Kamis, 09 Oktober 2014

JEJAK KRT RADJIMAN WEDYODININGRAT

NAMA KRT Radjiman Wedyodiningrat tidak terlepaskan
dari sebuat Kota Ngawi, Jawa Timur. Hal itu sah saja
karena semasa hidupnya Radjiman memberi kontribusi
besar dalam membangun kesehatan di kota ini. Jejaknya
bisa ditemukan dari rumah tua yang berusia 134 tahun
di Dusun Dirgo, Desa Kauman, Kecamatan Widodaren,
Kabupaten Ngawi, Jawa Timur.

Beberapa sudut bangunan terlihat baru saja direnovasi, namun tidak meninggalkan bentuk aslinya. Warga desa setempat menyebut rumah tua itu dengan "Kanjengan",
yakni rumah kediaman dr Kanjeng Raden Tumenggung (KRT) Radjiman Wedyodiningrat, sang pahlawan bangsa yang terlupakan. Untuk memasuki kawasan bangunan Kanjengan, para pengunjung akan melewati sebuah
gerbang yang besar. Pada gerbang itu terdapat tulisan 'Situs Radjiman Wedyodiningrat'. Setelah itu,
pengunjung akan melewati jalan sepanjang 500 meter untuk menuju bangunan utama Kanjengan.

Bangunan utama Kanjengan sangat sederhana. Nuansa
perpaduan arisitektur Jawa dan Belanda sangat terasa pada bangunan tersebut. Langit-langit ruangannya yang tinggi, demikian juga model pada daun pintu dan
jendelanya. Hawa dingin langsung terasa saat memasuki ruangan demi ruangan di dalam Kanjengan. Tak disangka, puluhan tahun lalu, di bangunan ini hidup seorang tokoh yang mempunyai andil besar dalam sejarah perkembangan Bangsa Indonesia.

Keberadaannya yang tak banyak dikenal, seakan ikut.sirna bersama berlalunya waktu.
Hanya foto-foto yang terpajang di dinding Kanjengan itulah, yang menjadi saksi bisu bahwa Radjiman memiliki peran penting bagi Bangsa Indonesia. Dan juga memiliki hubungan yang dekat dengan Ir Soekarno, Presiden RI
yang pertama. Hampir semua perabotan yang ada di Kanjengan asli peninggalan dari dr Radjiman.

Pihak keluarga sengaja mempertahankannya karena kediaman ini akan menjadi situs sejarah.
Mulai dari meja, kursi, almari, tempat tidur, meja rias, dan sejumlah perabotan lainnya, masih asli. Sudah menjadi tugas Sagimin untuk membersihkan perabotan tersebut agar tetap bersih dan tidak rusak. Meski dr
Radjiman dimakamkan di Yogyakarta, keluarga tetap
berkunjung kemari. Biasanya berkunjung ke sini pada bulan Ruwah penanggalan Jawa untuk berziarah.

Di Kanjengan, dulunya dr Radjiman hidup bersama dua istri dan tiga orang anaknya. Selama masa hidupnya, dr Radjiman memiliki lima orang istri, empat merupakan warga Indonesia dan satu lainnya warga Belanda. Dari
kelima istri tersebut, ia memiliki tiga anak dari istri yang berbeda.

Dr Rajiman mulai pindah ke Dirgo dan menempati rumah ini pada tahun 1938. Bahkan beliau tutup usia juga di rumah ini pada tahun 1952.

Sementara, Bupati Ngawi Budi Sulistyono menyatakan, gelar pahlawan nasional yang diberikan kepada Radjiman Wedyodiningrat, nantinya akan semakin mendorong rencana Pemkab Ngawi untuk menjadikan Situs Rumah Kediaman Radjiman Wedyodiningrat sebagai bagian dari "trading tourism investment" yang saat ini mulai dikembangkan.

"Kediaman Radjiman akan menjadi satu rangkaian dari sejumlah tempat sejarah lainnya yang ada di Ngawi untuk pengembangan pariwisata. Potensi daerah berupa tempat bersejarah yang ada di Ngawi lainnya di
antaranya adalah Museum Trinil dan Benteng Pendem Ngawi," ucap Bupati.

Pihaknya juga merasa bangga jika wilayah Ngawi memiliki tokoh besar yang layak dijadikan sebagai
pahlawan nasional. Karena itu, ia akan mendukung 100 persen.

"Kami sangat mendukung dengan usulan Dr Radjiman Wedyodiningrat menjadi pahlawan nasional. Usulan tersebut diharapkan mampu menjadi daya ungkit untuk pengembangan parwisata sejarah di wilayah
Ngawi," kata Kanang, sapaan akrab Budi Sulistyono.

