Jumat, 10 Oktober 2014

JAKA SEGER DAN RORO ANTENG

Jaka Seger dan Rara Anteng adalah sebuah legenda
yang beredar di kalangan masyarakat Jawa Timur,
Indonesia. 


Legenda yang mengisahkan tentang
percintaan antara Jaka Seger dan Rara Anteng ini
menerangkan tentang asal-usul Gunung Brahma
(Bromo) dan Gunung Batok, serta asal-usul nama suku
Tengger, yaitu sebuah suku yang tinggal di sekitar
Gunung Bromo. Bagi suku Tengger, Gunung Bromo
merupakan gunung yang suci. Itulah sebabnya, setiap
setahun sekali, yaitu setiap bulan Purnama pada bulan
ke-10 tahun Saka, mereka melaksanakan upacara yang
dikenal dengan Yadnya Kasada. Konon, keberadaan
upacara tersebut juga diyakini berasal dari cerita Jaka
Seger dan Rara Anteng ini. Berikut kisahnya.
* * *
Alkisah, di sebuah rumah sederhana di lereng Gunung
Bromo, seorang laki-laki setengah baya sedang duduk
menunggu istrinya yang akan melahirkan anak kedua
mereka. Laki-laki itu adalah Raja Majapahit yang
meninggalkan negerinya dan membuat sebuah dusun
di lereng Gunung Bromo bersama beberapa orang
pengikutnya karena kalah berperang melawan putranya
sendiri. Wajah laki-laki itu tampak begitu pucat dan
hatinya diselimuti perasaan cemas melihat istrinya
terus merintih menahan rasa sakit.
Saat tengah malam, buah hati yang mereka nanti-
nantikan pun lahir ke dunia. Namun anehnya, bayi
yang berjenis kelamin perempuan itu tidak menangis
seperti halnya bayi-bayi pada umumnya.
“Dinda! Bayi kita seorang perempuan,” kata mantan
Raja Majapahit itu.
“Tapi Kanda, kenapa Dinda tidak mendengar suara
tangis putri kita?” tanya permaisurinya yang masih
terbaring lemas.
“Jangan khawatir, Dinda! Putri kita lahir dengan normal
dan sehat. Lihatlah, wajah putri kita tampak bersinar!
Dia bagaikan seorang titisan dewa,” ujar mantan Raja
Majapahit itu sambil menimang-nimang bayinya yang
mungil di depan istrinya.
Pasangan suami-istri itu tampak begitu bahagia
mendapat anak. Mereka pun memberi nama bayi itu
Rara Anteng, yang berarti seorang perempuan yang
diam atau tenang.
Pada saat yang hampir bersamaan, di tempat lain yang
tidak jauh dari rumah Anteng dilahirkan, juga lahir
seorang bayi laki-laki dari pasangan suami-istri
pendeta. Suara tangis bayi yang baru lahir itu sangat
keras sehingga memecah kesunyian malam di lereng
Gunung Bromo itu. Bayi itu tampak sehat dan montok.
Oleh kedua orang tuanya, bayi itu diberi nama Jaka
Seger, yang berarti seorang laki-laki yang berbadan
segar.
Waktu terus berlalu. Kedua bayi itu pun tumbuh
menjadi dewasa. Jaka Seger tumbuh menjadi pemuda
yang gagah dan tampan, sedangkan Rara Anteng
tumbuh menjadi gadis yang cantik nan rupawan. Berita
tentang kecantikan Rara Anteng pun tersebar hingga ke
mana-mana dan menjadi pujaan setiap pemuda. Sudah
banyak pemuda yang datang meminangnya, namun tak
satu pun yang diterimanya. Rupanya, putri mantan Raja
Majapahit itu telah menjalin hubungan kasih dengan
Jaka Seger dan cintanya tidak akan berpaling kepada
orang lain.
Pada suatu hari, kabar tentang kencantikan Rara
Anteng juga sampai ke telinga sesosok raksasa yang
tinggal di hutan di sekitar lereng Gunung Bromo.
Raksasa yang menyerupai badak itu bernama Kyai
Bima. Ia sangat sakti dan kejam. Begitu mendengar
kabar tersebut, Kyai Bima pun segera datang meminang
Rara Anteng. Jika keinginannya tidak dituruti, maka ia
akan membinasakan dusun itu dan seluruh isinya. Hal
itulah yang membuat Rara Anteng dan keluarganya
kebingungan untuk menolak pinangannya. Sementara
Jaka Seger pun tidak dapat berbuat apa-apa karena
tidak mampu menandingi kesaktian raksasa itu.
Setelah sejenak berpikir keras, akhirnya Rara Anteng
menemukan sebuah cara untuk menolak pinangan Kyai
Bima secara halus. Dia akan mengajukan satu
persyaratan yang kira-kira tidak sanggup dipenuhi oleh
raksasa itu.
“Baiklah, Kyai Bima! Aku akan menerima pinanganmu,
tapi kamu harus memenuhi satu syarat,” ujar Rara
Anteng.
“Apakah syarat itu! Cepat katakan!” seru Kyai Bima
dengan nada membentak.
