain hanya
untuk menyenangkan hati ibunya. Akan tetapi, Dayang
Sumbi menganggap dia telah melakukan kesalahan
besar, karena membunuh ayah kandungnya sendiri.
Namun, Dayang Sumbi tidak mau menceritakan hal itu
kepada Sangkuriang, karena takut rahasianya
terbongkar. Merasa ibunya tidak lagi sayang
kepadanya, Sangkuriang pun pergi mengembara
dengan menyusuri hutan belantara.
Sejak itu, Dayang Sumbi selalu duduk termenung. Ia
merasa sangat menyesal telah memukul dan
membiarkan putranya pergi meninggalkannya. Setiap
malam ia berdoa kepada Tuhan Yang Mahakuasa agar
ia dapat bertemu kembali dengan putranya. Berkat
ketekunannya, Tuhan pun mengambulkan doanya.
Tuhan memberinya kecantikan yang abadi agar
wajahnya tidak berubah termakan oleh usia, sehingga
putranya masih dapat mengenalinya.
Sementara itu di di tengah hutan belantara,
Sangkuriang berjalan sempoyongan sambil memegang
kepalanya yang terluka. Karena tidak kuat lagi menahan
rasa sakit, akhirnya ia jatuh pingsan. Cukup lama ia
tidak sadarkan diri. Betapa terkejutnya ketika ia
tersadar. Ia melihat seorang tua laki-laki yang tidak
pernah ia lihat sebelumnya sedang duduk di
sampingnya.
“Kakek siapa? Aku ada di mana?” tanya Sangkuriang
heran.
“Tenanglah, Anak Muda! Kakek adalah seorang pertapa.
Nama Kakek Ki Ageng. Kakek menemukanmu sedang
pingsan dan terluka parah di tengah hutan. Kamu
sekarang berada di dalam gua tempat Kakek bertapa,”
jawab orang tua itu.
Kemudian Ki Ageng menanyakan tentang asal-usul
Sangkuriang. Namun, Sangkuriang tidak bisa lagi
mengingat masa lalunya. Bahkan namanya sendiri pun
ia lupa. Akhirnya, Ki Ageng memanggilnya Jaka. Ki
Ageng merawat Jaka sampai lukanya sembuh dan
mengajarinya ilmu bela diri dan kesaktian. Setelah
beberapa tahun berguru kepada Ki Ageng, Sangkuriang
pun tumbuh menjadi pemuda yang tampan dan sakti
mandraguna. Dengan kesaktiannya, ia dapat memanggil
serta memerintahkan makhluk-makhluk halus.
Pada suatu hari, Jaka meminta izin kepada gurunya
untuk pergi mencari tahu masa lalunya. Setelah
mendapat restu dari Ki Ageng, berangkatlah ia
menyurusi hutan. Ia berjalan mengikuti ke mana pun
kakinya melangkah hingga akhirnya menemukan
sebuah gubuk di tepi hutan. Karena merasa sangat
haus, ia pun mampir di pondok itu untuk meminta air
minum. Rupanya, penghuni pondok itu adalah seorang
wanita cantik jelita yang tidak lain adalah Dayang
Sumbi. Saat pertama kali melihat wajah wanita itu, Jaka
tiba-tiba teringat kepada ibunya. Namun, ia tidak yakin
kalau wanita itu adalah ibunya, karena sudah sekian
lama mereka berpisah dan tentu wajahnya tidak akan
secantik itu. Begitupula Dayang Sumbi, ia tidak pernah
mengira kalau Jaka itu adalah putranya. Akhirnya,
keduanya pun saling jatuh cinta dan bersepakat untuk
menikah.
Keesokan harinya, saat akan berangkat berburu ke
hutan, Jaka meminta calon istrinya untuk
mengencangkan dan merapikan ikat kepalanya. Betapa
terkejutnya Dayang Sumbi ketika sedang merapikan ikat
kepala Jaka. Ia melihat ada bekas luka di kepala Jaka.
