Kamis, 09 Oktober 2014

NGLURUK TANPA BALA, SUGIH TANPA BANDS, SAKTI TANPA AJI, MENANG TANPA NGASORAKE ' KUNIRAN SINE '


“Bismillahirrohmaanirrohiim. Niat ingsun amatek Aji Pancasona, Ana wiyat jroning bumi, Surya
murup ing bantala, Bumi sap pitu anelehi
sabuwono, Rahina ta keno wengi, urip tan kenaning
pati, Yo ingsun pangawak jagad, mati ora mati,
Tlinceng geni tanpo kukus, Ceng-cleceng, Ceng-
cleceng, Kasonggo ibu pertiwi, Mustiko lananging
jaya, Yo aku si Pancasona, Ratune nyowo sekelir”
Mantra untuk matek Aji Pancasona ini hanyalah
sekedar pintu pembuka artikel sederhana ini; kisah
ringan subyektif ini adalah kenangan saat masih
berusia remaja. Kebetulan, saya memiliki seorang
paman seorang pendekar dari perguruan silat dari
Cempaka Putih. Mas Entok nama si paman ini
bertempat tinggal di Lereng Gunung Lawu, sisi
paling barat Propinsi Jawa Timur. Tepatnya di Desa
Kuniran, Kecamatan Sine, Ngawi.
Usia remaja adalah usia di mana keinginan untuk
menjadi sakti, andalan, gagah-gagahan, tidak
terkalahkan, pengen jadi jawara. Keinginan yang
sangat manusiawi ini juga tiba-tiba menimpa saya.

Pada suatu ketika, keinginan ini mendapat
penyaluran setelah ketemu dengan Mas Entok.
Singkatnya, saya pun diajari berbagai jurus silat
dan ilmu-ilmu kanuragan dalam satu kurun waktu.
Salah satu dari berbagai amalan yang diberikan
Mas Entok adalah Aji Brajamusti. Ini konon aji
kebanggan para pendekar karena merupakan
perisai badan yang ampuh.
Menurut Mas Entok,
orang yang mempunyai aji brajamusti mempunyai
kekuatan badan dan kekuatan gaib yang pilih
tanding. ”Tidak boleh digunakan sembarangan dik,
karena bisa membahayakan nyawa lawan. Jangan
gunakan kalau tidak terpaksa. Kamu bisa kebal
berbagai senjata tajam. Senjata yang ampuh
bagaimanapun kalau terkena aji brajamusti pasti
akan tawar, tak bertuah,” ujarnya.
Terkagum-kagum akan penjelasan Mas Entok, saya
pun nglakoni amalan-amalan yang berat untuk
memperoleh ajian ini. Di antaranya adalah
berpuasa tujuh hari dalam satu bulan selama satu
tahun. Saat puasa, setiap usai sholat fardhu,
mantera aji dibaca sebanyak banyaknya 41 kali.
Setelah selesai puasa, mantera dibaca satu kali lalu
dihembuskan pada kedua tangan sambil membaca
“ya qawiyyu ya matiin” 1000 kali
Mantra untuk matek aji Brajamusti ini kalau tidak
salah ingat sebagai berikut:
”Bismillahirrohmanirrohiim, Sun matek aji ajiku
Brajamusti, Terap-terap, Awe-awe, Kuru-kuru,
Griya gunting drijiku, Watu item ing tanganku, Sun
tak antem, Laa ilaaha ilalloh Muhammadur
rasululloh.”
Dasar tidak ada darah pendekar, berbagai ilmu
kanuragan yang sudah saya kuasai tidak pernah
sekalipun terpakai. Bahkan untuk menyakiti semut
pun insya allah saya hindari. Lebih baik tidak
menggunakan ajian-ajian apapun jika pada
akhirnya hanya akan memperbanyak musuh. Atau
malah lebih parah lagi, berurusan dengan aparat
keamanan. Atau malah nyerimpeti laku saya untuk
bertemu Gusti Allah.