Ia menambahkan, Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Ngawi, saat ini akan mengembangkan potensi pariwisata yang ada di wilayahnya dengan konsep jalur "Jatipangawitan". Adapun Jatipangawitan merupakan
singkatan nama sejumlah daerah di Ngawi yang membentang dari Karangjati hingga Mantingan
sepanjang 75 kilometer. Yakni, Karangjati, Padas, Ngawi,
Widodaren, dan Mantingan.

Di daerah-daerah tersebut terdapat sejumlah tempat
wisata sejarah yang akan dikembangkan untuk
meningkatkan kujungan wisatawan ke Kabupaten Ngawi.
Seperti, Benteng Pendem di Ngawi Kota, Situs Trinil dan
Monumen Suryo di Kedunggalar, serta Situs Radjiman
Wedyodiningrat di Widodaren. Bersama pemerintah pusat, Pemkab Ngawi akan melakukan berbagai perbaikan guna mendukung wisata sejarah di Situs
Rumah Kediaman Radjiman Wedyodiningrat. Di antaranya dengan perbaikan jalan menuju kediaman Radjiman. (Tom)

NGLURUK TANPA BALA, SUGIH TANPA BANDS, SAKTI TANPA AJI, MENANG TANPA NGASORAKE ' KUNIRAN SINE '


“Bismillahirrohmaanirrohiim. Niat ingsun amatek Aji Pancasona, Ana wiyat jroning bumi, Surya
murup ing bantala, Bumi sap pitu anelehi
sabuwono, Rahina ta keno wengi, urip tan kenaning
pati, Yo ingsun pangawak jagad, mati ora mati,
Tlinceng geni tanpo kukus, Ceng-cleceng, Ceng-
cleceng, Kasonggo ibu pertiwi, Mustiko lananging
jaya, Yo aku si Pancasona, Ratune nyowo sekelir”
Mantra untuk matek Aji Pancasona ini hanyalah
sekedar pintu pembuka artikel sederhana ini; kisah
ringan subyektif ini adalah kenangan saat masih
berusia remaja. Kebetulan, saya memiliki seorang
paman seorang pendekar dari perguruan silat dari
Cempaka Putih. Mas Entok nama si paman ini
bertempat tinggal di Lereng Gunung Lawu, sisi
paling barat Propinsi Jawa Timur. Tepatnya di Desa
Kuniran, Kecamatan Sine, Ngawi.
Usia remaja adalah usia di mana keinginan untuk
menjadi sakti, andalan, gagah-gagahan, tidak
terkalahkan, pengen jadi jawara. Keinginan yang
sangat manusiawi ini juga tiba-tiba menimpa saya.

Pada suatu ketika, keinginan ini mendapat
penyaluran setelah ketemu dengan Mas Entok.
Singkatnya, saya pun diajari berbagai jurus silat
dan ilmu-ilmu kanuragan dalam satu kurun waktu.
Salah satu dari berbagai amalan yang diberikan
Mas Entok adalah Aji Brajamusti. Ini konon aji
kebanggan para pendekar karena merupakan
perisai badan yang ampuh.
Menurut Mas Entok,
orang yang mempunyai aji brajamusti mempunyai
kekuatan badan dan kekuatan gaib yang pilih
tanding. ”Tidak boleh digunakan sembarangan dik,
karena bisa membahayakan nyawa lawan. Jangan
gunakan kalau tidak terpaksa. Kamu bisa kebal
berbagai senjata tajam. Senjata yang ampuh
bagaimanapun kalau terkena aji brajamusti pasti
akan tawar, tak bertuah,” ujarnya.
Terkagum-kagum akan penjelasan Mas Entok, saya
pun nglakoni amalan-amalan yang berat untuk
memperoleh ajian ini. Di antaranya adalah
berpuasa tujuh hari dalam satu bulan selama satu
tahun. Saat puasa, setiap usai sholat fardhu,
mantera aji dibaca sebanyak banyaknya 41 kali.
Setelah selesai puasa, mantera dibaca satu kali lalu
dihembuskan pada kedua tangan sambil membaca
“ya qawiyyu ya matiin” 1000 kali
Mantra untuk matek aji Brajamusti ini kalau tidak
salah ingat sebagai berikut:
”Bismillahirrohmanirrohiim, Sun matek aji ajiku
Brajamusti, Terap-terap, Awe-awe, Kuru-kuru,
Griya gunting drijiku, Watu item ing tanganku, Sun
tak antem, Laa ilaaha ilalloh Muhammadur
rasululloh.”
Dasar tidak ada darah pendekar, berbagai ilmu
kanuragan yang sudah saya kuasai tidak pernah
sekalipun terpakai. Bahkan untuk menyakiti semut
pun insya allah saya hindari. Lebih baik tidak
menggunakan ajian-ajian apapun jika pada
akhirnya hanya akan memperbanyak musuh. Atau
malah lebih parah lagi, berurusan dengan aparat
keamanan. Atau malah nyerimpeti laku saya untuk
bertemu Gusti Allah.