Bekas luka itu mirip dengan bekas luka yang ada di
kepala putranya yang terkena pukulannya dua puluh
tahun yang lalu. Dayang Sumbi pun menanyakan
tentang penyebab bekas luka itu kepada Jaka.
“Kenapa ada bekas luka di kepalamu, Jaka?” tanya
Dayang Sumbi.
Jaka tidak bisa mengingat penyebab bekas luka yang
ada di kepalanya. Ia hanya menceritakan kepada
Dayang Sumbi bahwa ada seorang pertapa menemukan
dirinya sedang pingsan dan terluka parah di tengah
hutan. Mendengar cerita itu, maka yakinlah Dayang
Sumbi bahwa calon suaminya itu adalah putranya
sendiri, Sangkuriang.
Dayang Sumbi pun bingung. Ia tidak mungkin menikah
dengan putranya sendiri. Ia berusaha untuk
meyakinkan Sangkuriang bahwa dia adalah putranya.
Untuk itu, ia meminta kepada putranya agar
membatalkan pernikahan mereka. Namun, Sangkuriang
tidak percaya pada kata-kata ibunya. Hatinya sudah
terbelenggu oleh rasa cinta dan bersikeras ingin
menikahi Dayang Sumbi.
Melihat sikap putranya itu, Dayang Sumbi semakin
bingung dan ketakutan. Setiap hari ia berpikir untuk
mencari cara agar pernikahan mereka dibatalkan.
Setelah berpikir keras, akhirnya ia pun menemukan
sebuah cara. Ia akan mengajukan dua syarat kepada
Sangkuriang. Jika kedua syarat tersebut dapat dipenuhi
oleh Sangkuriang, maka ia akan menikah dengannya.
Sebaliknya, jika Sangkuriang gagal, maka pernikahan
mereka pun dibatalkan. Suatu malam, Dayang Sumbi
menyampaikan kedua syarat itu kepada Sangkuriang.
“Jika kamu bersikeras ingin menikahiku, kamu harus
memenuhi dua syarat,” kata Dayang Sumbi.
“Apakah syaratmu itu, Dayang Sumbi? Katakanlah!”
desak Sangkuriang.
“Kamu harus membuatkan aku sebuah danau dan
sebuah perahu. Tapi, danau dan perahu itu harus
selesai sebelum fajar menyingsing di ufuk timur,” jawab
Dayang Sumbi.
“Baiklah, Dayang Sumbi! Saya menyanggupi semua
syaratmu,” jawab Sangkuriang dengan penuh
keyakinan.
Dengan kekuatan cinta dan kesaktiannya, Sangkuriang
pun segera memanggil dan mengerahkan seluruh
pasukannya yang berupa makhluk-makhluk halus
untuk membantu menyelesaikan tugasnya. Setelah
pasukannya siap, mereka pun menggali tanah dan
menyusun batu-batu besar untuk membendung aliran
air Sungai Citarum sehingga membentuk sebuah danau.
Kemudian mereka menebang kayu-kayu besar untuk
dibuat perahu. Saat tengah malam, Dayang Sumbi
secara diam-diam mengintai pekerjaan Sangkuriang
dan pasukannya. Betapa terkejutnya ia ketika melihat
mereka hampir menyelesaikan semua permintaannya.
Dayang Sumbi pun gusar. Ia segera berlari ke desa
terdekat untuk meminta bantuan kepada masyarakat
agar menggelar kain sutra berwarna merah di arah
sebelah timur tempat Sangkuriang dan pasukannya
bekerja. Tak berapa lama setelah kain sutra hasil
tenunan Dayang Sumbi digelar, tampaklah cahaya
berwarna kemerahan di arah timur sehingga seolah-
olah hari sudah pagi. Ayam jantan pun mulai berkokok
saling bersahut-sahutan. Para makhlus halus yang
melihat cahaya merah dan mendengar suara ayam
berkokok mengira hari sudah pagi. Mereka pun segera
melarikan diri dan meninggalkan perahu yang hampir
selesai.
