Jumat, 10 Oktober 2014

ARYA PENANGSANG

Arya Penangsang adalah seorang adiati di Jipang
Panolan yang sakti dan memiliki sifat pendendam.
Dengan sifatnya itu, ia memerintahkan anak buahnya
untuk menghabisi nyawa Raja Kerajaan Demak, Sunan
Prawata. Tidak puas dengan itu, Arya Penangsang pun
berniat untuk membinasakan Sultan Hadiwijaya yang
berkedudukan di Pajang. Mengapa Arya Penangsang
mendendam kepada Sunan Prawata? Lalu, berhasilkah
ia membinasakan Sultan Hadiwijaya? Jawabannya dapat
Anda temukan dalam cerita Arya Penangsang berikut
ini.
* * *
Pada masa pemerintahaan Kesultanan Demak,
tersebutlah seorang adipati yang bernama Arya
Penangsang. Ia berkedudukan di Kadipaten Jipang
Panolan, Jawa Tengah. Arya Penangsang adalah putra
Raden Kikin atau yang biasa dikenal dengan sebutan
Pangeran Sekar Seda ing Lepen (bunga yang tewas di
tepi sungai Bengawan Solo).
Menurut cerita, Raden Kikin tewas di tangan Raden
Mukmin atau Sunan Prawata dalam sebuah
peperangan karena memperebutkan tahta Kerajaan
Demak untuk menggantikan Sultan Trenggana yang
telah wafat (1546 M). Setelah itu, Sunan Prawata pun
dinobatkan sebagai Sultan Demak.
Adipati Arya Penangsang yang mendapatkan dukungan
gurunya, Sunan Kudus, berniat untuk merebut tahta
Kesultanan Demak dari tangan Sunan Prawata.
Keinginan tersebut muncul bukan saja karena ia ingin
menguasai Kerajaan Demak, tetapi juga untuk
membalas dendam atas kematian ayahnya.
Pada suatu malam di tahun 1549 M, Arya Penangsang
memerintahkan pasukan khusus Jipang Panolan yang
dikenal dengan nama Pasukan Sureng[1] untuk
membinasakan Sunan Prawata. Pasukan itu dipimpin
oleh Rangkud. Setibanya di kediaman Sunan Prawata,
Rangkut berhasil menyelinap masuk ke dalam kamar
tidur Sunan Prawata sementara para anak buahnya
berjaga-jaga di luar.
Ketika itu, Sunan Prawata sedang menderita sakit
sehingga tidak dapat berbuat banyak selain pasrah. Ia
pun mengakui kesalahannya dan rela untuk diakhiri
hidupnya oleh orang yang tidak dikenalnya itu.
“Hai, Kisanak, habisilah nyawaku! Aku akan
bertanggung jawab atas kematian Raden Kikin. Tapi,
tolong kamu jangan melukai istriku!” iba Sunan
Prawata.
Rangkud mengabulkan permintaan itu. Namun, ketika
ia menghujamkan kerisnya ke tubuh Sunan Prawata,
ternyata keris itu tembus hingga mengenai tubuh istri
Sunan Prawata yang berlindung di balik punggung
suaminya. Tak ayal lagi, istri Sunan Prawata pun tewas.
Melihat istrinya meninggal, Sunan Prawata menjadi
marah. Dalam keadaan terluka parah, ia segera
mencabut keris yang menancap di tubuhnya lalu
dilemparkannya ke arah Rangkud. Sunan Prawata pun
berhasil membinasakan Rangkud sebelum dirinya
menghembuskan nafas terakhir.
Sementara itu, Arya Penangsang yang telah menguasai
Demak semakin bengis. Ia pun berniat membinasakan
menantu Sultan Trenggana yang bernama Sultan
Hadiwijaya atau Jaka Tingkir di Pajang. Untuk itu, ia
mengutus empat orang anak buahnya ke Pajang.
Setibanya di sana, keempat utusan tersebut justru
tertangkap oleh Sultan Hadiwijaya. Namun, mereka
tidak dihukum melainkan diberi hadiah dan disuruh
kembali ke Jipang.
Kepulangan keempat utusan yang membawa hadiah
tersebut tentu saja membuat Arya Penangsang
tersinggung dan sangat marah. Ia pun memutuskan
untuk menghabisi nyawa Hadiwijaya dengan tangannya
sendiri.
Sultan Hadiwijaya yang mengetahui kabar tersebut
menganggap Arya Penangsang telah memberontak
terhadap Pajang. Namun, ia tidak ingin memerangi
Arya Penangsang secara langsung karena mereka sama-
sama anggota keluarga Demak dan saudara
seperguruan, yaitu sama-sama murid Sunan Kudus.