Memang, harus saya akui bahwa ada kalanya emosi
meletup-letup tak terduga. Karena ada stimulus dari
luar yang merelakan saya untuk marah, bahkan
sering sampai berkelahi. Tapi ya itu tadi, tidak ada
nafsu untuk membunuh sesama, apalagi dengan
menggunakan ilmu-ilmu kanuragan seperti yang
saya amalkan.
Singkatnya, saya dan mungkin para pembaca yang
budiman juga melewati fase yang sama. Yaitu fase
dimana ego kita cenderung ingin mengalahkan ego
yang lain dengan penaklukan dan hegemoni
meskipun harus ditempuh melalui jalan dan cara-
cara kekerasan. Namun ada kalanya, dan ini saya
syukuri adalah datangnya fase dimana kita
menyadari bahwa ego adalah iblis yang berasal
dari naar (api): tempat sifat-sifat buruk dan
menyesatkan. Sementara untuk memperoleh
hidayah dari Gusti Kang Murbeng Jagad, konon
manusia harus membersihkan diri sebelum
akhirnya Malaikat yang berasal dari nuur (cahaya-
Nya) datang kepada wadah yang sudah bersih.

Dulu saya adalah kolektor berbagai macam ajian,
sikep, batu-batu akik, keris dan senjata-senjata lain.
Barang-barang klangenan yang saya letakkan di
kamar ini saya dapatkan dalam fase pencarian
yang panjang dan tidak seketika. Paling banyak
saya peroleh saat saya gemar berguru ke banyak
paranormal sambil liputan untuk sebuah media
mistik yang terbit di Jakarta. Karena terlalu sering
bertemu dengan paranormal dari berbagai
kalangan di berbagai daerah, saya juga sering
mendapatkan ”oleh-oleh” yaitu beragam benda-
benda bertuah tadi.

Bertemu dengan banyak paranormal dari berbagai
aliran, bagi saya sungguh sebuah pengalaman yang
tidak akan terlupakan. Mulai paranormal yang
beraliran Jawa, Islam, Cina, Budha, Hindu dan
lainnya. Salah satu paranormal yang cukup unik
dan lebih mirip sufi adalah MBAH WALIJO. Si Mbah
yang sudah bertapa sejak tahun 1960 ini tinggal di
sebuah gubuk yang lebih mirip kandang kambing, di
lereng perbukitan di dekat pantai Parangtritis
Yogyakarta. Paranormal ini terkenal di seantero
Kota Bantul DIY, dan beberapa kali pernah dimuat
di Koran Kedaulatan Rakyat, Yogyakarta karena
pernah membantu mengangkat bus yang terperosok
di pantai parangtritis. Konon saat itu bus itu
dipegangi oleh Mbah Bledug, penunggu pantai yang
tidak lain para punggawa Kerajaan Pantai Selatan.

Dari MBAH WALIJO saya mendapatkan pengetahuan
tentang bagaimana cara untuk bertemu dengan
makhluk halus: ”Semedi tidak usah lama, sekitar
sepuluh menit di malam hari di bawah grojokan
le…” ujarnya santun. Apa yang saya dapat dari
Mbah Walijo berbeda dengan yang saya dapat dari
paranormal Bambang Yuwono, Suhu Acai, Ki Macan
Putih, dan suhu-suhu yang lain….. . Itulah saat saya
giat-giatnya getol mengolah diri, nyepi di kuburan-
kuburan, tapa di sungai, dan berbagai olah batin
lainnya.

Ada pula pengalaman saya bertemu orang tidak
mau dikatakan paranormal. Dia hanyalah ingin
nglakoni apa yang dia sendiri tidak tahu. Dia
berada di wilayah pedalaman Kabupaten Sleman.
Cara bertapanya sangat unik dan gila: duduk di
bawah pohon sawo hingga bertahun-tahun, tidak
masuk ke dalam rumah meskipun hujan dan angin
ribut! ”Pohon ini tampak terang benderang kalau
malam hari, dan saya merasa bahagia ada di
bawahnya,” tegasnya memberi alasan tindakannya
yang tidak masuk akal tersebut.
Pada suatu ketika, fase hidup yang saya jalani
berubah total. Saya mengalami kebosanan dengan
sang aku. ”Aku harus menjadi aku yang benar-
benar baru. Yang mampu untuk meredam,
memendam dan menguasai emosi yang sedalam
dalamnya dan menjadi orang yang bermanfaat bagi
sesama dengan cara-cara yang santun, masuk akal
dan sederhana.” Itulah tekad saya saat itu. Untuk
mewujudkan semangat menjadi aku yang baru ini,
tak pelak benda-benda klangenan ini pun saya
berikan kepada orang-orang lain, sisanya ada yang
saya bakar. Termasuk yang saya lakoni untuk
bertobat ini adalah melanggar pantangan amalan
ilmu-ilmu gaib tadi.