Saat mengetahui dirinya diperdaya oleh Dayang Sumbi,
Sangkuriang menjadi murka. Dengan kesaktiannya, ia
menjembol bendungan yang sudah dibuat bersama
pasukannya, sehingga terjadilah banjir besar.
Kemudian ia menendang perahu yang hampir selesai
hingga terbang melayang dan jatuh menelungkup.
Konon, perahu itu kemudian menjelma menjadi sebuah
gunung yang kini dikenal dengan nama Gunung
Tangkuban Perahu. Tangkuban perahu dalam bahasa
Sunda berarti perahu yang terbalik.
Setelah peristiwa itu, Dayang Sumbi melarikan diri ke
arah Gunung Putri. Setibanya di Gunung Putri, ia tiba-
tiba menghilang dan berubah menjadi setangkai bunga
jaksi. Sementara Sangkuriang yang mengejarnya
kehilangan jejak dan akhirnya sampai di sebuah tempat
yang disebut dengan Ujung Berung dan menghilang ke
alam gaib.
* * *
Demikian legenda Sangkuriang dari daerah Jawa Barat,
Indonesia. Secara garis besar, ada dua nilai-nilai yang
terkandung dalam cerita di atas, yaitu nilai moral dan
nilai sosial. Nilai moral tersebut terlihat pada sikap
Dayang Sumbi yang teguh (konsisten) dalam menepati
janji yang telah diucapkannya, yaitu bersedia menikah
dengan siapa pun yang mengambilkan gulungan
benangnya, yang ternyata adalah seekor anjing. Dari
sini dapat dipetik sebuah pelajaran bahwa betapa pun
pahit akibat yang akan ditanggungnya, seseorang harus
teguh menepati janjinya.

LUTUNG KASARUNG

Cerita Lutung Kasarung
Lutung Kasarung adalah sebuah cerita pantun yang
sangat terkenal di kalangan masyarakat Sunda, Jawa
Barat, Indonesia. Cerita ini mengisahkan perjalanan
Sanghyang Guruminda dari Kahyangan ke bumi dalam
wujud seekor lutung, yaitu kera hitam berekor panjang.
Ketika sampai di bumi, ia tersesat di tengah hutan.
Itulah sebabnya ia dipanggil Lutung Kasarung, yaitu
lutung yang tersesat. Di hutan itu, ia bertemu dengan
seorang putri bernama Purbasari. Meskipun berwujud
seekor lutung, Lutung Kasarung berhasil menikahi Putri
Purbasari. Bagaimana usaha Lutung Kasarung untuk
menikahi Putri Purbasari? Ikuti kisahnya dalam cerita
Lutung Kasarung berikut ini!
* * *
Alkisah, di  daerah Jawa Barat, tersebutlah seorang raja
yang arif dan bijaksana bernama Prabu Tapa Agung
yang bertahta di Kerajaan Pasir Batang. Sang Prabu
mempunyai tujuh orang putri yang semuanya cantik
jelita. Mereka adalah Purbararang (sulung),
Purbadewata, Purbaendah, Purbakancana,
Purbamanik, dan si bungsu, Purbasari. Dari ketujuh
putri sang Prabu, lima di antaranya telah menikah dan
menjadi permaisuri di kerajaan lain. Kini, tinggal
Purbararang dan Purbasari yang belum menikah.
Namun, Putri Purbararang sudah mempunyai
tunangan yang gagah dan tampan bernama Raden
Indrajaya, putra salah seorang menteri kerajaan.
Dalam beberapa hari terakhir, Prabu Tapa Agung
terlihat sering duduk termenung seorang diri di atas
singgasananya. Sepertinya ada suatu masalah besar
yang membebani pikirannya. Melihat sikap sang Prabu
tersebut, sang permaisuri berusaha menghibur dan
membujuknya.
“Kanda! Sudah beberapa hari ini Kanda terlihat
murung. Apa yang sedang Kanda pikirkan? Barangkali
Dinda dapat membantu,” bujuk permasuri dengan
suara lembut.