Memang, harus saya akui bahwa ada kalanya emosi
meletup-letup tak terduga. Karena ada stimulus dari
luar yang merelakan saya untuk marah, bahkan
sering sampai berkelahi. Tapi ya itu tadi, tidak ada
nafsu untuk membunuh sesama, apalagi dengan
menggunakan ilmu-ilmu kanuragan seperti yang
saya amalkan.
Singkatnya, saya dan mungkin para pembaca yang
budiman juga melewati fase yang sama. Yaitu fase
dimana ego kita cenderung ingin mengalahkan ego
yang lain dengan penaklukan dan hegemoni
meskipun harus ditempuh melalui jalan dan cara-
cara kekerasan. Namun ada kalanya, dan ini saya
syukuri adalah datangnya fase dimana kita
menyadari bahwa ego adalah iblis yang berasal
dari naar (api): tempat sifat-sifat buruk dan
menyesatkan. Sementara untuk memperoleh
hidayah dari Gusti Kang Murbeng Jagad, konon
manusia harus membersihkan diri sebelum
akhirnya Malaikat yang berasal dari nuur (cahaya-
Nya) datang kepada wadah yang sudah bersih.

Dulu saya adalah kolektor berbagai macam ajian,
sikep, batu-batu akik, keris dan senjata-senjata lain.
Barang-barang klangenan yang saya letakkan di
kamar ini saya dapatkan dalam fase pencarian
yang panjang dan tidak seketika. Paling banyak
saya peroleh saat saya gemar berguru ke banyak
paranormal sambil liputan untuk sebuah media
mistik yang terbit di Jakarta. Karena terlalu sering
bertemu dengan paranormal dari berbagai
kalangan di berbagai daerah, saya juga sering
mendapatkan ”oleh-oleh” yaitu beragam benda-
benda bertuah tadi.

Bertemu dengan banyak paranormal dari berbagai
aliran, bagi saya sungguh sebuah pengalaman yang
tidak akan terlupakan. Mulai paranormal yang
beraliran Jawa, Islam, Cina, Budha, Hindu dan
lainnya. Salah satu paranormal yang cukup unik
dan lebih mirip sufi adalah MBAH WALIJO. Si Mbah
yang sudah bertapa sejak tahun 1960 ini tinggal di
sebuah gubuk yang lebih mirip kandang kambing, di
lereng perbukitan di dekat pantai Parangtritis
Yogyakarta. Paranormal ini terkenal di seantero
Kota Bantul DIY, dan beberapa kali pernah dimuat
di Koran Kedaulatan Rakyat, Yogyakarta karena
pernah membantu mengangkat bus yang terperosok
di pantai parangtritis. Konon saat itu bus itu
dipegangi oleh Mbah Bledug, penunggu pantai yang
tidak lain para punggawa Kerajaan Pantai Selatan.

Dari MBAH WALIJO saya mendapatkan pengetahuan
tentang bagaimana cara untuk bertemu dengan
makhluk halus: ”Semedi tidak usah lama, sekitar
sepuluh menit di malam hari di bawah grojokan
le…” ujarnya santun. Apa yang saya dapat dari
Mbah Walijo berbeda dengan yang saya dapat dari
paranormal Bambang Yuwono, Suhu Acai, Ki Macan
Putih, dan suhu-suhu yang lain….. . Itulah saat saya
giat-giatnya getol mengolah diri, nyepi di kuburan-
kuburan, tapa di sungai, dan berbagai olah batin
lainnya.

Ada pula pengalaman saya bertemu orang tidak
mau dikatakan paranormal. Dia hanyalah ingin
nglakoni apa yang dia sendiri tidak tahu. Dia
berada di wilayah pedalaman Kabupaten Sleman.
Cara bertapanya sangat unik dan gila: duduk di
bawah pohon sawo hingga bertahun-tahun, tidak
masuk ke dalam rumah meskipun hujan dan angin
ribut! ”Pohon ini tampak terang benderang kalau
malam hari, dan saya merasa bahagia ada di
bawahnya,” tegasnya memberi alasan tindakannya
yang tidak masuk akal tersebut.
Pada suatu ketika, fase hidup yang saya jalani
berubah total. Saya mengalami kebosanan dengan
sang aku. ”Aku harus menjadi aku yang benar-
benar baru. Yang mampu untuk meredam,
memendam dan menguasai emosi yang sedalam
dalamnya dan menjadi orang yang bermanfaat bagi
sesama dengan cara-cara yang santun, masuk akal
dan sederhana.” Itulah tekad saya saat itu. Untuk
mewujudkan semangat menjadi aku yang baru ini,
tak pelak benda-benda klangenan ini pun saya
berikan kepada orang-orang lain, sisanya ada yang
saya bakar. Termasuk yang saya lakoni untuk
bertobat ini adalah melanggar pantangan amalan
ilmu-ilmu gaib tadi.