Niat saya saat itu sederhana: agar tidak ada lagi
pagar gaib yang nantinya justeru membebani saya
saat akan memasuki dimensi ruhaniah yang lebih
halus. Entahlah, apakah tindakan saya ini benar
atau salah. Yang jelas keyakinan saya bahwa
benda-benda bertuah akan nyerimpeti perjalanan
ruhani ini muncul setelah perenungan yang lama.
Salah satunya kejadian yang menimpa nenek saya,
seorang tokoh agama di Ngawi, Jawa Timur saat
menjelang ajal tiba.
Mbah Dunainah, nama nenek saya ini semasa hidup
terkenal kezuhudannya. Pada suatu ketika saat
simbah berhaji di tanah suci ada makhluk halus
yang ingin menjadi muridnya dan pulang ke tanah
air. Dan ini yang akhirnya jadi pangkal perkara,
saat menjelang ajal sang makhluk halus tidak rela
nyawa simbah dicabut sehingga ajal simbah tidak
segera datang. Tubuhnya yang semakin lemah dan
lemah membuat mulutnya tidak bisa bergerak lagi
untuk mengatakan apapun. Konon, nyawanya
digondeli si makhluk halus tadi! Akhirnya
pertolongan datang juga. Disarankan agar keluarga
besar kami mengadakan selamatan dan dengan
ritual khusus, dan memohon agar makhluk halus
muridnya Mbah Dun tadi rela untuk pergi.

Akhirnya ajal simbah benar-benar tiba.
Alhamdulillah…
Kejadian kedua menimpa juga oleh Simbah Rin—
begitu kami menyebut saudara Mbah Dun. Simbah
ini akhirnya juga kesulitan untuk meninggal dunia
hanya gara-gara memiliki ilmu kanuragan yang
tidak bisa dilepasnya sendiri. Dan akhirnya setelah
pengapesannya ditemukan: sebuah sabuk yang
melingkar di perutnya dipotomng, nyawa Simbah
Rin ini pun bisa menghadap Ilahi dengan tenang.

Kini, setelah saya tidak menggenggam satupun ilmu-
ilmu gaib tadi, insya allah, Tuhan memberikan saya
sifat lebih sabar dan ikhlas untuk urusan-urusan
yang harus bergesekan dengan manusia atau
makhluk lain. Jika bisa saya hindari, kenapa harus
mencari-cari masalah? Lebih baik ngalah daripada
harus menang di atas penderitaan orang lain. Lebih
baik orang lain yang menang dari saya daripada
saya yang mengalahkanya. Apa hebatnya jadi
pemenang? Sekarang, saya lebih memegang filosofi
Jawa yang sangat luhur dan tinggi nilainya:

”Ngluruk Tanpa Bala, Sugih Tanpa Banda, Sakti
Tanpa Aji, Menang tanpa Ngasorake,….”
Sekarang bila kangen akan pertumpahan darah,
saya sesekali hanya menonton film Jet Li di televisi.
Ciatttttttt……..Semoga bisa menjadi inspirasi bagi
kawan-kawan muda dan ngapunten bila ada yang
tidak berkenan.

Wong Alus

MISTERI SUMUR POMPA, NGAWI JAWA TIMUR

Kejadian ini sudah terjadi cukup lama, seingatku sekitar tahun 1960. Ketika itu masalah ini kadang kala masih menjadi pembicaraan warga, khususnya yang seumuran dengan penulis.

Sumur pompa yang berlokasi di belakang kantor Kepolisian Sektor
Walikukun, Ngawi sekarang tinggal fondasi dan roda besinya karena pernah digempur. Sejak awal, tempat sumur pompa itu akan diratakan dengan tanah untuk
perluasan bangunan polsek.

Sebelum digempur, sumur
peninggalan bangsa Belanda itu dibangun untuk mencukupi kebutuhan air bagi warga yang bermukim di kompleks tangsi kepolisian.

Setelah kemerdekaan, sumur itu jadi jarang digunakan.
Jarak sumur dengan Polsek kira-kira 200 meter.
Disekeliling sumur tersebut ditemukan banyak fondasi
bangunan yang menunjukkan bahwa pada zaman penjajahan banyak orang yang menempati tempat itu.

Tapi sekarang bekas perumahan itu dikerjakan warga menjadi sawah. Di bagian Timur sumur itu, berupa hutan yan g ketika itu termasuk hutan jati gledhegan.