“Begini, Dinda! Kanda sudah semakin tua. Kanda tidak
dapat lagi melaksanakan tugas-tugas kerajaan dengan
baik. Kanda berniat turun tahta. Tapi, Kanda bingung,
Dinda!” kata Prabu Tapa Agung.
“Bingung kenapa, Kanda?” desak permaisurinya.
Prabu Tapa Agung pun bercerita kepada permasurinya
bahwa dia bingung untuk memilih di antara dua
putrinya, apakah Purbararang atau Purbasari, yang
akan menggantikan kedudukannya. Menurut hukum
adat yang berlaku di kerajaan tersebut, yang pantas
untuk menggantikannya adalah Putri Purbararang,
sebab dia putri tertua. Namun, sang Prabu merasa
bahwa putri sulungnya itu belum pantas menjadi
seorang ratu, karena sifatnya yang sombong, angkuh,
dan licik. Putri Purbararang juga sering memutuskan
sesuatu tanpa memikirkan akibatnya terlebih dahulu,
sehingga sering menimbulkan kekacauan. Sang Prabu
lebih senang jika putri bungsunya, Purbasari, yang
menggantikan kedudukannya, karena dia seorang putri
yang baik hati, arif, dan bijaksana. Dengan
pertimbangan tersebut, maka sang Prabu dan
permaisurinya memutuskan untuk memilih Purbasari
menjadi Ratu.
Mendengar kabar tersebut, Putri Purbararang pun
menolaknya. Ia sangat menyesal atas keputusan
ayahandanya, karena merasa dialah yang lebih berhak
untuk menjadi ratu. Kabar buruk itu kemudian ia
sampaikan kepada tunangannya, Raden Indrajaya.
“Kanda! Ayahandaku telah pilih kasih. Ia lebih memilih
Purbasari untuk menjadi ratu, padahal Dinda adalah
putri tertua,” lapor Putri Purbararang .
Mendengar kabar tersebut, tunangan Putri
Purbararang langsung naik pitam.
“Wah, ini tidak boleh dibiarkan, Dinda? Dindalah yang
semestinya menjadi ratu!” seru Raden Indrajaya.
“Apa yang harus kita lakukan, Kanda?” tanya Putri
Purbararang.
“Kita harus menyingkirkan adikmu yang tidak tahu diri
itu!” seru Indrajaya.
Setelah bermusyawarah, akhirnya Putri Purbararang
dan tunangannya memutuskan untuk mendatangi
seorang dukun sakti yang bernama Ni Ronde. Mereka
akan meminta bantuan dukun itu agar menyihir Putri
Purbasari. Ni Ronde pun mengabulkan permintaan
mereka.
Beberapa hari kemudian, istana Pasir Batang menjadi
gempar. Tiba-tiba Putri Purbasari terserang penyakit
aneh. Seluruh tubuhnya terasa sangat gatal dan
dipenuhi bintik-bintik hitam. Betapa terkejutnya sang
Prabu melihat keadaan putri kesayangannya itu. Sudah
beberapa tabib istana dipanggil untuk mengobatinya,
namun tak seorang pun yang berhasil
menyembuhkannya. Sementara itu, Putri Purbararang
tidak mau menyia-nyiakan kesempatan itu. Ia pun
menghasut ayahandanya agar Putri Purbasari
diasingkan ke tempat yang jauh.
“Ayah! Barangkali inilah akibatnya jika kita tidak
menuruti adat hukum yang berlaku di kerajaan ini.
Para leluhur telah murka dan mengutuk Putri
Purbasari. Jangan-jangan sebentar lagi kerajaan ini juga
terkena kutukan!” hasut Putri Purbararang.
Prabu Tapa Agung pun termakan hasutan putrinya.
Akhirnya, dengan berat hati, ia memutuskan untuk
mengasingkan putri bungsunya ke hutan agar kerajaan
terbebas dari kutukan. Putri Purbasari pun menyadari
keadaannya dan menerima keputusan itu dengan
lapang dada.