Untuk menghadapi pemberontak itu, Sultan Hadiwijaya
mengadakan sayembara. Barang siapa mampu
membinasakan Arya Penangsang, maka ia akan diberi
hadiah tanah di daerah Pati dan hutan Mataram.
Atas desakan Ki Juru Martani, Ki Ageng Pamanahan
dan adik angkatnya, Ki Penjawi, yang merupakan abdi
dalem Sultan Hadiwijaya, pun ikut dalam sayembara
tersebut. Ki Ageng Pamanahan dan Ki Juru Martani
segera menyusun rencana dan taktik peperangan
melawan Arya Penangsang. Ki Juru Martani
menyarankan kepada Ki Ageng Pamanahan untuk
mengusahakan agar mereka dapat membawa tombak
pusaka Kyai Plered milik Sultan Hadiwijaya ke medan
perang karena hanya tombak itulah yang mampu
melukai Arya Penangsang.
Atas saran Ki Juru Martani, Ki Ageng Pamanahan
memohon kepada Sultan Hadiwijaya untuk membawa
serta anak angkat sang Sultan yang bernama Danang
Sutawijaya ke medan perang. Dengan begitu, Sultan
Hadiwijaya akan meminjamkan keris pusakanya kepada
putra angkatnya itu. Sultan Hadiwijaya pun
menyetujuinya.
Pada hari yang telah ditentukan, Ki Ageng Pamanahan
bersama rombongannya berangkat menuju daerah
Jipang. Penyerangan itu dipimpin oleh Ki Juru Martani.
Setibanya di tepi sungai Bengawan Solo yang
merupakan tapal batas wilayah Sela dan Jipang, Ki Juru
Martani segera mengatur siasat. Danang Sutawijaya
tampak berdiri di samping seekor kuda putih yang akan
ditungganginya untuk menghadapi Arya Penangsang. Di
tangannya tergenggam tombak pusaka Kyai Plered yang
ujungnya ditutupi kain putih dan diberi rangkaian
bunga melati.
Tak jauh dari tempat pasukan Pajang bersembunyi,
tampak seorang pekatik (pemelihara kuda) yang sedang
mencari rumput untuk kuda milik Arya Penangsang. Ki
Juru Martani pun segera menangkap pekatik itu lalu
melukai telinganya dan mengalunginya surat
tantangan. Setelah itu, si pekatik disuruh segera
kembali ke Jipang untuk menghadap Arya Penangsang.
Setibanya di Jipang, pekatik itu segera menyerahkan
surat itu kepada Patih Matahun untuk dibaca di
hadapan Arya Penangsang. Isi surat itu berbunyi
seperti berikut:
“Hei, Penangsang! Yen sira nyata lanang sejati, payo
tandhing lawan ingsun. Dak anti sapinggiring
bengawan tapel wates. Yen ora wani nekani, nyata sira
wandu kang memba rupa! Budhala tanpa rowang!
Ingsun wong Sela wus tan bisa suwe nahan sedyaning
tyas kapeing nigas janggamu!”
Artinya: “Hai, Penangsang! Jika kamu nyata lelaki sejati,
mari bertanding denganku! Aku tunggu di pinggir
sungai tapal batas. Jika tidak berani datang, jelaslah
kamu seorang banci yang menyamar sebagai lelaki!
Berangkatlah tanpa prajurit! Aku orang Sela sudah
gatal ingin memenggal kepalamu!”
Mengetahui isi surat itu, Arya Penangsang langsung
menggebrak meja di sampingnya. Ia lalau segera
mengenakan pakaian perang dan keris pusakanya yang
bernama Kyai Setan Kober.
“Prajurit! Siapkan Kyai Gagak Rimang!” seru Arya
Penangsang.
Kyai Gagak Rimang adalah kuda andalan Arya
Penangsang yang biasa dipakai untuk mengalahkan
musuh-musuhnya dalam peperangan. Gagak Rimang
perawakannya gagah dan tegap, badannya tinggi dan
besar serta sangat lincah. Warna bulunya yang hitam
mengkilap membuatnya tampak berwibawa.
Dengan mata merah penuh amarah, Arya Penangsang
segera menunggangi Kyai Gagak Rimang menuju sungai
tapal batas wilayah Jipang. Setibanya di tepi sungai,
Arya Penangsang melihat seorang anak kecil yang
sedang menunggang kuda putih di seberang sungai.
Anak kecil itu tak lain adalah Sutawijaya yang sudah
siap dengan tombak pusakanya. Melihat kedatangan
Arya Penangsang, Danang Sutawijaya berteriak dengan
suara nyaring.
“Hai, Penangsang! Lawanlah aku kalau kamu berani!”