Tapi bersamaan dengan perkembanagn zaman, pohon
jatinya semakin berkurang karena dicuri. Bekas hutan jati itu sebagian digunakan untuk lapangan olahraga.

Dulunya, tempat sumur itu termasuk tempat yang dianggap berhantu.
Menurut cerita Mbah Wiryo Dimejo (80) orang yang sekarang masih tinggal di sebelah Selatan sumur
tersebut, sudah tidak kaget lagi jika setiap malam Jumat Kliwon terdengar suara gamelan seperti suara orang yang sedang nanggap wayang. Ketika pertama
kali mendengar, Mbah Wiryo mencari-cari asal suara tersebut.

Setelah dicari, suara gamelan seperti adegan wayang kulit menuju peperangan itu berasal dari sumur pompa di Utara rumahnya tersebut. Ujarnya,
sumur tersebut merupakan tempat kekuasaan makhluk halus yang yang tidak pernah mengganggu warga.
Maka bagi warga yang tinggal di dekat sumur, suara gamelan tersebut sudah merupakan hal yang biasa.

Sebaliknya, warga yang jauh dari sumur tersebut, tidak pernah mendengar suara gamelan dari sumur tersebut.
Ada cerita lain lagi ketika warga di dekat masjid sebelah Selatan Polsek mengadakan shalat Isya, ada sesosok manusia asing mengenakan surban putih ikut
shalat jamaah. Setelah selesai shalat orang asing tadi langsung meninggalkan masjid. Jamaah lainnya bertanya-tanya siapa orang asing itu karena sebelumnya belum pernah ada orang luar yang ikut shalat bersama di masjid itu.

Karena penasaran, ada salah satu jamaah yang memberanikan diri mengikuti langkah kemana orang itu akan pergi setelah selesai
shalat. Dan ketika sampai di sumur pompa, orang tersebut menghilang tanpa jejak. Menurut perkataan
jamaah ketika itu, orang asing itu diyakini sebagai jin yang saleh dan penunggu sumur tersebut. Dan
tentunya masih banyak kejadian aneh yang terjadi di sekitar sumur tersebut. Yang jelas sumur itu sekarang tinggal bekasnya saja.

Percaya atau tidak, sekarang
tergantung dari anda.

MISTERI JEMBATAN SIDOWAYAH ALAS BANJAREJO NGAWI

Kejadian ini bermula ketika saya baru pertama kali
punya SIM. Medio Juli tahun 1996.
Saya senang sekali bisa punya SIM sendiri, itu berarti
saya bisa kemana-mana tanpa harus ditemani Bapak.
Maklum, Bapak termasuk orang yang sangat ketat dalam
urusan peraturan, apalagi peraturan lalu lintas.
Sore itu saya disuruh Bapak pergi ke desa nenek untuk
sebuah urusan keluarga. Dusun Pehnongko terletak di
Desa Gentong Kecamatan Paron Kabupaten Ngawi Jawa
Timur.

Saya, dengan sangat gembira bisa memanfaatkan SIM
baru itu, segera saja mengiyakan perintah Bapak.
Saya ajak dua adik saya, Fatih dan Taqien, untuk
menemani. Mereka berdua juga terlihat sangat gembira,
maklum bisa jalan-jalan sendiri tanpa harus diawasin
Bapak yang terkenal, yah bisa dibilang, galak.

Sengaja kami berangkat setelah Maghrib. Karena Bapak
memberi perintah baru sekitar jam limaan.
Pikir kami, daripada nanti mampir-mampir di jalan,
mendingan sekalian saja sholat terlebih dahulu di
rumah. Biar tenang gitu.

Setelah sholat maghrib, kami berangkat.
Bapak dan Ibu memberi pesan, “Hati-hati ya, SIM kamu
masih baru, jangan ngebut, santai saja. Paling nanti
sampe sana jam setengah sembilan. Do’a dulu, jangan
lupa! Sungkem buat Mbah Putri, buat Bu Nik sama
Budhe Jen ya !”

“Nggih !”, kami menjawab serempak. Terlihat rona
sumringah di wajah kami bertiga.

“Asyiiiik, kita bisa jalan-jalan sendiri nih tanpa
dicerewetin Bapak Ibu. he he he”, kata Fatih si bungsu.

“Iya nih, pengalaman pertama kita jalan sendiri”, sahut
si Taqien.

Saya pun tersenyum penuh kegembiraan.
Saya teringat cerita-cerita orang, bahwa kalau jalan di
malam hari sering menemui hal-hal yang kurang masuk
akal.