Keesokan harinya, sang Prabu menyuruh patihnya yang
bernama Uwak Batara Lengser untuk mengantar Putri
Purbasari ke hutan. Setelah membuatkan sebuah
pondok untuk Putri Purbasari di hutan, patih yang
baik hati itu memberi nasehat kepada sang Putri untuk
menenangkan hatinya.
“Tabahkan hatimu, Tuan Putri! Cobaan ini pasti akan
berakhir. Semoga Tuhan Yang Mahakuasa senantiasa
melindungimu. Paman akan sering datang kemari
mengantar makanan dan minuman untukmu,” ujar
sang Patih.
“Terima kasih, Paman! Nasehat Paman membuat hati
Putri menjadi tenang,” ucap Putri Purbasari.
Sejak itu, Putri Purbasari tinggal seorang diri di tengah
hutan. Untuk menghibur dirinya, setiap pagi ia
berjalan-jalan di sekitar pondoknya untuk melihat-lihat
pemandangan dan bersenda gurau bersama hewan-
hewan yang ada di sekitarnya. Tak heran, jika dalam
waktu beberapa hari saja, ia sudah mempunyai banyak
teman. Hewan-hewan tersebut sangat baik kepadanya.
Mereka sering membantu sang Putri untuk mencari
buah-buahan di hutan.
Pada suatu hari, ketika sang Putri sedang bersenda
gurau bersama hewan-hewan di sekitar pondoknya,
tiba-tiba ada sepasang mata yang sedang
memerhatikannya tanpa disadarinya. Rupanya, dia
adalah seekor lutung (sejenis kera berbulu hitam).
Beberapa saat kemudian, lutung itu menghampirinya.
Alangkah terkejutnya sang Putri ketika melihat lutung
yang berwajah seram itu tiba-tiba berdiri di depannya.
“Ampun, Lutung! Tolong jangan ganggu aku!” teriak
Putri Purbasari dengan ketakutan.
“Jangan takut, Tuan Putri! Aku tidak akan
mengganggumu,” jawab Lutung itu.
Putri Purbasari pun tersentak kaget, karena lutung itu
dapat berbicara seperti manusia.
“Hai, kamu siapa dan dari mana asalmu?” tanya Putri
Purbasari.
“Aku Guruminda, putra Sunan Ambu dari Kahyangan.
Aku telah melakukan kesalahan, sehingga dibuang ke
bumi dengan bentuk seperti ini, dan kesasar di tengah
hutan ini,” jelas si Lutung.
Mendengar jawaban itu, hati sang Putri pun menjadi
tenang. Tanpa banyak tanya, ia tersenyum seraya
memperkenalkan diri dan menceritakan asal-usulnya.
Karena merasa senasib, yaitu sama-sama terbuang di
hutan itu, akhirnya mereka pun berteman. Sejak itu,
Purbasari memanggil si lutung dengan panggilan
Lutung Kasarung, yang artinya Lutung yang kesasar.
Kemana pun sang Putri pergi, Lutung Kasarung selalu
menyertainya. Bahkan, ia sering memetik buah-buahan
untuk sang Putri.
Pada saat malam bulan purnama, secara diam-diam
Lutung Kasarung pergi ke suatu tempat yang sangat
sepi untuk bersemedi. Dalam semedinya ia memohon
kepada Tuhan Yang Mahakuasa agar menyembuhkan
penyakit Putri Purbasari. Beberapa saat kemudian, doa
Lutung Kasarung pun dikabulkan. Tanah di sekitarnya
tiba-tiba menjelma menjadi sebuah telaga kecil. Airnya
sangat jernih, sejuk, harum, dan mengandung obat
kulit yang sangat mujarab. Begitu matahari pagi
memancarkan sinarnya di ufuk timur, ia segera
menemui Putri Purbasari dan memintanya untuk
mandi di telaga itu.
“Hai, Tung!” demikian Putri Purbasari memanggil
Lutung Kasarung.
