Kamis, 09 Oktober 2014

MISTERI JEMBATAN SIDOWAYAH ALAS BANJAREJO NGAWI

Kejadian ini bermula ketika saya baru pertama kali
punya SIM. Medio Juli tahun 1996.
Saya senang sekali bisa punya SIM sendiri, itu berarti
saya bisa kemana-mana tanpa harus ditemani Bapak.
Maklum, Bapak termasuk orang yang sangat ketat dalam
urusan peraturan, apalagi peraturan lalu lintas.
Sore itu saya disuruh Bapak pergi ke desa nenek untuk
sebuah urusan keluarga. Dusun Pehnongko terletak di
Desa Gentong Kecamatan Paron Kabupaten Ngawi Jawa
Timur.

Saya, dengan sangat gembira bisa memanfaatkan SIM
baru itu, segera saja mengiyakan perintah Bapak.
Saya ajak dua adik saya, Fatih dan Taqien, untuk
menemani. Mereka berdua juga terlihat sangat gembira,
maklum bisa jalan-jalan sendiri tanpa harus diawasin
Bapak yang terkenal, yah bisa dibilang, galak.

Sengaja kami berangkat setelah Maghrib. Karena Bapak
memberi perintah baru sekitar jam limaan.
Pikir kami, daripada nanti mampir-mampir di jalan,
mendingan sekalian saja sholat terlebih dahulu di
rumah. Biar tenang gitu.

Setelah sholat maghrib, kami berangkat.
Bapak dan Ibu memberi pesan, “Hati-hati ya, SIM kamu
masih baru, jangan ngebut, santai saja. Paling nanti
sampe sana jam setengah sembilan. Do’a dulu, jangan
lupa! Sungkem buat Mbah Putri, buat Bu Nik sama
Budhe Jen ya !”

“Nggih !”, kami menjawab serempak. Terlihat rona
sumringah di wajah kami bertiga.

“Asyiiiik, kita bisa jalan-jalan sendiri nih tanpa
dicerewetin Bapak Ibu. he he he”, kata Fatih si bungsu.

“Iya nih, pengalaman pertama kita jalan sendiri”, sahut
si Taqien.

Saya pun tersenyum penuh kegembiraan.
Saya teringat cerita-cerita orang, bahwa kalau jalan di
malam hari sering menemui hal-hal yang kurang masuk
akal.

Untuk mengantisipasi hal itu, saya tak lupa
menggumamkan do’a perjalanan, yang memang sudah
saya hapal dari kecil.
Saya hidupkan mesin mobil Colt T120 tahun 1977 itu.
Walaupun mobil tua, tapi tetep rueng rueng

Mobil berjalan mulus tanpa hambatan.
Singkat cerita, kami sampai di Pehnongko sekitar jam
delapan malam. Padahal perkiraan baru sampai sekitar
jam setengah sembilan.

“Wah, cepet nih nyampenya!” pikir saya.
Maklum, SIM baru, jadi lupa pesan Bapak Ibu di rumah.
Lumayan belagu juga tadi di jalanan.
Tapi jadi agak terasa capai juga, sok-sokan sih.
Ketemu Mbah Putri, kami menyampaikan pesan Bapak
Ibu.
Kami disuruh Mbah untuk makan. Kami bertiga makan
dengan lahap. Maklum tadi kelaparan di jalan. Soalnya
Adik-adik saya tidak mau diajak mampir dulu.

Sebenarnya, Mbah Putri menyuruh kami untuk
menginap dulu.

“Cah, ini sudah malam. Mendingan kalian bertiga nginep
aja dulu. Besok pagi-pagi baru pulang. Paling Bapak Ibu
kalian maklum”, begitu kata Mbah Putri.

Entah saya yang sok-sokan atau adik-adik saya itu, kami
memilih untuk langsung pulang saja.

“Mas, langsung pulang aja deh, kan asyik jalan malem-
malem lewat alas Mantingan. Pasti nanti sepi, ngga ada
mobil lain. Bisa ngebut ! he he he”, bisik si Fatih.

“Iya Mas, sekalian ngetes mobil !”, tambah si Taqien,
ambil tersenyum penuh arti.
Saya merasa tertantang, jiwa muda saya bergolak.

Jam di dinding waktu itu menunjukkan pukul sebelas
malam.

“Kami pulang sekarang aja deh Mbah Putri”, ijin saya
kepada Mbah Putri.

“Ya sudah kalau mau kalian begitu, tapi hati-hati lho.
Soalnya kan sudah malam. Oh iya, kalau kalian nanti
lewat jembatan Sidowayah di alas Mantingan, yang pas
turunan terus belok itu, jangan lupa lempar recehan
lima puluhan”, pesan Mbah Putri.

“Nggih Mbah”, sambil lalu saja saya mengiyakan pesan
Mbah Putri.

“Iya. Soalnya di jembatan itu kan dua tahun lalu pernah
ada kecelakaan bis. Penumpangnya mati semua”, imbuh
Budhe Jen.

“Sekarang serem lho di situ”, Bu Nik menambahkan.
“Ah, masa sih?”, pikirku.
“Hati-hati ! Jangan lupa baca do’a dulu!” teriak Mbah
Putri ketika saya menghidupkan mesin mobil.
“Nggih Mbah !”, serempak lagi kami menjawab.
“Kalau udah tua, kok pada cerewet ya?”, begitu kata si
Fatih.