Untuk mengantisipasi hal itu, saya tak lupa
menggumamkan do’a perjalanan, yang memang sudah
saya hapal dari kecil.
Saya hidupkan mesin mobil Colt T120 tahun 1977 itu.
Walaupun mobil tua, tapi tetep rueng rueng

Mobil berjalan mulus tanpa hambatan.
Singkat cerita, kami sampai di Pehnongko sekitar jam
delapan malam. Padahal perkiraan baru sampai sekitar
jam setengah sembilan.

“Wah, cepet nih nyampenya!” pikir saya.
Maklum, SIM baru, jadi lupa pesan Bapak Ibu di rumah.
Lumayan belagu juga tadi di jalanan.
Tapi jadi agak terasa capai juga, sok-sokan sih.
Ketemu Mbah Putri, kami menyampaikan pesan Bapak
Ibu.
Kami disuruh Mbah untuk makan. Kami bertiga makan
dengan lahap. Maklum tadi kelaparan di jalan. Soalnya
Adik-adik saya tidak mau diajak mampir dulu.

Sebenarnya, Mbah Putri menyuruh kami untuk
menginap dulu.

“Cah, ini sudah malam. Mendingan kalian bertiga nginep
aja dulu. Besok pagi-pagi baru pulang. Paling Bapak Ibu
kalian maklum”, begitu kata Mbah Putri.

Entah saya yang sok-sokan atau adik-adik saya itu, kami
memilih untuk langsung pulang saja.

“Mas, langsung pulang aja deh, kan asyik jalan malem-
malem lewat alas Mantingan. Pasti nanti sepi, ngga ada
mobil lain. Bisa ngebut ! he he he”, bisik si Fatih.

“Iya Mas, sekalian ngetes mobil !”, tambah si Taqien,
ambil tersenyum penuh arti.
Saya merasa tertantang, jiwa muda saya bergolak.

Jam di dinding waktu itu menunjukkan pukul sebelas
malam.

“Kami pulang sekarang aja deh Mbah Putri”, ijin saya
kepada Mbah Putri.

“Ya sudah kalau mau kalian begitu, tapi hati-hati lho.
Soalnya kan sudah malam. Oh iya, kalau kalian nanti
lewat jembatan Sidowayah di alas Mantingan, yang pas
turunan terus belok itu, jangan lupa lempar recehan
lima puluhan”, pesan Mbah Putri.

“Nggih Mbah”, sambil lalu saja saya mengiyakan pesan
Mbah Putri.

“Iya. Soalnya di jembatan itu kan dua tahun lalu pernah
ada kecelakaan bis. Penumpangnya mati semua”, imbuh
Budhe Jen.

“Sekarang serem lho di situ”, Bu Nik menambahkan.
“Ah, masa sih?”, pikirku.
“Hati-hati ! Jangan lupa baca do’a dulu!” teriak Mbah
Putri ketika saya menghidupkan mesin mobil.
“Nggih Mbah !”, serempak lagi kami menjawab.
“Kalau udah tua, kok pada cerewet ya?”, begitu kata si
Fatih.

Kami bertiga lalu tertawa.
Mbah Putri, ditemani Bu Nik dan Budhe Jen
melambaikan tangannya, kami balas lambaiannya sambil
berteriak,
“Assalamu ‘alaikum!”
“Wa ‘alaikum salam!”, balas Mbah Putri, Bu Nik dan
Budhe Jen.
Kami pun pulang.
Sambil konsentrasi menyetir, saya melirik jam tangan
Fatih. Jarum menunjukkan pukul dua belas malam.
“Wah pas sekali jam dua belas nyampe alas Mantingan”,
gumam saya.

Sementara Fatih dan Taqien terus saja bercanda.
Kira-kira lima menit kemudian, terlihat jembatan yang
disebutkan Mbah Putri tadi.

Tiba-tiba saya jadi teringat pesan Mbah Putri, padahal
tadinya saya hanya berpikir bahwa pesan tadi cuma
ungkapan kekhawatiran seorang Mbah kepada cucunya.
Pikiran saya tergelitik, bimbang, antara percaya
terhadap tahayul dengan keinginan untuk mengikuti
pesan Mbah Putri.

Saya tanya Taqien yang duduk di belakang.
“Qien, kamu punya lima puluhan ngga?”
Taqien merogoh semua saku celananya, kemudian
menjawab
“Wah mas, aku ora duwe ki” (wah mas, aku ngga punya
tuh – red)
“Kowe duwe ora Tih?” (Kamu punya ngga Tih? – red)
Fatih mencari-cari, sementara saya juga mulai
kebingungan mencari recehan lima puluhan.

“Kalo lima puluhan, saya ngga punya mas, tapi kalo
seratusan, ada nih” begitu jawab Fatih.