Mendengar seruan itu, Rara Anteng menjadi gugup.
Namun, ia berusaha tetap bersikap tenang untuk
menghilangkan rasa gugupnya.
“Buatkan aku danau di atas Gunung Bromo itu! Jika
kamu sanggup menyelesaikannya dalam waktu
semalam, aku akan menerima pinanganmu,” ujar Rara
Anteng.
Dengan penuh percaya diri dan kesaktian yang
dimilikinya, Kyai Bima menyanggupi persyaratan itu
dan menganggap bahwa persyaratan itu sangatlah
mudah baginya.
“Hanya itukah permintaanmu, wahai Rara Anteng?”
tanya raksasa itu dengan nada angkuh.
“Iya, hanya itu. Tapi ingat, danau itu harus selesai
sebelum ayam berkokok!” seru Rara Anteng
mengingatkan raksasa itu.
Mendengar jawaban Rara Anteng, raksasa itu tertawa
terbahak-bahak, lalu bergegas pergi ke puncak Gunung
Bromo. Setibanya di sana, ia pun mulai mengeruk
tanah dengan menggunakan batok (tempurung) kelapa
yang sangat besar. Hanya beberapa kali kerukan, ia
telah berhasil membuat lubang besar. Ia terus
mengeruk tanah di atas gunung itu tanpa mengenal
lelah.
Rara Anteng pun mulai cemas. Ketika hari menjelang
pagi, pembuatan danau itu hampir selesai, tinggal
beberapa kali kerukan lagi.
“Aduh, mampuslah aku!” ucap Rara Anteng cemas,
“raksasa itu benar-benar sakti. Apa yang harus
kulakukan untuk menghentikan pekerjaannya?”
Rara Anteng kembali berpikir keras. Akhirnya ia
memutuskan untuk membangunkan seluruh keluarga
dan tetangganya. Kaum laki-laki diperintahkan untuk
membakar jerami, sedangkan kaum perempuan
diperintahkan untuk menumbuk padi. Tak berapa lama
kemudian, cahaya kemerah-merahan pun mulai
tampak dari arah timur. Suara lesung terdengar
bertalu-talu, dan kemudian disusul suara ayam jantan
berkokok bersahut-sahutan.
Mengetahui tanda-tanda datangnya waktu pagi
tersebut, Kyai Bima tersentak kaget dan segera
menghentikan pekerjaannya membuat danau yang
sudah hampir selesai itu.
“Sial!” seru raksasa itu dengan kesal, “rupanya sudah
pagi. Aku gagal mempersunting Rara Anteng.”
Sebelum Kyai Bima meninggalkan puncak Gunung
Bromo, tempurung kelapa yang masih dipegangnya
segera dilemparkan. Konon, tempurung kelapa itu jatuh
tertelungkup dan kemudian menjelma menjadi sebuah
gunung yang dinamakan Gunung Batok. Jalan yang
dilalui raksasa itu menjadi sebuah sungai dan hingga
kini masih terlihat di hutan pasir Gunung Batok.
Sementara danau yang belum selesai dibuatnya itu
menjelma menjadi sebuah kawah yang juga masih
dapat disaksikan di kawasan Gunung Bromo.
Betapa senangnya hati Rara Anteng dan keluarganya
melihat raksasa itu pergi. Tak berapa lama kemudian,
Rara Anteng pun menikah dengan Jaka Seger. Setelah
itu, Jaka Seger dan Rara Anteng membuka desa baru
yang diberi nama Tengger. Nama desa itu diambil dari
gabungan akhiran nama Anteng (Teng) dan Seger
(Ger). Mereka pun hidup berbahagia.
Setelah bertahun-tahun mereka hidup menikmati
manisnya perkawinan dan kehidupan berumah tangga,
tiba-tiba muncul keresahan di hati mereka.
“Dinda, sudah bertahun-tahun kita menikah, namun
belum juga dikaruniai anak. Padahal kita sudah
mencoba berbagai jenis obat,” keluh Jaka Seger kepada
istrinya.
“Sabarlah, Kanda! Sebaiknya jangan terlalu cepat
berputus asa. Kita serahkan saja semua kepada Tuhan
Yang Mahakuasa,” bujuk Rara Anteng.
Baru saja istrinya selesai berucap, tiba-tiba Jaka Seger
mengucapkan ikrar, “Jika Tuhan mengaruniai kita 25
anak, aku berjanji akan mempersembahkan seorang di
antara mereka untuk sesajen di kawah Gunung
Bromo.”
Begitu Jaka Seger selesai mengucapkan ikrar itu, tiba-
tiba api muncul dari dalam tanah di kawah Gunung
Bromo. Hal itu sebagai pertanda bahwa doa Jaka Seger
didengar oleh Tuhan Yang Mahakuasa. Tak berapa lama
kemudian, Rara Anteng pun diketahui sedang
mengandung. Alangkah bahagianya hati Jaka Seger
mendengar kabar baik itu. Sembilan bulan kemudian,
buah hati yang telah lama mereka nanti-nantikan pun
lahir ke dunia. Kebahagiannya pun semakin sempurna
ketika mengetahui bahwa istrinya melahirkan anak
kembar. Setahun kemudian, Rara Anteng melahirkan
lagi anak kembar. Begitulah seterusnya, setiap tahun
Rara Anteng melahirkan anak kembar, ada kembar dua
dan ada pula kembar tiga, hingga akhirnya anak
mereka berjumlah dua puluh lima orang.