Kami bertiga lalu tertawa.
Mbah Putri, ditemani Bu Nik dan Budhe Jen
melambaikan tangannya, kami balas lambaiannya sambil
berteriak,
“Assalamu ‘alaikum!”
“Wa ‘alaikum salam!”, balas Mbah Putri, Bu Nik dan
Budhe Jen.
Kami pun pulang.
Sambil konsentrasi menyetir, saya melirik jam tangan
Fatih. Jarum menunjukkan pukul dua belas malam.
“Wah pas sekali jam dua belas nyampe alas Mantingan”,
gumam saya.

Sementara Fatih dan Taqien terus saja bercanda.
Kira-kira lima menit kemudian, terlihat jembatan yang
disebutkan Mbah Putri tadi.

Tiba-tiba saya jadi teringat pesan Mbah Putri, padahal
tadinya saya hanya berpikir bahwa pesan tadi cuma
ungkapan kekhawatiran seorang Mbah kepada cucunya.
Pikiran saya tergelitik, bimbang, antara percaya
terhadap tahayul dengan keinginan untuk mengikuti
pesan Mbah Putri.

Saya tanya Taqien yang duduk di belakang.
“Qien, kamu punya lima puluhan ngga?”
Taqien merogoh semua saku celananya, kemudian
menjawab
“Wah mas, aku ora duwe ki” (wah mas, aku ngga punya
tuh – red)
“Kowe duwe ora Tih?” (Kamu punya ngga Tih? – red)
Fatih mencari-cari, sementara saya juga mulai
kebingungan mencari recehan lima puluhan.

“Kalo lima puluhan, saya ngga punya mas, tapi kalo
seratusan, ada nih” begitu jawab Fatih.

“Kamu inget ngga, pesan Mbah Putri tadi?” tanyaku
kepada mereka.
“Inget, mas”, jawab Taqien.
“Ya sudah, kalau begitu, kita lempar aja seratusan ini,
wong lima puluhannya ngga ada.” kata saya.
Ketika persis sampai jembatan itu, saya suruh Fatih yang
duduk di depan untuk melemparkan uang seratusan
tadi ke jembatan.
Kemudian kami pun berlalu dari jembatan, yang
katanya, angker itu.

Kurang dari satu menit kami melewati jembatan, dari
balik spion melintas sebuah bayangan hitam yang
muncul dari bawah jembatan.
Antara percaya dan tidak percaya, saya kucek mata
saya.

Bayangan itu mulai terbang, kira-kira sebatas
pertengahan pohon jati yang memang banyak terdapat
di alas Mantingan ini.

Saya berkata kepada Fatih dan Taqien
“Cah, liat deh ke belakang!”
“Wah! apaan tuh?” teriak mereka berbarengan.
“Jangan-jangan gara-gara kita ngga ngelempar lima
puluhan !” teriak Fatih.

Bayangan itu mulai mendekat.
Tanpa pikir panjang, saya injak pedal gas lebih dalam.
Saya tak peduli lagi dengan keadaan jalan. Yang penting
selamet, pikir saya.
“Mas !!!!! Tambah Gaaaaasssss !!!!!!” Fatih berteriak lagi.

Rupanya bayangan hitam itu lebih cepat daripada mobil
kami. Padahal saya sudah berusaha semaksimal
mungkin.

“Waaaaaaaa !!!!!” Fatih berteriak kencang.
“Di sebelaaaaaaahhh kuuuuuuuu !!!!!!” teriaknya lagi.
Kami bertiga mulai pucat.

Sejurus kemudian, bayangan hitam itu mengulurkan
tangannya ke jendela mobil tempat duduk Fatih, sambil
berkata dengan suaranya yang berat,
“Mas, ini kembaliannya !”
he he he

don’t take it too serious, guys !

3 komentar:

  1. KAMI SEKELUARGA MENGUCAPKAN BANYAK TERIMA KASIH ATAS BANTUANNYA MBAH , NOMOR YANG MBAH BERIKAN/ 4D SGP& HK SAYA DAPAT (350) JUTA ALHAMDULILLAH TEMBUS, SELURUH HUTANG2 SAYA SUDAH SAYA LUNAS DAN KAMI BISAH USAHA LAGI. JIKA ANDA INGIN SEPERTI SAYA HUB MBAH_PURO _085_342_734_904_ terima kasih.الالله صلى الله عليه وسلموعليكوتهله صلى الل

    KAMI SEKELUARGA MENGUCAPKAN BANYAK TERIMA KASIH ATAS BANTUANNYA MBAH , NOMOR YANG MBAH BERIKAN/ 4D SGP& HK SAYA DAPAT (350) JUTA ALHAMDULILLAH TEMBUS, SELURUH HUTANG2 SAYA SUDAH SAYA LUNAS DAN KAMI BISAH USAHA LAGI. JIKA ANDA INGIN SEPERTI SAYA HUB MBAH_PURO _085_342_734_904_ terima kasih.الالله صلى الله عليه وسلموعليكوتهله صلى الل


    KAMI SEKELUARGA MENGUCAPKAN BANYAK TERIMA KASIH ATAS BANTUANNYA MBAH , NOMOR YANG MBAH BERIKAN/ 4D SGP& HK SAYA DAPAT (350) JUTA ALHAMDULILLAH TEMBUS, SELURUH HUTANG2 SAYA SUDAH SAYA LUNAS DAN KAMI BISAH USAHA LAGI. JIKA ANDA INGIN SEPERTI SAYA HUB MBAH_PURO _085_342_734_904_ terima kasih.الالله صلى الله عليه وسلموعليكوتهله صلى الل

    BalasHapus
  2. Oala le.ki tenan gk,nggarai wedi kate liwat kono maneh

    BalasHapus

Remons domino

Salam sloters Tambakselo 🙏🙏🙏🙏🙏, Remons RP full 2.22 --->>> DOWNLOAD Remons 2.22 buluk -----> DOWNLOAD Remons RP versi 2.21 ...