“Untuk apa kamu membawaku kemari?” tanyanya.
“Bercebur dan mandilah di telaga ini, Tuan Putri!
Niscaya penyakit Tuan Putri akan sembuh, karena air
telaga ini mengandung obat kulit yang sangat mujarab,”
ujar Lutung Kasarung.
Tanpa ragu, Putri Purbasari langsung menceburkan diri
ke dalam telaga itu. Sungguh ajaib sekali. Tak lama
setelah berendam di telaga itu, seluruh bintik-bintik
hitam di kulitnya langsung hilang tanpa meninggalkan
bekas sedikit pun. Kulitnya kembali bersih, halus dan
menjadi cantik seperti semula. Ia sangat heran
bercampur gembira mengalami peristiwa ajaib itu.
“Terima kasih, Tung! Engkau telah menyembuhkan
penyakitku,” ucap Putri Purbasari dengan perasaan
gembira.
Sejak itu, Putri Purbasari semakin senang dan sayang
kepada si Lutung Kasarung. Ia pun semakin betah
tinggal bersamanya di hutan itu dan hewan-hewan
lainnya. Hatinya sudah menyatu dengan kehidupan
alam bebas, dan melupakan kehidupan istana yang
sering membelenggunya, apalagi dengan keberadaan
kakak sulungnya, Purbararang.
Pada suatu hari, Patih Uwak Batara Lengser datang ke
hutan itu untuk melihat keadaan Putri Purbasari.
Betapa terkejutnya ia ketika melihat penyakit kulit sang
Putri telah sembuh. Ia pun kemudian mengajak sang
Putri untuk kembali ke istana.
“Ampun, Tuan Putri! Sesuai dengan pesan sang Prabu,
Tuan Putri diminta untuk kembali ke istana,” kata Patih
itu menyampaikan pesan sang Prabu.
Mulanya, Putri Purbasari menolak untuk kembali ke
istana. Namun setelah didesak oleh sang Patih dan
dibujuk oleh si Lutung Kasarung, akhirnya ia pun
memenuhi ajakan tersebut.
“Baiklah, Paman! Aku bersedia kembali ke istana, tetapi
Lutung Kasarung juga harus ikut. Dialah yang telah
menyembuhkan penyakitku,” tegas Putri Purbasari.
“Baiklah, Tuan Putri! Paman kira sang Prabu akan
merasa senang jika Tuan Putri mengajak Lutung yang
baik hati itu ke istana,” kata Patih itu.
Akhirnya, Putri Purbasari bersama Patih Uwak Batara
Lengser dan Lutung Kasarung kembali ke istana.
Setibanya di istana, mereka disambut gembira oleh
seluruh keluarga istana, kecuali Putri Purbararang dan
Raden Indrajaya, karena merasa posisi mereka
terancam. Menyadari keadaan itu, ia pun membujuk
ayahandanya agar mengadakan sayembara.
“Ampun, Ayahanda! Nanda keberatan jika Putri
Purbasari yang dinobatkan menjadi Ratu. Biar adil,
sebaiknya diadakan sayembara. Pemenangnya akan
menerima tampuk kerajaan, sedangkan yang kalah akan
menerima hukum pancung,” bujuk Putri Purbararang.
Prabu Tapa Agung yang arif dan bijaksan itu pun
mengambulkan permintaan putri sulungnya. Dalam
sayembara tersebut, Putri Purbararang menantang
Putri Purbasari untuk mengikuti dua perlombaan, yaitu
lomba memasak dan lomba panjang rambut. Putri
Purbasari pun terpaksa menerima tantangan itu,
karena diminta oleh ayahandanya.
“Jangan khawatir, Tuan Putri! Aku akan menolongmu,”
bisik Lutung Kasarung.
“Terima kasih, Lutung!” jawab Putri Purbasari.