Niat saya saat itu sederhana: agar tidak ada lagi
pagar gaib yang nantinya justeru membebani saya
saat akan memasuki dimensi ruhaniah yang lebih
halus. Entahlah, apakah tindakan saya ini benar
atau salah. Yang jelas keyakinan saya bahwa
benda-benda bertuah akan nyerimpeti perjalanan
ruhani ini muncul setelah perenungan yang lama.
Salah satunya kejadian yang menimpa nenek saya,
seorang tokoh agama di Ngawi, Jawa Timur saat
menjelang ajal tiba.
Mbah Dunainah, nama nenek saya ini semasa hidup
terkenal kezuhudannya. Pada suatu ketika saat
simbah berhaji di tanah suci ada makhluk halus
yang ingin menjadi muridnya dan pulang ke tanah
air. Dan ini yang akhirnya jadi pangkal perkara,
saat menjelang ajal sang makhluk halus tidak rela
nyawa simbah dicabut sehingga ajal simbah tidak
segera datang. Tubuhnya yang semakin lemah dan
lemah membuat mulutnya tidak bisa bergerak lagi
untuk mengatakan apapun. Konon, nyawanya
digondeli si makhluk halus tadi! Akhirnya
pertolongan datang juga. Disarankan agar keluarga
besar kami mengadakan selamatan dan dengan
ritual khusus, dan memohon agar makhluk halus
muridnya Mbah Dun tadi rela untuk pergi.

Akhirnya ajal simbah benar-benar tiba.
Alhamdulillah…
Kejadian kedua menimpa juga oleh Simbah Rin—
begitu kami menyebut saudara Mbah Dun. Simbah
ini akhirnya juga kesulitan untuk meninggal dunia
hanya gara-gara memiliki ilmu kanuragan yang
tidak bisa dilepasnya sendiri. Dan akhirnya setelah
pengapesannya ditemukan: sebuah sabuk yang
melingkar di perutnya dipotomng, nyawa Simbah
Rin ini pun bisa menghadap Ilahi dengan tenang.

Kini, setelah saya tidak menggenggam satupun ilmu-
ilmu gaib tadi, insya allah, Tuhan memberikan saya
sifat lebih sabar dan ikhlas untuk urusan-urusan
yang harus bergesekan dengan manusia atau
makhluk lain. Jika bisa saya hindari, kenapa harus
mencari-cari masalah? Lebih baik ngalah daripada
harus menang di atas penderitaan orang lain. Lebih
baik orang lain yang menang dari saya daripada
saya yang mengalahkanya. Apa hebatnya jadi
pemenang? Sekarang, saya lebih memegang filosofi
Jawa yang sangat luhur dan tinggi nilainya:

”Ngluruk Tanpa Bala, Sugih Tanpa Banda, Sakti
Tanpa Aji, Menang tanpa Ngasorake,….”
Sekarang bila kangen akan pertumpahan darah,
saya sesekali hanya menonton film Jet Li di televisi.
Ciatttttttt……..Semoga bisa menjadi inspirasi bagi
kawan-kawan muda dan ngapunten bila ada yang
tidak berkenan.

Wong Alus

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Remons domino

Salam sloters Tambakselo 🙏🙏🙏🙏🙏, Remons RP full 2.22 --->>> DOWNLOAD Remons 2.22 buluk -----> DOWNLOAD Remons RP versi 2.21 ...