“Kamu inget ngga, pesan Mbah Putri tadi?” tanyaku
kepada mereka.
“Inget, mas”, jawab Taqien.
“Ya sudah, kalau begitu, kita lempar aja seratusan ini,
wong lima puluhannya ngga ada.” kata saya.
Ketika persis sampai jembatan itu, saya suruh Fatih yang
duduk di depan untuk melemparkan uang seratusan
tadi ke jembatan.
Kemudian kami pun berlalu dari jembatan, yang
katanya, angker itu.

Kurang dari satu menit kami melewati jembatan, dari
balik spion melintas sebuah bayangan hitam yang
muncul dari bawah jembatan.
Antara percaya dan tidak percaya, saya kucek mata
saya.

Bayangan itu mulai terbang, kira-kira sebatas
pertengahan pohon jati yang memang banyak terdapat
di alas Mantingan ini.

Saya berkata kepada Fatih dan Taqien
“Cah, liat deh ke belakang!”
“Wah! apaan tuh?” teriak mereka berbarengan.
“Jangan-jangan gara-gara kita ngga ngelempar lima
puluhan !” teriak Fatih.

Bayangan itu mulai mendekat.
Tanpa pikir panjang, saya injak pedal gas lebih dalam.
Saya tak peduli lagi dengan keadaan jalan. Yang penting
selamet, pikir saya.
“Mas !!!!! Tambah Gaaaaasssss !!!!!!” Fatih berteriak lagi.

Rupanya bayangan hitam itu lebih cepat daripada mobil
kami. Padahal saya sudah berusaha semaksimal
mungkin.

“Waaaaaaaa !!!!!” Fatih berteriak kencang.
“Di sebelaaaaaaahhh kuuuuuuuu !!!!!!” teriaknya lagi.
Kami bertiga mulai pucat.

Sejurus kemudian, bayangan hitam itu mengulurkan
tangannya ke jendela mobil tempat duduk Fatih, sambil
berkata dengan suaranya yang berat,
“Mas, ini kembaliannya !”
he he he

don’t take it too serious, guys !

RADEN NGABEI SUNARTO, SAREAN SINE

Raden Ngabei Sunarto, Juru Kunci Gunung Sarean, Sine, Ngawi

Acara jiarah kubur pancen wis dadi tradhisi ritual pengageng ing pemda Kabupaten Ngawi lan diuri uri setaun sepisan bebarengan padha nyekar ana ing pesa­ reyane leluhur Ngawi yaiku makam Raden Tumeng gung
Poerwodiprojo, ana ing Kauman Ngawi, makam Patih Pringgo Koesomo ing Ngawi Purba, Makam Raden Adipati Kertonegoro ana gunung Saeran, Sine sarta makam Raden Patih Ronggolelono sarta putri Cempo kang manggon ana Jabalkadas, desa Tawangrejo,
Ngrambe.

Ing acara kang dilaksanakake ana ing rerangken tanggap warsa Kabupaten Ngawi mau, wartawan PS nyo ba gawe laporan khusus ngenani acara jiarah ana ing makame pepundhen masyarakat Ngawi yaiku makam Raden Adipati Kertonegoro ana ing gunung Sarean,Sine,sarta sosok Raden Ngabei Sunarto (65) juru kunci pesarean.

Makam RA Kertonegoro dumunung ana ing pucuke pegunungan lan ing acara ritual mau sakabehe pejabat Pemda padha ngrawuhi kalebu Bupati Ngawi Ir Budi
Sulistyono sarta Wakil Bupati Ony Harsono.

Sanajan dalane munggah nanging wis digawe trap trapan luwih saka 100 trap sarta kudu nduweni phisik
kang kuwat,para pejabat Pemkab Ngawi ora ana sing sambat kabeh bisa kasil tekan pucuking gunung Sarean sarta nindakake doa lan nyekar.

Mbukane makam Raden Adipati Kertonegoro ora lepas saka Mbah Sunarto, warga desa Blimbing, Sine kang omahe ana sangisore gunung Sarean lan ora adhoh saka makam mau.

Mbah Sunarto wiwit taun 1965 kajibah minangka Juru kunci nunggak semi pakaryane simbah sarta bapake kang uga minangka juru kunci makam gunung Sarean,
ya saka anggone nekuni pakaryan juru kunci mau Mbah Narto antuk penghargaan minangka abdi dalem Keraton Surakarta Hadiningrat kanthi dipa ringi sebutan Raden Ngabei.

Miturut katerangane Mbah Narto, dheweke minangka juru kunci makam sing kaping lima lan sadurunge simbahe lanang aran Sastro Dimejo juru kunci sepisanan, banjur katerusake Pujo Sukarto kang uga bapake dhewe, saka Pujo kasambung Wiro nanging
mung kuwat sawetara taun sabanjure diayahi Marto Paiman sing uga mung kuwat dilakoni watara limang wulan, lagi Mbah Sunarto nganti saprene..