Pada hari yang telah ditentukan, seluruh rakyat Pasir
Batang telah berkumpul di halaman istana ingin
menyaksikan sayembara tersebut. Tak berapa lama
kemudian, kedua putri Prabu Tapa Agung tersebut
memasuki arena lomba. Perlombaan pertama adalah
lomba memasak. Yang dinilai dalam lomba ini adalah
masakan siapa yang paling cepat disajikan dan lezat
rasanya, maka dialah pemenangnya.
Ketika semua bahan-bahan dan perlengkapan memasak
telah disiapkan, wasit pun memukul gong sebagai
tanda perlombaan dimulai. Putri Purbararang pun
segera meracik bumbu-bumbu yang telah disediakan
dengan lincahnya. Ia dibantu oleh puluhan pelayan
istana, sedangkan Putri Purbasari hanya ditemani oleh
Lutung Kasarung. Dalam waktu tidak beberapa lama,
Putri Purbararang hampir menyelesaikan masakannya.
Putri Purbasari pun mulai panik. Melihat hal itu,
Lutung Kasarung segera mengeluarkan kesaktiannya. Ia
segera memanggil para bidadari di kayangan agar turun
ke bumi untuk membantu Purbasari tanpa diketahui
oleh seorang pun. Berkat bantuan para bidadari
tersebut, Putri Purbasari mampu menyelesaikan
masakannya terlebih dulu dan rasanya pun lebih lezat.
Ia pun dinyatakan sebagai pemenang dalam lomba
memasak tersebut.
Memasuki perlombaan kedua, yaitu lomba adu panjang
rambut, Putri Purbararang merasa tidak mau kalah lagi
oleh adiknya. Dengan penuh percaya diri, ia segera
melepas sanggulnya. Rambutnya yang hitam dan lebat
pun terurai hingga ke pertengahan betisnya.
“Ayo, Purbasari! Lepaslah sanggulmu! Kali ini kamu
tidak akan mampu mengalahkanku,” seru Putri
Purbararang dengan angkuhnya.
Mendengar seruan itu, Putri Purbasari hanya terdiam
sambil menunduk. Dia merasa kurang percaya diri,
karena rambutnya hanya sebatas punggungnya.
“Kenapa diam saja, wahai Tuan Putri?” tanya Lutung
Kasarung yang berdiri di dekatnya dengan nada pelan.
“Tung! Kali ini aku pasti kalah, rambutku lebih pendek.
Hanya sampai di punggungku,” bisik Purbasari.
“Tenang, Tuan Putri! Aku akan memanggil bidadari
untuk menyambung rambutmu,” kata Lutung Kasarung.
Sesaat setelah Lutung Kasarung bersemedi, datanglah
para bidadari menyambung rambut Purbasari tanpa
sepengetahuan Purbararang dan para penonton. Ketika
Purbasari melepas sanggulnya, maka terurailah
rambutnya yang hitam berkilau, halus bagaikan sutra,
serta bergelombang hingga ke tumitnya. Melihat hal itu,
Purbararang pun menjadi malu dan merasa terpukul,
karena kembali dikalahkan oleh adiknya. Namun, ia
tidak kehabisan akal. Ia kembali membujuk
ayahandanya agar diadakan satu perlombaan lagi, yaitu
lomba ketampanan calon suami atau tunangan masing-
masing.
“Jika Purbasari masih mampu mengalahkanku dalam
perlombaan ini, maka aku akan menerima kekalahan
ini dan bersedia untuk dipancung,” kata Purbararang di
hadapan para hadirin.
Mulanya, Prabu Tapa Agung ragu untuk memenuhi
keinginan Purbararang, karena Purbasari belum
mempunyai tunangan. Jika pun pada saat itu ia
ditunangkan dengan siapa pun di negeri itu, tetap tidak
seorang pun yang melebihi ketampanan Indrajaya.
Meski demikian, Purbasari tetap bersedia mengikuti
lomba tersebut dan sang Prabu pun menyetujuinya.
Perlombaan pun dimulai. Dengan bangga, Putri
Purbararang kembali masuk ke arena perlombaan
sambil menggandeng tangan tunangannya.