Dada Arya Panangsang bagai dibakar api mendengar
suara anak kecil yang menantangnya itu. Ia tidak
sanggup lagi menahan emosinya. Dengan segera ia
menarik tali kekang Kyai Gagak Rimang sehingga kuda
itu meringkik dan berlari menapaki dasar Sungai
Bengawan yang hanya setinggi lutut. Betapa senangnya
hati Danang Sutawijaya melihat Arya Penangsang
mendahuluinya mencebur ke sungai. Konon, jika terjadi
peperangan atau pertarungan di Sungai Bengawan,
pihak yang lebih dahulu turun ke sungai pasti akan
kalah.
Tanpa ragu lagi, Sutawijaya segera menghela kuda
putihnya turun ke sungai. Begitu ia berhadap-hadapan
dengan Arya Penangsang, putra Ki Ageng Pamanahan
itu segera memutar arah kudanya sehingga
membelakangi kuda Arya Penangsang. Kuda hitam
kesayangan Arya penangsang pun tiba-tiba bertingkah
aneh dan menjadi liar karena kuda yang ditunggangi
Sutawijaya ternyata kuda betina. Kemaluan kuda putih
terlihat dengan jelas karena ekornya sengaja diikat ke
atas.
Semakin lama Kyai Gagak Rimang semakin liar dan
berontak hingga Arya Penangsang kerepotan
mengendalikannya. Melihat Arya Penangsang sibuk
mengendalikan kudanya, Sutawijaya tidak menyia-
nyiakan kesempatan itu. Ia segera menusukkan tombak
pusaka Kyai Plered ke perut Arya Penangsang hingga
robek hingga sebagian ususnya terburai.
Meski demikian, Arya Penangsang yang sakti itu masih
hidup. Ia berusaha meraih ususnya yang terburai itu
lalu dikalungkannya pada warangka keris pusaknya.
Setelah itu, ia segera menarik tali kekang kudanya
untuk mengejar Sutawijaya. Begitu mendekat, Arya
Penangsang meraih tubuh Sutawijaya yang kecil itu dan
membantingnya ke tanah hingga tak berdaya. Arya
Penangsang segera turun dari kudanya lalu menginjak
dada Sutawijaya.
Melihat putranya dalam keadaan bahaya, Ki Ageng
Pamanahan segera keluar dari tempat
persembunyiannya. Ia segera menggunakan siasatnya
dengan berpura-pura memihak kepada Arya
Penangsang.
“Hai, Arya Penangsang! Habisi saja nyawa putra Sultan
Hadiwijaya itu!” teriak Ki Ageng Pamanahan.
Arya Penangsang pun baru sadar bahwa ternyata anak
kecil yang diinjak dadanya itu adalah putra musuhnya.
Dengan geram, ia segera mencabut keris Kyai Brongot
Setan Kober dari pinggangnya. Namun, ia lupa jika
sebagian ususnya tersampir di warangka keris pusaka
itu. Begitu ia mengangkat keris itu, seketika itu pula
ususnya terputus. Tak ayal lagi, tubuh Adipati Jipang
itu tersungkur ke tanah dan tewas seketika.
Setelah Arya Penangsang tewas, Ki Ageng Pemanahan
beserta rombongannya kembali ke Pajang untuk
melapor kepada Sultan Hadiwijaya bahwa Arya
Penangsang telah tewas. Sultan Hadiwijaya sangat
gembira mendengar kabar gembira itu. Sesuai dengan
janjinya, maka ia pun menghadiahi Ki Ageng
Pamanahan dan Ki Penjawi tanah di Pati dan tanah di
hutan Mataram.
Setelah melalui perundingan, Ki Ageng Pamanahan
mendapatkan bagian tanah di hutan Mataram
sedangkan Ki Penjawi mendapatkan bagian tanah di
Pati. Atas restu Sultan Hadiwijaya, keduanya menuju ke
bagian masing-masing. Ki Ageng Pamanahan pun
mengajak putranya, Danang Sutawijaya, untuk ikut
serta pindah dan menetap di daerah yang menjadi
bagiannya. Di sana, mereka mengubah hutan belantara
itu menjadi pusat kerajaan besar yang bernama
Kerajaan Mataram.
* * *
Demikian cerita sejarah Arya Penangsang dari daerah
Jawa Tengah, Indonesia. Pelajaran yang dapat dipetik
dari cerita di atas adalah bahwa orang yang memiliki
sifat bengis dan pendendam seperti Arya Penangsang
pada akhirnya akan mendapatkan musibah. Arya
Penangsang tewas dalam pertarungan karena selalu
kurang perhitungan dalam bertindak. Hal ini terjadi
karena hati dan pikirannya telah digerogoti oleh sifat
dendam sehingga ia menjadi kalap. (Samsuni/
sas/194/05-10)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Remons domino

Salam sloters Tambakselo 🙏🙏🙏🙏🙏, Remons RP full 2.22 --->>> DOWNLOAD Remons 2.22 buluk -----> DOWNLOAD Remons RP versi 2.21 ...