“Kula kalebet turun juru kunci gunung Sarean,dene piyantun kalih Mbah Wiro saha Marto Paiman mboten wonten garis keturunan mila mboten dangu ang­
genipun makarya amargi sami mboten kiat”celathu ne Mbah Narto mbukani rembug.

Miturut crita Mbah Narto, RA Kertonegoro minangka Bupati sepisanan Ngawi ndhuwe Patih aran Ronggolelono lan wektu kuwi Kadipaten manggon ana ing wewengkon Gendingan lan nganti saiki tipak tilas kadipaten mau isih diuri uri warga desa Gendingan,
Kecamatan Widodaren.

Sejatine buku kang mbabar kiprahe Kanjeng Gusti RA Kertonegoro ana nanging Mbah Narto ora genah saiki buku mau ana ngendi sing jelas dheweke menehi katerangan adhedhasar saka buku babad kang gegayutan karo crita Bupati sepisanan mau sarta crita kang ditampa saka simbah lan Bapake Kadipaten Gendingan wektu kuwi diserang karo kompeni lan karana kalah gegaman mula RA Kertonegoro kang didherekake dening Patih
Ronggolelono sarta sawetara prajurit, banjur kaseser ing yuda.

Sang Adipati karo pandhereke anggone keplayu nganti tumeka gunung Sarean kalebu perenging gunung Lawu lan ana ing papan kono RA Kertonegoro banjur leren
sarta masanggrah, marang warga kang manggon sakiwa tengene papan kono, piyambake ngajak gawe karang padesan kang mengkone kaajab bisa dadi papan kang tentrem lan maju.

Ringkesing crita papan mau kasil dadi padesan kang rame sarta wargane katon ayem tentrem, kalebu Patih Ronggolelono kang tansah setiya ngampingi bendara
gustine.

RA Kertonegoro manggon ana ing padhepokan gunung Sarean nganti sasedane lan jasade uga kakubur ana ing komplek pemakamam gunung Saeran lan isih bisa dideleng nganti saiki sarta dilestarekake kanggo papan
ritual jiarahe para pejabat PemKab Ngawi.

Dene Patih Ronggolelono banjur ngupadi sedulure putri aran Putri Cempo lan sawise kekarone seda ban jur kakubur ana ing gunung Jabalkadas, desa Tawangrejo, Kecamatan Ngrambe, watara 10 km sisih Wetan gunung Sarean, Sine.

Gunung Sarean, Sine sakliyane ajeg kanggo acara ritual para pejabat ing Pemkab Ngawi mligine ana ing rerangken Hari Jadi Ngawi, kanyatan uga kanggo papan
peziarah kang duwe kepentingan ngalab berkah utawa tapa tirakat ngupadi tujuwan kang durung kasembadan.

Miturut Mbah Sunarto kang antuk kanugrahan sebutan Raden Ngabei saka keraton Surakarta Hadini ngrat dek taun 1983 karana saka pengabdiane marang adat sarta budaya Jawa, nerangake manawa peziarah kang teka ing
gunung Sarean ora mung mligi warga pedunung, nanging malah ana sing saka njaba Ngawi ing antarane Sragen, Solo, Madiun, Semarang lan saka daerah liyane.

Wis kena dipesthekake manawa ing dina Jumat Legi sarta Selasa Kliwon akeh peziarah kang tuguran ana ing pesareane RA Kertonegoro, malah manawa wanci wulan Suro peziarah kang teka luwih akeh.

Ya ing wektu ngono kuwi para peziarah nggunakake jasane Mbah Narto minangka juru kunci saperlu
nglantarake panyuwunane lan ing wektu ngono kuwi Mbah Narto lagi antuk rejeki.

Amarga miturut Mbah Narto sasuwene dadi juru kunci wiwit taun 1965 dheweke durung nate antuk blanja maton saka pihak pemda utawa pemdes, ngelingi
peranne anggone njaga sarta nglestarekake papan pesareane priyagung, bab mau banget gawe nelangsane penggalihe juru kunci Mbah Narto.

“Saestu Mas kulo dereng nate pikantuk paweweh arupi arto menapa sanesipun saking Pemda napa malih saking desa,” jlentrehe juru kunci kang wis duwe anak lan putu mau kanthi walaka.

Panyuwune muga muga Pak Bupati utawa sing nduweni kewenangan, bisa mikirake nasib sarta perjuangane ang­ gone ngrukti pesarean priyagung kang uga minangka Bupati Ngawi kang kapisanan. (Yan Kumala)

Remons domino

Salam sloters Tambakselo 🙏🙏🙏🙏🙏, Remons RP full 2.22 --->>> DOWNLOAD Remons 2.22 buluk -----> DOWNLOAD Remons RP versi 2.21 ...