“Terima kasih, Tuhan! Engkau telah mengabulkan doa
hamba!” ucap Jaka Seger.
Jaka Seger bersama istrinya merawat dan membesarkan
kedua puluh lima anak tersebut hingga tumbuh
menjadi dewasa. Jaka Seger sangat menyayangi semua
anaknya, terutama putra bungsunya yang bernama
Dewa Kusuma. Karena terlena dalam kebahagiaan, ia
lupa janjinya kepada Tuhan. Suatu malam, Tuhan pun
menegurnya melalui mimpi.
“Mana janjimu, wahai Jaka Seger! Serahkanlah salah
seorang putramu ke kawah Gunung Bromo!” seru suara
itu dalam mimpi Jaka Seger.
Jaka Seger langsung tersentak kaget saat tersadar dari
mimpinya.
“Ya, Tuhan! Aku telah lupa pada janjiku,” ucap Jaka
Seger, “Aduh, bagaimana ini? Siapa di antara putra-
putriku yang harus kupersembahkan, padahal aku
sangat menyayangi mereka semua?”
Akhirnya, Jaka Seger bersama istrinya mengumpulkan
seluruh putra-putrinya dalam sebuah pertemuan
keluarga. Jaka Seger kemudian menceritakan perihal
nazarnya itu kepada mereka. Wajah mereka pun
serempak berubah menjadi pucat pasi. Apalagi ketika
dimintai kesediaan salah seorang dari mereka untuk
dijadikan persembahan.
“Ampun, Ayah! Ananda tidak mau menjadi
persembahan di kawah itu. Ananda tidak mau mati
muda,” sahut anak sulungnya keberatan.
“Dengarlah, wahai putra-putriku! Jika Ayahanda tidak
menunaikan nazar ini, maka desa ini dan seluruh isinya
akan binasa,” jelas Jaka Seger.
Dengan sigap, Dewa Kusuma langsung menanggapi
penjelasan ayahandanya.
“Ampun, Ayah! Jika itu memang sudah menjadi nazar
Ayah, Ananda bersedia untuk dijadikan persembahan
di kawah Gunung Bromo,” kata Dewa Kusuma.
Jaka Seger tersentak kaget. Ia tidak pernah mengira
sebelumnya jika putra bungsunyalah yang mempunyai
keberanian dan kerelaan untuk dijadikan persembahan.
“Apakah kamu yakin dengan ucapanmu itu, hai Dewa
Kusuma?” tanya ayahnya.
“Iya, Ayah! Ananda rela berkorban demi
menyelamatkan dusun ini dan seluruh isinya,” jawab
Dewa Kusuma, “tapi, Ananda mempunyai satu
permintaan.”
“Apakah permintaanmu, Putraku?” tanya ayahnya.
Dewa Kusuma pun menyampaikan permintaannya
kepada Ayah, Ibu, dan saudara-saudaranya agar
dirinya diceburkan ke dalam kawah itu pada tanggal 14
bulan Kasada (penanggalan Jawa). Ia juga meminta agar
setiap tahun pada bulan dan tanggal tersebut diberi
sesajen berupa hasil bumi dan ternak yang dihasilkan
oleh ke-24 saudaranya. Permintaan Dewa Kusuma pun
diterima oleh seluruh anggota keluarganya.
Pada tanggal 14 bulan Kasada, Dewa Kusuma pun
diceburkan ke kawah Gunung Bromo dengan diiringi
isak tangis oleh seluruh keluarganya. Nazar Jaka Seger
pun terlaksana sehingga dusun itu atau kini dikenal
Desa Tengger terhindar dari bencana.
* * *
Demikian cerita Jaka Seger dan Rara Anteng dari
daerah Jawa Timur. Hingga kini, kawah yang memiliki
garis tengah lebih kurang 800 meter (utara-selatan)
dan 600 meter (timur-barat) ini telah menjadi obyek
wisata menarik di kawasan Gunung Bromo. Untuk
mengenang dan menghormati pesan Dewa Kusuma,
masyarakat suku Tengger melaksanakan upacara
persembahan sesaji ke kawah Gunung Bromo yang
dikenal dengan istilah upacara Yadnya Kasada. Upacara
yang juga merupakan daya tarik wisata ini dilaksanakan
pada tengah malam hingga dini hari setiap bulan
purnama, yaitu sekitar tanggal 14 – 15 di bulan Kasada
(kepuluh) menurut penanggalan Jawa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Remons domino

Salam sloters Tambakselo 🙏🙏🙏🙏🙏, Remons RP full 2.22 --->>> DOWNLOAD Remons 2.22 buluk -----> DOWNLOAD Remons RP versi 2.21 ...