“Wahai seluruh rakyat Pasir Batang! Saksikanlah
ketampanan dan kegagahan tunanganku, Indrajaya!
Akulah yang akan menjadi Ratu negeri ini, karena tak
seorang pun yang mampu mengalahkan ketampanan
tunanganku ini!” seru Putri Purbararang dengan
angkuhnya.
Seluruh hadirin pun mengakui bahwa Indrajaya adalah
seorang pemuda yang tampan. Tak seorang pemuda
pun di Negeri Pasir Batang yang melebihi
ketampanannnya. Mereka sudah memastikan bahwa
Putri Purbasari akan kalah dalam perlombaan tersebut.
Anehnya lagi, ketika diminta untuk menunjukkan calon
suaminya, Putri Purbasari justru menarik tangan
Lutung Kasarung masuk ke arena perlombaan.
“Inilah calon suamiku!” seru Putri Purbasari dengan
bangga.
“Ya, ini calon suamiku!” serunya sekali lagi.
Purbararang dan suaminya pun tertawa terbahak-
bahak melihat tingkah adiknya.
“Hai, Purbasari! Apakah tidak ada lagi calon suami yang
lebih jelek dari Lutung itu?” seru Purbararang dengan
nada mengejek.
Mendengar ejekan itu, Lutung Kasarung pun menjadi
tersinggung dan marah. Ia tidak terima Putri Purbasari
dipandang rendah seperti itu. Maka dengan
kesaktiannya, ia segera memohon kepada Tuhan Yang
Mahakuasa, agar bentuknya dikembalikan seperti
semula. Seketika itu pula, Lutung Kasarung pun
berubah menjadi Guruminda yang sangat tampan dan
gagah. Semua yang hadir terperangah dan terpesona
melihat ketampanannya.
Akhirnya, Putri Purbasari memenangi sayembara
tersebut dan berhak menduduki tahta kerajaan.
Sementara Putri Purbararang dan tunangannya harus
menerima hukuman pancung atas kekalahan mereka.
Namun, Putri Purbasari adalah seorang putri yang
pemaaf, ia tidak menghukum kakak kandungnya
sendiri. Bahkan, ia tetap mengijinkan kakaknya untuk
tetap tinggal di istana bersamanya. Akhirnya, Putri
Purbasari pun dinobatkan menjadi Ratu Kerajaan Pasir
Batang. Ia adalah seorang Ratu yang arif dan bijaksana,
sehingga seluruh rakyatnya senantiasa hidup makmur,
damai, dan sentosa.
* * *
Demikian cerita Lutung Kasarung dari Jawa Barat,
Indonesia. Cerita di atas merupakan cerita pantun
yang mengandung nilai-nilai moral. Setidaknya ada dua
nilai moral yang dapat dipetik dari cerita di atas, yaitu
akibat buruk dari sifat suka memandang rendah orang
lain, dan keutamaan sifat pemaaf dan tidak
pendendam. Pertama, sifat suka merendahkan orang
lain ini ditunjukkan oleh sikap dan perilaku Putri
Purbararang. Hal ini terlihat ketika ia menantang Putri
Purbasari untuk mengadakan sayembara perebutan
tahta kerajaan, karena ia yakin bahwa adik bungsunya
itu tidak mampu berbuat apa-apa. Namun, tanpa
diduganya, ternyata Purbasari mampu mengalahkannya
berkat bantuan Lutung Kasarung. Akibatnya, ia pun
mendapat ancaman hukum pancung. Dari sini dapat
dipetik sebuah pelajaran bahwa hendaknya kita tidak
memandang rendah orang lain, karena terkadang ada
sesuatu yang tidak kita ketahui tentang orang tersebut.
Dikatakan dalam tunjuk ajar Melayu:

Remons domino

Salam sloters Tambakselo 🙏🙏🙏🙏🙏, Remons RP full 2.22 --->>> DOWNLOAD Remons 2.22 buluk -----> DOWNLOAD Remons RP versi 2.21 ...